Selasa, 30 Juni 2015

Bodoh

Arian bergegas mendatangi kamar Jonah, cemas.. Malam sebelumnya Jonah hampir tertangkap pihak kepolisan akibat bisnisnya dan terdengar sangat lemah saat menghubungi Ariana dan memintanya untuk datang. Meski berusaha, tapi Jonah sudah begitu dalam masuk ke dalam relung hati Ariana. Sebesar apa pun sakit dan penghinaan yang Jonah berikan, keselamatannya masih menjadi kepedulian Ariana.

Terengah-engah dia mendatangi kamar lelaki yang sempat menjadi mimpinya itu..

Jonah membuka pintu dan memeluk Ariana. “Are you okay?” kata Ariana sambil memeluk tubuh Jonah yang sangat dia rindukan itu. “I am fine, Sayang, thank GOD. Thank you for warning me about the police. I did not want to take that job actually but you know how things are. I desperately need the money so I thought at least I can get small. But I know, small money always bring problems. Thank you, Sayang.”

Keduanya lalu duduk di ranjang Jonah, tempat mereka biasa menghabiskan malam, memadu kasih, saling memeluk dan menukar isyarat cinta. “What happened?” tanya Ariana dengan penuh cemas. “Well, all was going well but the client got greede, so he wanted to get all. That was why he involve the police. He does not want to get to me, he wants the money. See, this is the picture that I showed him,” kata Jonah sambil membuka HP samsung putihnya. Tampak gambar dua bocah di latar depan HP Jonah. Hati Ariana terhenyak.

Dia mengenali wajah bocah 8 tahun, anak Jonah yang pertama tapi siapa bayi itu? Siapa bayi lelaki di gambar itu? Tapi Ariana diam saja.

“Who is he?” tanyanya dengan suara datar, “Who?” tanya Jonah.

“The baby on your phone.”

“Its Wako’s brother.”

“Oh, from who?”

“My son, I told you she was pregnant when I left Africa.”

“Oh.”

Usai Jonah menunjukkan gambar pekerjaan yang semula hendak ditunjukkan, Ariana bangkit dan membereskan semua barangnya. Sambil terus tersenyum hambar ke arah Jonah.

“Where are you going?”

“Home,” jawab Ariana singkat.

“So because of that picture, you want to go? See, this is why I did not want to tell you about her pregnancy. I know you will reacted this way. I know you will be angry.”

Ariana memandang Jonah dengan heran. Tuhan, kau pikir apa aku ini, Jonah? Apakah aku bahkan begitu tidak berharga di matamu sehingga tidak kau perkenankan aku merasakan sakit? Merasakan terluka dan terhina atas pengkhianatanmu? Kau menghamili wanita lain di saat masih bersamaku. Kau menuduhku selalu berkhianat, tapi sejatinya kau sudah sejak lama merencanakan pengkhianatan itu. Hati Ariana hancur.. Selama ini, aku diam saat kau menghajarku, aku diam saat kata-kata kasarmu mulai meluncur, untuk apa? Untuk fakta bahwa sebenarnya kau lah yang tengah berkhianat? Siapa sebenarnya yang tidak pantas dihormati, aku kah? Kau kah? Wanita mu itu kah? Kepala Ariana terasa pening. Mereka berdua mulai saling melempar kata-kata makian, meski kosa kata Ariana tidak banyak tapi luka dan duka membuat Ariana berusaha mengimbangi perkataan Jonah. Keduanya berteriak, memaki, menghina, mengumpat, mengutuk..

Ariana lalu terdiam, berlutut,.. menangis

Tuhan, aku bukan perempuan ini. Aku bukan pencaci, aku bukan pengutuk.. Seumur hidupku aku menghindar dan berusaha diam agar tidak ada kutuk atau murka keluar dari mulutku. Siapa aku ini, TUHAN?

Ariana membalikkan tubuh dan meminta maaf pada Jonah. Meminta maaf atas semua kata kutuk dan caci yang sempat dia ucapkan. Memberi Jonah selamat atas kelahiran putra keduanya sambil matanya penuh dengan air mata, sambil hatinya tercekat dan terluka.. Jonah tetap meradang..

Kata-kata kasarnya terus terlontar..

Ariana terpancing..

“You know what? Pay me!! I am not going to let you get away that easy.”

“Pay you for what? You enjoy my dick too.. You should pay me too.”

“I pay you? Who is the prostitute here? You or I? You always say I am an old street woman, so you pay me. For each night that we spend for the past 3 years, pay me. Just see me as Jaksa street woman, give me that money.”

“What money? You look around, find the money.. You stupid bitch.”

“Then let me sell these phones!!” Kata Ariana sambil mengambil dua HP Jonah yang tergeletak di atas tempat tidur.

Jonah meradang..

Direnggutnya pergelangan tangan Ariana dengan tangan kirinya sambil tinju kananya terus menerus menghujam ke tangan Ariana, “Put my fucking phones down, You Bitch!!”
Ariana melepaskan HP itu dengan kesakitan. Satu tamparan juga mendarat di pipinya dan Jonah melangkah pergi..

“Don’t go, let us talk about it until all is clear.”

“I have nothing to talk about with you, Bitch!!” teriak Jonah sambil melangkah pergi.. Ariana merenggut dua HP Jonah dan memasukkannya ke dalam tas untuk mencegah Jonah pergi. Ariana tahu Jonah tidak akan pergi tanpa dua Hpnya ini. Tapi Jonah tetap melangkah pergi, membawa kunci pintu kamar yang juga pemicu listrik. Dengan dicabutnya kunci, listrik di kamar Jonah mati dan Ariana tertinggal di dalam gelap.

Ariana terdiam sedih.. Hatinya makin hancur..

Dengan lunglai Ariana keluar dari kamar, menenteng sandal tingginya, berjalan keluar dari kamar menuju ke jalan raya.. Ariana menangis sedih di sepanjang jalan. Membiarkan malam menyerap semua sedih dan lukanya.. Membiarkan malam mendengarkan keluhan hatinya.

TUHAN, ke mana kakiku harus melangkah? Apa yang harus aku lakukan? Selama ini aku sudah berusaha keras untuk bersabar, terus berpikir positif dan berharap di tengah begitu deras guncangan dan cobaan. TUHAN, mengapa KAU tempatku aku begitu rendah? Apa yang sudah aku lakukan? Apa salahku hingga KAU letakkan aku begitu rendah? Kenapa KAU biarkan dua makhluk ini mempermainkanku? Kenapa KAU biarkan mereka menghinaku? Kenapa KAU tempatkan aku di posisi ini? Aku bukan perempuan mandul, TUHAN. Aku punya dua putra sebagai saksiku, kenapa tak KAU biarkan aku hamil dan menjalani hidupku dengannya? Kenapa tak KAU biarkan aku menjadi miliknya seorang? Oh TUHAN.. TUHAN..

Ariana terus berjalan, melangkah, tanpa alas kaki, membiarkan jalanan menyentuh kulitnya.. merobek kulitnya.. Ariana membiarkan sakit di kaki itu menggantikan sakit di hatinya.. Ariana ingin melihat darah.. Ingin melihat wujud luka di hatinya. Dia berjalan terus tertatih dan menerjang malam.. Ariana tahu dia tidak bisa pulang, dia hanya bisa berjalan menuju TUHAN.. menuju Pendetanya.. menuju pulang..

Tiba-tiba Hpnya berdering..

“Sayang, where are you? I am home. I did not go far, I only went down to buy water. Where are you? Please come back..Please.” Rengek Jonah di telepon.

Ariana tercekat, “You don’t need to ask me to come back, your phones are not with me. Search your room. I did not bring your phones with me.” Ariana berbohong. Tapi Ariana tidak mau kembali dan membiarkan dirinya dimanfaatkan lagi.

“Sayang, this is not about the phone.. Please come back. Where are you? Let me come for you..”

Bodohnya, tololnya Ariana percaya.. Ariana luluh.. Dia menaiki taksi dan bergerak kembali ke kamar Jonah.

Sesampainya di kamar, Jonah terkejut melihat kaki Ariana yang sangat kotor. “What are you doing? You walked?” tanyanya heran. “Yes, I need to clear my mind. You know I always walk when I am confused.” Kata Ariana sambil bergerak ke kamar mandi untuk mencuci kakinya.

“Go and take shower,” kata Jonah seperti biasa.. Ariana memandangnya dengan heran dan entah kenapa kali ini dia menolak mematuhi perintah Jonah. “No. I will do that later.”

Lalu Ariana duduk di ujung ranjang sementara Jonah berbaring sambil memandangi Ariana dengan tatapan mata yang aneh.. menusuk dan mengerikan..

“Give me my phone!” katanya segera.

Ariana langsung bangkit dari duduknya sambil terus mengapit tas “I knew its all about the phones, I told you its not with me. Why did you call me back?”

Jonah meradang..

Dia bangkit dari tidurnya, merenggut tas Ariana dan menumpahkan semua isinya keluar. Keduanya terlibat tarik menarik tas hingga tali tas kulit itu pun putus. Ariana berteriak meminta Jonah melepaskan pegangannya. Jonah makin marah..

Saat barangnya berserakan di lantai kamar Jonah, Ariana membuka pintu, Jonah manarik gaun batik Ariana, menariknya masuk.. reflek Ariana membuang beberapa barangnye keluar sambil berteriak minta tolong..

Dengan kuat Jonah menarik Ariana, menghempaskannya ke ranjang sambil menendang pintu agar tertutup.. Ariana yang terbaring terlentang didudukinya, tangannya mencekik leher Ariana sambil berteriak meminta telponnya diberikan.

Ariana berteriak marah dan meminta tolong.
Jonah mengarahkan kepalannya ke wajah Ariana.. Ariana menutupi wajahnya dengan lengan, akibatnya lengan itu menjadi sasaran amukan Jonah. Ariana berusaha sekuat tenaga mendorong Jonah. Terlepas..

Ariana bergegas mencoba lari.. Jonah menangkapnya kembali..

Dihempaskannya lagi Ariana ke atas ranjang.. Ditamparnya wajah Ariana dua kali, dijejakkannya kakinya ke tubuh Ariana sambil terus berteriak-teriak meminta Ariana menyerahkan kedua Hpnya. Ariana terus berteriak meminta tolong..  Ariana tahu, dia harus lari.. tidak ada seorang pun yang bisa mendengar teriakannya jika dia ada di dalam kamar ini. Pemilik kos tidak akan peduli, dia tahu karena sebelumnya ada perempuan yang dihajar kekasih Afrikanya di kamar sebelah. Saat Ariana melapor, mereka mengaku tidak punya hak untuk bertindak.. Oh..

Akhirnya kesempatan itu datang..

Ariana menendang Jonah dan membuatnya mundur ke belakang.. memberi Ariana sedikit ruang untuk berlari keluar.. dan dia berlari, tanpa HP yang sudah direnggut Jonah, tanpa dompet yang juga sudah direnggut Jonah.. tanpa sandal tingginya.. Ariana berlari.. kembali menembus gelapnya malam.. Menghentikan taksi yang lewat di depan gedung kos Jonah,  hanya satu tempat yang terpikir.. rumah.. rumah TUHAN.. menuju ke Pendetanya..

Ariana tiba di depan rumah Pendeta, membuka pintu dan berkata, “Please help me pay the taxi, he tried to kill me over phones. I ran away.. Please help me.”


Dan dunianya gelap... Ariana terjatuh diam..

Rabu, 04 Maret 2015

Ariana ingin lupa

Dua minggu setelah perpisahanku dengan Jonah, semua terasa gamang. Meski aku bisa lebih fokus ke pekerjaan karena tidak ada gangguan permintaan-permintaan, namun tetap hatiku terasa kosong. Aku begitu terbiasa dengan telepon Jonah, dengan sapaan sayangnya bahkan dengan kemarahannya. Aku berusaha melupakan Jonah tapi lelaki yang sudah mengisi relung hidupku selama 3 tahun itu jelas tidak mudah untuk dilupakan. Bukan karena dia begitu luar biasa tapi aku memberinya ruang yang sangat besar hingga kekosongan itu terasa dengan sangat, menyergap seluruh rasa dan menyedot semua kebahagiaan. Aku terjebak di pusaran ketakutan, kesedihan dan perasaan tak berharga. Segala daya dan upaya aku lakukan untuk melawan pusaran arus itu, kesedihan yang terus berusaha mengambil alih seluruh pikirku, berusaha aku tepiskan. Dalam benakku aku membayangkan betapa kata-kata firman TUHAN bak cahaya yang terus berusaha menghalau kegelapan yang diakibatkan oleh depresiku.

Bahkan kamar baru yang kami tempati bertiga tidak mampu mengibaskan luka dan kenangan akan kebersamaan kami berdua. Kamar besar dan bersih berukuran 5x5 ini terasa menyesakkan. Meski tidak ada kenangan akan Jonah di sudutnya, tapi kotak ini terasa membekapku. Aku tidak lagi bisa tahan berada di dalam ruangan, aku terus merasa sesak. Helaan napasku terasa berat dan penuh dengan kesedihan. Tuhan, aku tidak mau depresi itu kembali melingkupiku. Aku tidak mau aku kembali masuk ke putaran yang sama. Ke kegelapan yang sangat aku takuti.

Entah seperti sudah ada kode di kepala dan semua saluran komunikasiku, makin banyak pria Afrika yang mendekat dan menghubungiku. Dengan gigih mereka berusaha meraih hatiku, kembali dengan kata-kata yang 3 tahun lalu aku dengar dari mulut Jonah. Kata-kata yang sejalan waktu berubah menjadi hinaan, bahkan cacian. Mulut yang menyanjung kebaikanku, kecantikanku dan segala kelebihanku, yang sepengalamanku akan berubah menjadi mulut yang terus mencercaku, mengkritikku dan menyalahkanku serta menghina. Aku yang dulu, akan menikmati perhatian berlebihan itu dan memakainya untuk pengalih perhatian, pelupa dan pengebas. Tapi aku tidak bisa lagi melakukan itu, aku sudah ikut TUHAN. Aku sudah mendeklarasikan cintaku pada-NYA. Kesetiaanku dan niatku untuk mengikuti-NYA dan melepaskan apa pun yang membuatku tidak bisa berlari kencang ke arah-NYA. TUHANku merengkuhku dengan kuat, namun setan terus menarikku turun, dia kesepian di dalam lubang gelapnya, dia ingin aku ikut, menemaninya.

Malam itu aku baru kembali dari hari keduaku di kantor. Kantor baruku cukup jauh dari rumah tinggal kami saat ini. Aku harus naik angkot selama 20 menit ke belakang sebuah mall besar dan berjalan sejauh hampir 500 meter untuk naik bis ke arah Senen. Perjalanan dengan bis ini memakan waktu sekitar 30 menit. Aku turun di terminal senin dan berjalan kaki sejauh 300 meter ke tempatku bekerja. Malam itu melelahkan, aku hanya berbaring di lantai, mendengarkan kedua anakku berceloteh dan tetangga baru kami, seorang pria Afrika kesepian yang mencari keluarga untuk menemani dia. Tiba-tiba teleponku berdering

Ariana                   :               Halo?
Nena                     :               Hi Ariana, apa kabar?
Ariana                   :               Oh, Kakak, kabar baik, Kak. Ada apa nih, kok                                                    tumben nelepon Ariana?

Nena adalah perempuan yang sudah sangat lama bergaul dengan para pria Afrika. Pertemuan pertemaku dengan dia adalah saat aku harus mengurus visa bisnis Jonah untuk pertama kalinya. Pelayanan pertama Nena cukup memuaskan namun saat aku mengurus visa Jonah untuk tahun kedua, Nena membuatku dicaci maki Jonah tiap malam, akibat kesalahan yang dia lakukan. Saat pertama bertemu Nena dan berinteraksi dengannya, aku terkejut. Nena perempuan setengah baya n yang baik, jauh di dalam hatinya dia sangat baik dan peduli. Tapi seperti perempuan-perempuan lain yang aku kenal, yang sudah bersama Afrika, Nena juga sudah tidak lagi memiliki pemikiran perempuan kebanyakan. Aku bahkan tidak bisa mengidentifikasi pemikirannya. Nena bangga menyebutkan pengalaman-pengalaman seksualnya dengan lelaki. Saat ini dia dibiayai dan diberi usaha oleh seorang lelaki Afrika yang sudah menikah di negaranya. Keduanya bekerja bersama, berhubungan seks, tanpa peluang untuk menikah. Nena juga dikenal banyak memiliki lelaki Afrika selain lelaki ini, dan sang lelaki tidak peduli karena Nena bukanlah istri atau pun calon istri, hubungan mereka hanya berlandaskan kesamaan keuntungan duniawi, tidak ada sedikit pun sisi spiritual di dalamnya. Meski sudah separuh baya, Nena cukup punya banyak penggemar,  bukan karena wajahnya yang luar biasa cantik atau bentuk tubuhnya yang sangat sangat terawat. Bukan itu yang dicari para pria Afrika ini, tapi Nena sudah begitu paham seluk beluk kehidupan para pria Afrika di Jakarta ini, Nena paham pekerjaan ilegal yang mereka lakukan dan bahkan sesekali terjun ke dalamnya. Nena paham bagaimana diam saat para lelaki ini menjalankan bisnisnya, bersenang-senang saat diperlukan dan tetap menjaga penampilan kudus di depan orang banyak. Perempuan seperti Nena adalah surga, mereka tidak perlu menjelaskan dengan kebohongan tentang alasan mereka datang, menutupi dengan kebohongan tentang perempuan-perempuan lain yang menjadi korbannya, tidak perlu menjelaskan dengan panjang lebar tentang apa-apa yang mereka sukai dan inginkan. Bagi Nena, kebersamaan dengan mereka mengisi kekosongan masa tuanya yang harus dia lalui tanpa anak maupun keluarga. Mereka juga memberi Nena kehidupan yang dia inginkan. Perjalanan ke Malaysia, uang saku yang lumayan besar, HP, Tablet, peluang memiliki perusahaan dengan namanya sendiri, mobil, minuma keras dan segala yang di usia ini tidak bisa lagi dia nikmati dengan pria Indonesia. Pertemuan dengan Nena membuatku terhenyak, tidak, aku tidak bercerai untuk hidup seperti ini. Aku tidak meninggalkan biduk rumah tangga semuku untuk kehidupan semu seperti ini. Aku tidak diciptakan TUHAN untuk kehidupan seperti ini.  Itu sebabnya meski banyak dari perilaku, pemikiran dan perkataan Nena yang tidak aku sukai dan setujui, namun aku menghormati dia karena dia membuatku tersadar akan mimpi salahku. Nena adalah panutanku, bisa dibilang begitu. Bukan untuk ditiru, tapi menjadi barometer akan segala yang tidak boleh aku lakukan.

Nena                  :  Cuma kangen aja. Sudah lama Nena gak ketemu Ariana. Apa kegiatan Ariana sekarang?
Ariana                :   Puji Tuhan aku sudah bekerja, Kak.
Nena                  :   Ah luar biasa. Puji Tuhan, bagus atuh. Apa kabar Jonah?
Ariana                :  Oh, kami sudah putus, Kak, tapi kurasa Jonah baik-baik saja.
Nena                 :  Kenapa putus? Kemarin sepertinya baik-baik  saja. Jonah berulah lagi? Bagaimana sikap dia setelah kembali dari Malaysia?
Ariana               : Sikap Jonah berubah terus, Kak dan aku sudah lelah. Terakhir dia bentak dan hina aku hanya demi perempuan dia di Afrika. Bagiku itu sudah cukup. Sejak urusan KITAS, aku sudah kelelahan tapi aku bersaha bertahan, Kak tapi sekarang sudah tidak bisa lagi.  Ariana tidak bisa membiarkan Jonah terus menghina dan menginjak-injak. Ariana memang mencintai Jonah, Kak tapi Jonah perlu juga menghargai cinta Ariana.
Nena                 : Sudahlah, Ariana, kau tinggal saja si Jonah itu. Dia bukan lelaki yang baik. Aku tidak pernah berkata apa-apa tapi sebenarnya aku tahu banyak. Ariana tahu Jonah punya pacar di Malaysia?
Ariana               : Setahuku tidak, Kak. Jonah tidak pernah tinggal di Malaysia tapi kalau di Bangkok ya, ada perempuan Afrika dan perempuan Bangkok di sana yang menjadi kekasih dia selama di sana. Keduanya juga tetap Jonah kunjungi apabila dia kembali ke Bangkok untuk VISA. Tapi setahuku Jonah tidak bersama siapa pun selama di Malaysia.
Nena                 : Ah Ariana, Jonahmu itu sangat buruk kelakuannya. Saya ini sering mondar-mandir ke Malaysia. Sebenarnya basis saya itu di Malaysia hanya sesekali saja saya kembali ke Indonesia. Saya tahu perempuan itu sekarang pindah ke Malaysia. Di FB si perempuan itu ada banyak foto mereka berdua. Aku tahu tapi gak mau kasih tahu Ariana karena kau tampak sangat cinta dan Jonah baik-baik saja memperlakukan Ariana. Tapi nanti kalau kita ketemu, aku kan tunjukkan FB-nya.
Ariana                : Untuk apa, Kak? Aku tahu semua kebusukan Jonah dan aku gak merasa perlu untuk mencari bukti.  Aku sudah cukup disakiti, Kak. Dan Aku sudah memutuskan untuk pergi, tidak perlu lagi aku disakiti dengan bukti-bukti yang sudah lewat. Biarkan aku mengenang Jonah sebagai lelaki baik yang aku kenal, hatinya yang aku lihat, Kak.
Nena                  : Ariana, jangan buang waktumu. Jonah bukan lelaki baik. Kau terlalu baik dan lugu buat dia.
Ariana                : Terima kasih, Kak.

Dan aku menangis lagi. Semalaman aku sesenggukan bercerita di atas balkon gelap kamar kami. Aku bertanya pada TUHAN mengapa aku tidak bisa lepas dari belenggu kegelapan Jonah. Untuk apa mereka  menelepon dan menyampaikan semua berita ini, buat apa? Aku tidak mau tahu. TUHAN, jauh di dalam hatiku aku masih berharap dan berdoa, Jonah bisa dijamah, bisa dimenangkan, tapi aku juga tahu saat ini Jonah tidak ingin dijamah, tidak mau diubah. Jonah masih menikmati hembusan lembut hangat neraka dan belaian lembut setan. Jonah masih menjadikan dunia sebagi tuhannya. Setiap minggu dia ke gereja, memimpin doa, bersujud, berpuasa tapi Jonah gagal memahami apa yang menjadi pesan TUHAN.

Hari lain, sepulang dari kantor, aku berusaha menghubungi agen KITAS kami untuk menanyakan surat ketenaga kerjaan asli yang akan aku perlukan untuk mengurus perpanjangan KITAS Jonah. Meski kami tak lagi bersama, aku merasa Jonah tetap berhak mendapatkan kebaikan. Sayang tiga nomor perempuan itu tidak bisa dihubungi. Geramku berubah cemas, apakah perempuan ini baik-baik saja? Lalu aku beranikan diri untuk menghubungi kekasih agen kami yang juga pria Afrika.

Ariana               : Boby, how are you? I am trying to reach your woman, but all of her phone were off. Is she ok?
Boby                 : She is fine, Darling. I think her battery are off. How are you my Darling?
Ariana               : I am doing fine. Thanks, just got my self a new job.
Boby                 : Ah Darling, that is great!! I am happy for you. How is your family? And your husband?
Ariana               : Me and my boys are fine, thank you. My husband? Oh, you mean Jonah? We broke up, hehehe
Boby                 : Ah, its about time, Darling. That man is fucked up. He made to many mistakes. Every body is talking about him, Darling. They all call him a fool. He has you by his side but he keeps on playing around. You know how the footballers call you? They call you A Mugu. You are like his ATM. When they saw you, they said, you are Jonah’s mugu. And I know how nice you are to him, Darling. It hurts me so bad to hear those words. That fucking man have so many women in Jakarta. His girlfriends are all over Jakarta. Not to mention his fucking wife in Africa. Baby, leave him.
Ariana               : Boby, why are you telling me this? I told you we broke up. I don’t need to know all of these any more. It is over. Let me remember him as a nice person with a very good heart as I knew him before. I don’t want to hate him, Boby, even though I know I will never go back to him again.
Boby                 : So you still love him, right?
Ariana               : Yes, sure. He is my man for 3 years, how can I just stop loving him like that.
Boby                  : Then no need to call me. Go back to your fucking boy friend. Go and get your self kill with his dick.
Ariana                : Oh my, is ok, good bye

Dan  aku pun menangis sedih.

Aku tahu para pria Afrika ini tidak akan bisa memahami betapa aku sangat mencintai Jonah, meski begitu aku tahu, aku tidak bisa menerima dia kembali. Tidak apabila aku masih tetap berada di posisi yang sama. Aku ingin Jonah hanya jadi milikku, dan bersama kita berjuang meraih hidup. Jika masih ada perempuan-perempuan lain dalam hidupnya, lebih baik aku menyingkir dan sendiri. Aku ingin lebih dekat ke TUHAN, ingin benar-benar bisa bekerja tanpa ada rasa bersalah di dalam hatiku. Rasa bersalah atas dosa itu lah yang selama ini menjadi belengguku. Sangat sulit bagiku untuk bisa menyanyi lepas memuja TUHAN. Suaraku seolah tidak mau keluar.

Namun sejak aku deklarasikan keinginanku untuk hidup kudus, bahkan di depan Jonah dan berjuang sekuat tenaga untuk bertahan kudus, aku bisa menyanyi dengan lantang, begitu banyak suara TUHAN yang aku dengar. Rhema yang terus menggema di kepalaku.

Dalam sedihku, aku sempat berdiskusi dengan pendetaku, dan perkataannya sangat menampar wajahku.

Pendeta Joshua   : Sister, kita bukan manusia biasa. Sister sendiri yang berkata bahwa sister ingin bekerja untuk TUHAN. Bahwa Sister ingin menjadi pendeta. Saya tahu sister berkata dengan tulus dan sungguh, karena saya melihat betapa hidup sister dibersihkan TUHAN. Sister tidak bisa lagi main-main dan melihat diri dengan standar manusia. TUHAN menuntut jauh lebih tinggi pada mereka yang ingin melayani-NYA. Hubungan yang sister lakukan dengan Jonah bukanlah hubungan yang kudus dan apabila sister terus melakukannya, akan ada lebih banyak keburukan yang terjadi dalam hidup Sister. Sister harus membuat keputusan dan melangkah menjalankannya. Langkah pertama memang sangat sulit, namun sister akan melihat begitu banyak mukjizat di kala sister mengambil langlah itu.

Rhema minggu ini adalah kehidupan yang kudus dan keimanan yang teguh. Aku tahu TUHAN ingin aku benar-benar mengerjakan itu. Dalam kehidupanku yang kudus, aku tidak hanya dituntut untuk melepaskan diri dari dosa perzinahan tapi juga melepaskan diri dari dosa kebencian. Rasa marah luar biasa yang aku tanggung dalam hati, kebencianku pada perempuan di Afrika dan perempuan-perempuan lain dalam hidup Jonah, pada mereka yang selama ini tahu tapi diam saja dan membiarkanku tenggelam dalam kebodohan. Tidak, jika itu masih ada di dalam hatiku, maka kau bukanlah manusia yang hidup dalam kekudusan. Aku harus bisa memaafkan dan melepaskan.

Dan kidung Mazmur pun terus menemaniku, memberiku damai yang luar biasa di tengah tarikan depresi dan godaan bermain nakal yang terus begitu deras melingkupiku.

Aku seperti terdiam dan membiarkan tangan TUHAN menyelamatkanku.

TUHAN, aku membutuhkan-MU...

Senin, 16 Februari 2015

Dan Ariana terluka lagi..

Malam itu aku duduk termenung di pojok kerjanya. Ruangan kamar seluas 4X4 m ini menyala terang di pagi buta, suara ketukan papan ketik dan alunan lagu rohani menemani pikiranku yang melayang jauh. Aku menatap nanar ke luar jendela unit apartemen di lantai enam ini, sore nanti keluarga kecilku harus meninggalkan rumah yang sudah kami tempati selama hampir 3 tahun itu. Sebuah tempat yang bagiku menggambarkan perbaikan hidup, peningkatan kualitas hidup, peningkatan kualitas segalanya. Dan dadaku terasa makin sesak..

Tahun ini dimulai dengan sangat buruk, berita buruk demi berita buruk aku terima, terutama masalah pekerjaan. Sejak dipecat dari perusahaan tempatku bekerja dengan alasan yang hingga kini gagal aku coba pahami, segala hal yang coba aku kerjakan, gagal. Aku memang bukan lagi aku yang dulu, yang dengan gigih mencari uang di segala sudut kota, segala yang halal bagiku, patut dicoba. Kemiskinan masa kecil membuatku tidak mau mengalami kondisi sama di usia tua. Aku yang dulu akan melakukan 4-5 pekerjaan sekaligus, bekerja 7 hari selama 24 jam, bekerja dan bekerja. Aku yang baru lebih menikmati duduk diam dalam bait Allah, mendengarkan dan mendiskusikan ayat di Injil, mengikuti doa dan kajian alkitab sambil belajar berdoa dan berdoa. Namun terpaan kehidupan masih juga membuatku gamang. Aku sering kali merasa tidak berada di pijakan yang tepat, tidak berada di bumi yang benar, tidak menjadi diriku sendiri. 

Jonah sendiri sibuk dengan kegelisahannya, karena perempuan Afrika yang selama ini dia banggakan menjadi istri tauladannya, kini mengacuhkannya karena Jonah gagal mengirimkan dana 1,100 USD sesuai permintaan, setelah 1,200 USD yang sudah dia kirimkan sebelumnya. Meski tidak dibicarakan, aku bisa menebak dari makin jarangnya Jona tenggelam di dalam HP-nya, makin jarangnya Jonah berfoto ria di pagi maupun sore hari. Jonah tampak sedih dan terpukul, beberapa kali dia kembali meragukan kemampuannya, sesuatu yang di tahun pertama hubungan mereka, sering kali Jonah lakukan. Setiap itu muncul, aku akan menyanyikan lagu yang sama, mengagungkan kemampuan Jonah, menyanyikan lagu pujian dan terus menyatakan cinta meski Jonah akan menjawab dengan sekedarnya saja. Aku perempuan Jawa yang dibesarkan dalam tradisi pengabdian perempuan kepada lelakinya, hanya bisa memandang sedih ke lelaki yang sangat kucintai ini, sulit bagiku untuk memahami bagaimana seorang perempuan hanya bisa mengukur keberhasilan sang lelaki dari uang yang dihasilkan, betapa perkembangan pribadi yang bahkan bagiku yang baru 3 tahun mendampingi tampak jelas terjadi dalam diri Jonah, tidaklah menjadi pertimbangan utama. Dalam ajaran budayaku, harga diri suami adalah yang paling utama. Seluruh kehidupan akan runtuh saat kepercayaan diri suami kita juga runtuh. Sejak kecil ditekankan bahwa seberapa pun besar pendapatanku, sangat lah penting bagiku untuk menjaga harga diri suamiku, menempatkannya di depan dan mendengarkan pendapatnya, sekonyol apa pun pendapatnya itu. Bertahun lalu, saat pernikahanku masih berlaku, aku berusaha melakukan hal yang sama dan kini saat kekasihku mengalami hal serupa, meski selama 3 tahun ini tidak banyak yang dia lakukan untukku, aku harus tetap menjaga harga dirinya, menjadikannya lelaki yang kuat, menjadi sandaran yang bersikap seolah dia yang bersandar.

Namun bagiku juga sulit memahami, bagaimana Jonah terus menerus membuktikan diri, mengejar dan jatuh untuk cinta yang begitu materalistis sembari menginjak, meremehkan dan tidak menghargai dirinya yang selama 3 tahun duduk diam dalam terpaan badai kehidupan mereka berdua. Aku tidak memahami mengapa Jonah tidak bisa memandang dirinya, tidak bisa memandang apa pun yang sudah aku lakukan dan bersikap seolah semua yang aku lakukan adalah kewajaran. Jonah tidak pernah mengindahkan kediamanku meski aku tahu dia terus mengirimkan duit ke Afrika sembari menyatakan padaku bahwa dia tidak punya uang dan memintaku berbagi beban. Juga saat dia memilh untuk menghamburkan uangnya di pub-pub jalanan sementara beberapa tagihan tetap menjadi tanggung jawabku. Aku tidak mengerti apa pun yang terjadi dalam hidupku belakangan ini...

Beberapa tagihan sudah terlambat dibayarkan, sewa rumah, cicilan mobil dan tunggakan-tunggakan lainnya. Meski bingung, aku tahu dan paham bahwa ini hanyalah sebuah tahapan dalam hidup. Bertahun lalu, saat masih menjadi istri, aku juga pernah menjalani hal yang sama, menyelesaikan masalah satu per satu sembari menjaga harga diri dan percaya diri sang suami bukanlah tugas yang mudah. Menjaga agar kapal rumah tangga tetap mengapung, menjaga anak-anak tetap positif dan seimbang, menjaga agar suami tetap percaya pada kemampuannya, termasuk menjaga agar kewarasannya tetap menempel di kepala bukanlah tugas yang ringan dan aku tahu benar itu.

Sekarang, enam tahun kemudian, aku kembali mengalami hal yang sama, bedanya lelaki ini belum menjadi suaminya, lelaki ini memiliki perempuan lain yang dia banggakan, perempuan yang baginya dia sanggup mengadu nyawa namun lelaki ini menyandarkan diri padaku untuk dukungan moral dan keyakinan karena perempuannya kurang pandai merangkai kata penguat. Hinaan demi hinaan, kemarahan demi kemarahan, tagihan demi tagihan harus aku telan sambil terus tersenyum dan menyanyikan lagu penguat kepercayaan diri ke telinga Jonah dan Jonah terus tenggelam dalam sedihnya, matanya memandang nanar ke sososk di belakangku yang tak nampak, yang tak berwujud. Dan kembali aku terus menelan sedih dan luka. Berusaha terus mencari wajah TUHAN di dalam semua masalah-masalahnya. aku memang sejatinya seorang Ibu..

Ariana                      : Baby, I think we need to rent the car, cause we have not pay the installment for          almost over a month now. What do you think? At least we can pay the car then          when you have money, we can continue to pay it again.
Jonah                       : Ah, Ariana, what are you talking about? Anyway, if that what you think is best           for you, then do it.
Ariana                      : For me? I thought it is all about us. Well Sayang, I know you need the car, that            is why I offer it for daily rent. That way when they don’t use it, you can use the         car and hustle for your money.
Jonah                       : Daily? Then who is going to drive the car?
Ariana                      : I will. I am quite a good driver, and that way I know our car is safe.

Jonah terdiam.

Di lain waktu, aku yang terusir dari apartemennya, mendiskusikan pilihan sewa pada lelaki yang terus berusaha ditunjukkan rasa cinta dan pengormatan seorang perempuan, tanpa melibatkan kemampuan keuangan. Aku sendiri yang akan mencari biaya sewa rumah, namun bagaimana pun sebuah bentuk penghormatan dan penghargaan apa bila dia mengajak Jonah berdiskusi sebelum membuat keputusan.

Ariana                      : Baby, I am looking for a room to rent. The owner doesn’t allow me and my                children to stay there anymore. I don’t want to put her into trouble, better we              move and start all over again.
Jonah                       : And the children?
Ariana                      : Of course they will be with me.
Jonah                       : You cannot put them to their father until you can go back to your feet?
Ariana                      : Oh My, that would never happen. They are my responsibility. I would never let          them go for anything. I will fight until my last drop for them. GOD will punish          me if I gave them up. I am a mother, Jonah, no mother can do that.
Jonah                       : Ah Ariana, many women do that. Most of them put their children to their                    grandparents or ex husband then they go and live with their boyfriend. (dan ini            benar adanya. Setiap bertemu pacar lelaki Afrika, mereka menanyakan hal yang          sama, kenapa kami tidak tinggal serumah. Jawabanku selalu, anak-anakku. Aku          tidak mau anak-anak terbelenggu akan kewajiban menerima Jonah dalam hidup          mereka. Dan tidak mau anak-anak terluka kembali apabila hubungan mereka              memburuk. Bagiku, lelaki yang bisa tinggal bersama dengannya adalah                        suaminya.)
Ariana                      : (Diam)
Jonah                       :  But baby, why don’t you just pay the rend with that money for a new room. I              know I am going to get money this month, I will pay for you after that.
Ariana                      : Ah, better we safe the money to build a business. I don’t want to spend to much          on place to stay. You are right when you said we should economize.
Jonah                       : (memandangku dengan wajah sedih dan putus asa, merasa tak berdaya                        menolong perempuan yang ada di sampingnya selama dia di Jakarta ini).

Perpindahan pun dilakukan, Aku menemukan tempat yang nyaman di atas gereja, tempat yang luar biasa menurutnya, karena tempat itu jelas makin mendekatkannya dengan TUHAN. Dan hatiku makin menguat dan tenang. Aku tahu Jonah tengah bergumul dengan pikirannya, menimbang perjuanganku dan tuntutan perempuan di Afrika serta ibunya yang kian hari kian berulah. Aku tahu kenapa sang ibu berulah dan terus menuntut uang tidak seperti biasanya tapi aku tidak berani berbicara. Lewat kisah yang dituturkan adik Jonah di Afrika, terungkap betapa perempuan ini tidak peduli dengan kondisi keluarga Jonah. Mereka merasa perempuan ini hanya mengincari uang Jonah dan menginginkan Jonah berada di bawah kekuasaannya. Sesuatu yang sebenarnya tanpa perlu melihat pun sangat kuat aku rasakan. Itu  sebabnya sang ibu berubah. Dia tidak rela anaknya direnggut oleh perempuan yang sudah terbukti tidak peduli, perempuan yang terus menerus mengingatkan Jonah untuk tidak membuang uangnya selain untuk dirinya dan sang anak. Hal yang sama pernah dia sampaikan lewat sms yang tanpa sengaja aku baca. Dengan penuh sedih Jonah meyakinkan perempuan itu bahwa dia tidak menghamburkan uangnya untuk siapa pun di Indonesia. Sebuah pertanyaan yang bagiku sangat menghina. Aku kah yang dia pertanyakan? Aku kan yang dia takutkan akan merembut uang lelakinya? Uang yang mana? Selama ini Jonah hidup dengan pas-pasan. Bulan ke bulan hanyalah bentuk perjuangan, aku belum pernah diajak berlibur, belum pernah dibelikan barang mahal, belum pernah diperlakukan mewah. Selama hubungan kami, aku hanya melihatnya menanggung beban demi beban. Lebih menyakitkan lagi saat dia mendapatkan uang, Jonah bergegas pulang ke negaranya, membeli bermacam barang, membeli bermacam buah tangan, bahkan minum keras yang mahal. Setiap hari aku mendengarnya tertawa, tersenyum, bersenang-senang. Melihat foto-fotonya berpesta, menikmati hidup, kemudian dia akan kembali lagi kepelukanku dengan tangan hampa, membawaku kembali ke lingkaran perjuangan tiada hentinya.

Namun meski kondisi keuangan mereka sangat buruk, aku merasa sangat bahagia. Jonah menunjukkan perubahan, dia tidak lagi berbicara kasar, tidak lagi membentak, tidak lagi meremehkan. Meski selaput duka masih tampak di matanya, Jonah tampak bingung, cintanya pada ibu anaknya namun juga kenyataan yang dia lihat di kehidupan nyatanya bersamaku membuat Jonah berpikir bagaimana dia bisa menyelesaikan pelik ini. Beberapa kali Jonah mulai bicara tentang pernikahan, tentang kehidupan bersama di masa depan, tentang strategi bagaimana di masa depan mereka berdua bisa menghadapi masa-masa sulit seperti saat ini,

“Sayang, I think its better for you to find a job. You know my business always down at the beginning of the year. Last year you were the one who supported us until I get my money on March. But this year, we both are down, this is not good, Sayang.”

Di waktu yang berbeda, Jonah menawarkan untuk mengantarkan pulang,

“Love, we are not in a good situation, we need to support each other. The money that you spend on taxi can be used for other expenses. Tomorrow you need to go out for an interview right? So I better bring you home.”

Hatiku sangat bahagia. Meski kehidupan menghimpitnya dari segala sudut, tapi aku bahagia. Himpitan ini membuat Jonah berubah pandangan tentang hubungan mereka. Jonah melihat perjuanganku, betapa aku mampu dan mau mengerjakan segala yang halal dan tidak tergoda untuk mengerjakan bisnis kotor Jonah. Aku tetap diam, tidak berbicara tentang uang, berusaha menyelesaikan masalahku sendiri sambil terus mendampingi Jonah, menemaninya saat dia merasa tidak mampu, melayani keperluan Jonah semampuku, mengesampingkan kebutuhanku sendiri demi menjaga agar Jonah nyaman dan tidak merasa terabaikan karena kondisi keuangan kami. Aku berjuang, aku berusaha.. Menekan semua marah dan sedih, mengesampingkan kebutuhanku sendiri, kecemasanku sendiri, kepanikanku, karena menyadari kekuatanku adalah ketenangan Jonah. Meski mulutnya berkata lain, terus dia minta Jonah bertahan dan kuat,

“My Strong Love, please stay strong. You know you are my inspiration. Looking at you being so strong, inspired me to stay strong also. You believe to GOD, inspired me to believe in HIM also. I know GOD have big plans for you, and since the day I met you, I believe that you are destined to be great. And I am so honored to be part of your journey. I love you”

Ini bentuk sms yang secara berkala kukirimkan ke Jonah. Demi menjaga perasaanya, menjaga harga dirinya. Jonah adalah suami bagiku. Jonah adalah sosok yang di depan TUHAN telah dijanjikan akan didukung sampai tujuannya tercapai. Jonah adalah hidup bagiku.             

Dan hari Minggu itu tiba..

Seperti biasa au memakai mobil untuk kegiatan gereja dan seperti biasa, aku harus mengembalikan mobil itu di hari Senin. Namun Senin ini seperti saran Jonah, aku menerima panggilan wawancara untuk bekerja. Karena itu akan sulit apabila aku harus mengembalikan mobil keesokan harinya. Jonah kemudian menawarkan untuk mengantarku dan anak bungsuku pulang di malam hari sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan dana taksi. Kemudian..

Jonah                          : Sayang, Barcelona is playing tonight. If I bring you home, I will not be able to           watch my football. Why don’t you come tomorrow and I will drop you?
Ariana                         : (hmm apabila aku kembali besok, pasti akan terlambat dan sangat pagi) Its               going to be difficult for me, Sayang. Why don’t we just stop by and go home           by taxi?
Jonah                          : Just bring you son home, Sayang then come to me.
Ariana                         : Then how will I get home?
Jonah                          : You can stay and go in the morning.
Ariana                         : Ok, what time do you want me to come?
Jonah                          : Anytime you are ready, My Love. I am home.
Ariana                         : Ok.

Jam menunjukkan pukul 12 malam saat aku mulai menuju rumah Jonah. Seperti biasa, aku mengirimkan pesan, mengabarkan kedatangannya dan Jonah bahkan menelepon memintanya membeli sayuran untuk dia masak keesokan paginya. Semua masih sangat indah..

Aku tiba di rumah Jonah pukul 12.30 dini hari, setibanya di parkiran, aku menghubungi Jonah, namun telepon dimatikan, tidak dijawab. Aku pun turun dari mobil, menanti di depan lift sampai Jonah datang menjemput. Namun setelah hampir 10 menit, tidak ada gerakan. Kembali aku mencoba menghubungi Jonah, tapi HP selalu dimatikan.

Akhirnya salah satu penghuni apartemen tersebut naik ke atas lewat tangga, memberiku kesempatan untuk ikut masuk dan naik ke lantai tiga tempat Jonah tinggal. Dengan tas laptop di punggung, tas tangan dan ikatan kangkung, aku mendaki tangga setinggi 3 lantai. Kelelahan yang aku rasakan karena sejak pagi mondar-mandir mengurus Jonah kemudian melayani di 2 gereja, benar-benar membuat kakiku sakit dan napasnya terengah-engah, namun aku terus melaju, lelaki yang kucintai menanti di ujung tangga, aku harus naik, harus meninggalkan lelah, menuju pelukan kekasih, suami, panutan yang sangat kucintai itu.

Setibanya di atas, aku bisa mendengar suara Jonah berbicara di telepon, rupanya Jonah sedang sibuk. aku mengetuk pintu dengan lembut, pintu terbuka, Jonah memintaku masuk sambil tetap memegang HP putih yang selalu dia genggam. Lalu perempuan itu menelepon kembali, Hatiku sedih namun membiarkan Jonah berbicara. Godaan untuk bersuara agar perempuan itu tahu keberadaannya sangat besar. Aku ingin dikenali, aku ingin diakui, aku ingin dimanusiakan. Aku bukan pelacur, aku bukan teman tidur, aku bukan tumbal.. tapi semua itu kutahan, Aku sudah berjanji pada dirinya untuk menghormati perempuan di seberang, karena Jonah menjanjikan bahwa perempuan itu pun menghormatiku. Meski hatiku berontak, meski hatiku terluka, aku merasa bahwa siapa pun berhak mendapatkan penghormatan, siapa pun berhak mendapatkan peluang untuk bahagia, siapa pun itu, termasuk diriku. Tapi kelelahan akibat naik tangga membuat napasku sesak, dan aku pun terbatuk.

Jonah segera bangkit dari duduknya dan bergerak ke balkon kamar sembari menutup pintu di balkon. Hatiku sangat sakit. Aku tahu apa yang terjadi, tahu siapa yang menelepon, tahu kenapa Jonah pergi, tahu mengapa aku dibiarkan menunggu di depan lift begitu lama.. Aku tidak berarti, aku tidak bermakna, aku bukan manusia, tidak cukup pantas untuk dihargai dan diberi cinta, begitu selalu yang dikatakan Jonah dalam marahnya, dan malam itu semua menjadi begitu nyata.

Akhirnya Jonah menyelesaikan pembicaraannya, sambil membuka pintu dengan kasar, Jonah menatapku dengan nanar:

Jonah                    : “Every time you are here, I cannot do anything that I want.”
Ariana                   : Memandang Jonah dengan heran, “What have I done?”
Jonah                    : “You always try to put me into problem.”
Ariana                   : “What? What problem?”
Jonah                    : “Why are you coughing? Are you having a cough? You just want to make                                             problem.”
Ariana                  : “Climbed the stairs to come here, and you know I am not good with stairs. I cough       because I could not breathe. Why would I want to put you into problem?”

Kelelahan, mengantuk, tidak paham, membuatku sulit mengendalikan amarah. Tapi apakah aku tidak boleh marah, Tuhan? Apakah aku tidak berhak tersinggung? Apakah bahagia hanya milik orang lain, Tuhan? Meski aku sudah berjanji menjadi pelayan manusia, tapi apakah aku harus dihina seperti itu?

Ariana                   : “Hey, I did not come here by my self ya, you are the one who ask me to come.”
Jonah                    : “Ya, because I cannot agree with your stupid idea.”
Ariana                   : “What idea? I told you we could just go home by taxi, instead you asked me to              come and stay over? Ah what are you doing, Jonah? Who do you think I am? I              am not a prostitute. I am not some cheap woman, I am a mother. How dare you            to treat me like that? If you have problem with other woman, that is not my                    business and don’t ever blame it on me.”

Aku terluka sangat, aku meraih tas punggungku dan berjalan keluar. Saat itu sudah pukul 1 pagi, Aku keluar dari kamar Jonah tanpa menutup pintu. Dengan sedih dan terluka aku menunggu lift yang akan membawaku ke lantai B1. Aku tahu, Jonah tidak akan berlari menghampiri, Jonah tidak akan peduli. Aku terluka, Aku sangat sangat terluka.. Tidak ada air mata keluar dari mataku, hanya kemarahan dan kebencian yang meluap.

Terdengar Jonah membanting pintu dengan keras..

Aku berlari ke jalan, berjalan mencari taksi yang akan membawanya pulang. Saat itu sudah pukul 1.30 pagi. Jalanan di depan apartemen Jonah sudah mulai ramai oleh pedagang pasar, dan aku bisa merasakan mata mereka memandangiku dengan aneh. Aku memang tidak memakai pakaian untuk pub atau semacamnya, aku berpakaian rapi karena rencananya besok akan langsung ke tempat wawancara, namun tetap saja pandangan mata aneh diarahkan padaku. Aku berjalan dengan marah, tidak ada air mata yang menetes, hanya kemarahan luar biasa. Aku merasa dilecehkan, tidak dihargai, tidak dianggap dan diletakkan jauh lebih rendah dari perempuan yang bahkan tidak pernah mengenalku. Siapa pun dia, siapa pun aku, tak seorang pun pantas diletakkan di bawah. Bahkan aku menghormati pelacur yang pernah menjadi kekasih Jonah, tidak sekali pun aku berbicara dengan menghina, lalu mengapa aku ditempatkan serendah ini? Mengapa Jonah tega membentak dan menuduhku di saat dia yang memintaku datang? Tidak bisakah dia mengendalikan perempuannya, memintanya menghormati aku yang bagaimana pun adalah pengurusnya di Jakarta ini, penanggung jawabnya di sini. Dan hatiku yang sudah didera begitu banyak masalah, patah...

Kembali aku terluka.. 

Minggu, 25 Januari 2015

Siapakah Kami Bagimu...

Lia                   : Who can stand this, ya? When money banyak, you go and chase pussy all over Jakarta. Indonesia, Afrika, all kind. You enjoy, pay for her everything but when things gone bad. Sudah sakit begini, no body wants to take care of him. All call me. Enak aja.
                        
                    Kau mungkin tahu, Ariana, Jonah juga pasti tahu. Itu pelacur Sierra Leon, dia juga sering dibawa ke gerejamu kok. Ada kok fotonya sama Jonah dan latar belakangnya gerejamu. Masa kau gak tahu, Ariana? Coba kau lihat chat mereka di FB. Kau lihat, tuh cewek selalu manggil duluan (sambil membuka lama FB kekasihnya). Lihat, dia bilang “apa adikmu tidur?” ini ngomongin barang dia, Ariana. Tuh lihat, dia bilang “I love you” segala. Maaf ya, Ariana.  Tapi sampai hari ini, sudah tiga hari Andy tergeletak seperti ini dan dia sama sekali gak muncul. Adiknya kemarin muncul dan waktu aku berikan resep dokter yang kudu ditebus, dia langsung ngibrit hahahaha Takut dia, Dik. Takut kudu ikut biayai kali. Padahal resep yang aku kasih murah banget, paling cuma seratus ribu rupiah.

Aku hanya bisa tersenyum kecil sembari memandangi kekasihku yang dengan wajah kuyu lelah dan prihatin memegang tangan teman senegaranya itu. Andy, kekasih mbak Lia, adalah satu teman dekat Jonah di negara ini. Mereka sering beroperasi berdua. Aku sendiri kurang suka dengan pertemanan mereka, karena Andy memang sangat doyan minum dan juga perempuan. Setiap kali Jonah beroperasi dengan Andy, hampir bisa dipastikan akan terdengar suara kikik perempuan di latar belakang. Mereka akan beroperasi dengan seks dan merayakan keberhasilan dengan minuman keras dan seks lagi.

Sekitar 8 bulan yang lalu, aku mengirimkan pesan singkat ke Andy dan kekasihnya. Meminta mereka untuk berhenti berbicara denganku. Aku lelah mendengarkan kata-kata terlalu positif dari Andy tentang kekasihku dan kemudian semua keburukan tentang kekasihku dari kekasihnya. Semua suara itu membuatku bingung dan membuat hubungan kami memburuk hingga Jonah menghajarku. Sejak itu Andy menolak berbicara denganku, Lia bahkan memaki-maki aku di depan Jonah. Dan hubungan kami pun berhenti.

Saat ini Andy tengah terbaring lemah, stroke melanda dan melumpuhkan tubuh kirinya. Lelaki bertubuh besar ini berbaring gelisah. Mulutnya terus menceracau akibat tekanan darah di otaknya. Lelaki ini tampak lusuh, kotor dan lemah. Segala marahku sirna. Aku hanya melihat lelaki lemah, sendiri, tak berdaya dan dia berada di kotaku, di negaraku.  Tangan kirinya yang tak bisa digerakkan, ditusuk jarum infus yang bahkan pacarnya pun tidak bisa menjelaskan untuk apa. Aku yang terbiasa bertanya tentang segala hal, sama sekali tak bisa memahami, mengapa dia bisa membiarkan begitu banyak benda masuk ke tubuh pria yang dia cintai tanpa dia tahu apa nama dan bahkan guna apa lagi dampaknya.

Kak Lia tampak sangat tua, sangat lelah. Sudah tiga hari tiga malam dia ada di rumah sakit ini, menemani kekasihnya. Kekasihnya ini terjatuh dalam diam ,setelah beberapa hari sibuk bersenang-senang, mabuk sampai pagi dan tidak mengindahkan perasaan sang perempuan. Dia baru selesai melakukan perjalanan ke Malaysia bersama perempuan Afrikanya (entah bagaimana aku harus mendefinisikan perempuan ini) menikmati seminggu penuh kemesraan sambil membiarkan perempuan yang mendampinginya selama 3 tahun di Indonesia dalam kegelapan. Dan perempuan ini hanya bisa diam dan menangis, seperti kebanyakan perempuan lain yang ada di sisi para pria Afrika.

Lia                   : Dua hari setelah Natal, anak-anakku menunggu Andy untuk datang. Tapi Andy tidak datang dan tidak menelepon. Waktu aku telepon, dia malah memaki-makiku dan kemudian mematikan teleponnya. Aku sakit, Dik. Aku gak peduli kalau dia hanya menyakiti hatiku, tapi ini menyangkut anak-anakku. Mereka tidak berhak disakiti. Mereka tidak pantas dilukai. Mereka gak tahu apa-apa, Dik dan mereka sudah diabaikan oleh ayah kandung mereka. Tapi aku diam saja, Dik. Aku jemput dia saat tengah mabuk berat. Semua bilang aku harus datang karena Andy bertingkah aneh.

Dia selalu bilang gak punya duit, tapi semua foto perempuan brengsek itu selalu nampak mereka sedang bersenang-senang. DI pantai lah, di restoran lah. Semua hanya menghamburkan duit.

Cewek Sierra Leon tuh, Ariana, kalau di sini gak ada kerjaan. Mereka gak ikut bisnis seperti para lelaki ini. Gak jualan di Tanah Abang, apa lagi coba yang mereka kerjakan, selain jual pussy-nya. Mereka ini kan cuma cari lelaki Afrika yang cukup goblok untuk mau ngurusin mereka. Gimana gak goblok, Dik. Punya cewek Afrika di luar negeri berarti kudu ngurusin juga kan? Emang kita, Ariana. Bisa urus diri sendiri? Mereka mah kudu dibayarin VISA, belum sewa rumah di sini, makan, kirim uang ke Afrika. Andy aja bego. Ariana cuma mau cari pussy aja. Padahal juga apa bagusnya kan?

Ariana          : Lalu kenapa Andy melakukannya, Kak? Untuk apa dia mencari cewek Afrika?  Kenapa gak cari cewek lokal aja kalau memang mau main-main?

Lia                   : Karena membanggakan buat mereka, Dik. Punya cewek Afrika itu membanggakan. Sekarang coba? Kita kan yang kelimpungan? Kenapa coba saat senang dia ingatnya nomor cewek-cewek lain? Kalau susah, kenapa nomor kita yang dia putar?

Teriakan perempuan ini sebenarnya mewakili begitu banyak perempuan lain yang tengah berhubungan dengan pria Afrika di Indonesia. Siapakah sebenarnya kami ini di mata mereka? Siapakah sebenarnya kami ini di dalam hubungan dengan mereka?

Selama di Indonesia dan di negara mana pun di dunia, mereka membutuhkan perempuan untuk menjadi teman tidur, untuk menemani dan mengurus keperluan fisik mereka selama mereka jauh dari keluarga. Tidak  hanya seks, namun banyak kebutuhan lainnya.  Kebanyakan, di awal hubungan akan dijanjikan pernikahan di ujung hubugan. Sesuatu yang masih sangat didambakan oleh kebanyakan perempuan di dunia. Dengan berbekal mimpi akan dinikahi, akan diajak menemui keluarga di Afrika, para pria ini menjerat perempuan-perempuan di dunia. Bagaimana jeratan ditabur? Tergantung bagaimana ikan yang akan dijerat. Mereka bisa berubah menjadi apa pun yang diinginkan perempuan ini, ya, karena mereka menebarkan ilusi, mimpi dan bukan sejatinya dirinya.  Tapi apakah mimpi itu ada?

Beberapa teman Afrika sebangsa Jonah pernah berkata bahwa pria Afrika akan menikahi perempuan Indonesia yang membantunya dalam bisnis. Perempuan yang membantunya mendapatkan banyak uang. Dan kebanyakan perempuan ini juga menikahi sang pria karena tidak mau pria ini membagikan uangnya ke perempuan lain. Pria Afrika kebanyakan hanya akan menikahi perempuan dari negaranya, karena di sini dia tidak bisa berinvestasi dan menginvestasikan uang atas nama perempuan lokal sangatlah beresiko. Begitu banyak kisah pria Afrika yang dihabiskan hartanya oleh perempuan yang sudah menjadi kekasihnya. Namun aku juga tidak bisa menyalahkan para perempuan ini. Banyak dari kami yang sudah dirusak oleh gaya hidup dan pemahaman materialistik para pria Afrika ini. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan muda dari keluarga sederhana dan pendidikan yang rendah. Kepada mereka diperkenalkan kemewahan yang disebutkan didapat dari “permainan” mereka. Betapa mudah sebenarnya mendapatkan uang dan betapa manisnya kehidupan saat kita punya uang banyak. Mereka inilah yang “beruntung” dinikahi para pria Afrika. Keduanya kemudian menjalani kehidupan yang mewah di satu saat dan kemudian miskin di saat yang lain. Meski sedang miskin, para pria Afrika ini tetap hidup di atas standar miskin Indonesia. Mereka tinggal di apartemen, berkeliling menggunakan taksi, minum bir hampir tiap malam, memegang HP mewah dan berpakaian keren serta wangi.

Aku sudah menemani Jonah selama 3 tahun, dan tidak sekali pun aku terlibat dalam permainan-nya. Di awal pertemuan aku sudah menyatakan bahwa aku belum tertarik untuk menikah dan apabila Jonah memang menginginkan pernikahan, lebih baik kami tidak memulai apa pun, karena aku tahu aku akan jatuh cinta dan juga akan terluka. Tapi Jonah tetap meminta kami bersama, dia mengatakan juga tidak tertarik untuk menikah. Dua tahun berlalu dan Jonah mulai menjejaliku dengan kebaikan-kebaikan ibu dari anaknya di Afrika dan betapa dia pantas dinikahi sementara aku tidak. Berulang Jonah menyebutkan betapa dia tidak akan pernah bisa menikahiku. Selalu saja digunakan fakta bahwa aku pernah bercerai sebagai alasan. Katanya dia tahu aku akan pergi begitu ada masalah, dia tak peduli betapa aku memerlukan waktu 14 tahun sebelum memutuskan bahwa aku harus keluar dari pernikahanku. Dalam setiap pertengkaran kami, dia selalu meyebutkan kebaikan perempuan itu dan menyatakan cinta luar biasanya kepada perempuan ini dan aku selalu terpuruk diam dan menangis.

Setiap Jonah mengalami masa buruk, pikiranku melayang.. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalaku. Siapakah kami ini? Saat harus dihadapkan pada situasi seberat ini, bagaimanakah kami harus bersikap? Apakah menjadi pacar sementara, seperti yang selalu didengungkan oleh Jonah di telingaku? Lalu apakah seorang pacar sementara akan meluangkan waktu dan tenaganya demi menjaga dan menyelamatkan lelaki pasangannya? Apakah kami harus mengorbankan segalanya saat bahkan posisi dan status kami tidak jelas? Saat Jonah mengalami masalah di imigrasi, siapakah aku hingga aku harus melepaskan semua urusanku demi membantu dia menyelesaikan masalahnya? Saat Andy terbaring lemah dan sakit, siapakah kak Lia,  hingga dia harus mengorbankan segala waktunya untuk lelaki yang bahkan di saat uang datang, hal pertama yang dia lakukan adalah pulang ke negaranya, sendiri?

Kami di sini untuk menemani para lelaki ini berjuang. Kami ada saat mereka tidak punya uang sama sekali, menemani saat mabuk, menemani saat sakit, menemani saat dia marah-marah akibat stres tekanan kebutuhan di sini dan di Afrika, menelan ludah saat dia ketahuan berselingkuh, menelan marah saat kata-kata mereka menjadi kasar akibat mabuk. Menutup mata melihat semua pesan mesra di FB, Badoo, WA, LINE dan banyak alat komunikasi lain, karena kita tidak tahu mana klien dan mana yang dia rencanakan untuk menjadi kekasih berikutnya. Menelan ludah dan menahan hati saat dengan bangga dia memasang foto perempuan Afrikanya, memuja bak dewi dan menyebutnya pasangan hidup, sementara semua sakit kami yang rasakan, kami yang tanggung. Lalu saat uang datang, mereka bergegas pulang, bersenang-senang di negaranya dan berharap kami menunggu, menghormati dan setia?

Sampai tahun ketiga kami bersama, aku tidak pernah bisa memahami konsep hubungan ini. Tiap tahun Jonah pulang, aku selalu mengatakan bahwa ini adalah akhir hubungan kami. Bahwa dia sudah menemukan kekasihnya dan aku tahu betapa aku sangat mudah untuk digantikan, maka aku rela digantikan. Bagiku, aku tidak melihat Jonah sebagai pasangan sementara. Bagiku dia adalah kekasihku, pasanganku, mitraku, orang yang sangat aku kasihi, yang sangat aku cintai, aku hanya tahu satu bentuk cinta. Tapi aku tidak pernah bisa memahami apa yang dia inginkan dalam hubungan kami. Dia seolah memisahkan kehidupannya di Afrika dengan kehidupannya di Jakarta. Well itu juga bisa dilakukan, tapi kudu konsisten. Jangan pernah kau menceritakan kehidupan Jakarta mu kepada dia di Afrika seperti kau putuskan hubunganku dengan semua keluargamu di Afrika.

Mungkin memang benar, aku terlalu naif untuk bisa memahami bentuk hubungan seperti ini. Kebanyakan perempuan yang berhubungan dengan pria Afrika akhirnya beradaptasi. Mereka melihat si lelaki hanya sebagai sumber kesenangan. Karena itu mereka melindungi si sumber dengan segenap kekuatan. Mereka akan menendang, mencakar, menghancurkan perempuan lain yang berusaha merusak sumber ini. Tak peduli dengan apa yang ada di negara lain, selama “kebutuhan” mereka terpenuhi. Mereka menerima lelaki lain sebagai teman bermain, karena tekanan hubungan begitu kuat dan untuk apa setia? Toh hubungan ini tidak akan membentuk apa pun. Kebanyakan dari mereka kemudian terjebak dalam kehidupan bersenang-senang, melompat dari satu pelukan ke pelukan yang lain, menikmati kehidupan bebas dan penuh kesenangan duniawi. Aku pernah hampir terjatuh ke dalam kehidupan itu. Aku tidak memandang lelaki Afrika sebagai lelaki, melainkan hanya sebagai sumber kesenangan. Lelaki Afrika menyenangkan, karena mereka membutuhkan perempuan paling tidak untuk seks. Dalam kebutuhan itu, mereka akan menempatkan diri di bawah si perempuan, berusaha keras membuatnya bahagia, setidaknya di saat itu. Berbeda dengan pria Kaukasia, mereka terlalu percaya diri. Terlalu yakin rasnya tertinggi dan akan selalu didambakan oleh ras yang lebih rendah.

Dan aku tercenung...

Kakaku yang baik, kau begitu terberkati. Kau diberi kesempatan untuk menunjukkan baktimu pada TUHAN. Seperti yang selalu aku katakan pada diriku sendiri, tiap kali aku harus melalui api demi menemani Jonah di negara ini. Aku melakukannya untuk TUHAN. Karena hanya DIA yang tidak akan pernah mengecewakanku. DIA melihat semua usahaku untuk menemani dan berlaku baik pada lelaki yang DIA kirimkan ke kehidupanku. Aku tahu tiap manusia punya tujuan saat dia hadir dalam hidup manusia lain. Aku punya tujuan saat hadir di kehidupan Jonah, begitu pula Jonah punya tujuan saat hadir di kehidupanku. Meski peluangku tampak sangat kecil, bahkan hampir tak munkin. Meski dalam pikiran logika aku tampak bodoh dan memperjuangkan sesuatu yang tak mungkin, tapi aku tahu TUHAN bisa mengubah segalanya. Berkali-kali TUHAN menolongku di saat sempit, berkali pula DIA menunjukkan kuasa-NYA dalam perkara-perkara kecil. DIA ingin aku mempercayai-NYA untuk perkara yang lebih besar.

TUHAN, aku tidak tahu ke mana arah hubungan kami dan kurasa itu bukan bagianku. Bukan urusanku. Itu adalah pekerjaan-MU. Tugasku hanyalah memastikan semua langkahku sudah sesuai dengan petunjuk-MU. Bahwa aku memberikan cinta sesuai dengan apa yang kau inginkan, bahwa aku berbuat baik sesuai dengan kebaikan-MU padaku.  TUHAN-ku, KAU tahu hatiku, KAU tahu tangisku dan KAU akan mengubah segala tangisku menjadi senyuman.

Demikian juga kau, Kakakku Sayang. TUHAN akan membayar lunas semua peluhmu untuk lelaki yang kau cintai. DIA akan menggantikan semua lukamu dan sakitmu dan DIA akan turun tangan untuk segala perkara dalam hidupmu..

Malam itu, Jonah memelukku erat..
"Ariana, I love you.." Dan aku kembali terhanyut.. TUHAN, aku mencintai lelaki ini.

Jumat, 09 Januari 2015

Debar Tahunan

Hari ini aku gelisah luar biasa. Hal biasa kalau bulan sudah masuk ke Oktober. Bukan, bukan karena sebentar lagi Natal, bukan karena sebentar lagi Tahun Baru atau karena ulang tahun kebersamaan kami, tapi karena sebentar lagi VISA bisnis Jonah akan habis masa berlakunya dan sekali lagi, seperti tahun-tahun yang lalu, aku harus berurusan dengan para Agen pengurus Visa ini.  Dan sungguh, bulan-bulan ini adalah bulan yang membuat jantung habis berdenyut kencang dan air mata terkuras habis.

Tahun pertama aku berkenalan dengan tata cara pengurusan visa bawah tangan adalah saat Jonah terpaksa harus menyerahkan urusan ini padaku. Saat itu Agen yang dia gunakan untuk mengurus VISA gagal memberikan Telex dari Imigrasi dan membuatnya terdampar di Bangkok selama 2 minggu. Tak ada pilihan lain, Jonah memintaku untuk melakukan sesuatu agar dia bisa kembali masuk ke Indonesia. Aku bingung.. Selama ini aku selalu hidup dengan aturan yang ketat, aku tidak suka melanggar aturan apa pun. Aku tergolong kaku untuk urusan satu ini tapi kini kekasihku memintaku untuk melihat apa yang bisa aku lakukan. Sampai hari itu aku bahkan tidak tahu, izin tinggal apa yang  mereka gunakan, bagaimana mengurusnya, siapa yang mengurusnya.. Aku sama sekali buta. Tapi jelas aku tidak mau Jonah terlantar di Bangkok, aku tidak mau dia tidak bisa masuk ke negara ini, aku tidak mau kehilangan pria yang saat ini menjadi sangat penting dalam hidupku. Dia kekasihku, rajaku, pelindungku.

Secara natural aku mencoba mencari tahu apa yang bisa kau lakukan sesuai aturan yang berlaku di negaraku ini. Sebagai perempuan berpendidikan dan berpengalaman kerja cukup panjang, bukan hal sulit bagiku untuk mencari koneksi di Imigrasi dan menanyakan secara gamblang apa yang bisa aku lakukan untuk mengundang calon suamiku ini ke Indonesia dan jawabannya sangat mengecewakan. Aku diminta untuk berpikir ulang tentang hubungan kami. Dan apabila aku melanjutkan keputusanku untuk mengundang lelaki ini ke Indonesia, pihak Imigrasi akan benar-benar mempersulit prosesnya. Proses normal akan membutuhkan waktu 3 bulan dan izin tinggal hanya bisa diberikan untuk 1 bulan. Tuhan..

Akhirnya aku menghubungi salah satu kawan Afrikaku di gereja, aku tahu mereka pasti menggunakan jalur yang sama dengan kekasihku untuk mengurus izin tinggal mereka. Aku sampaikan aku membutuhkan bimbingan, aku minta dipertemukan dengan agen pengurus izin tinggal mereka di Indonesia. Aku ingin tahu bagaimana prosedurnya dan berapa biayanya. Ya, aku perempuan yang terbiasa berpikir dengan cara memahami masalah, menganalisa peluang lalu membuat rencana tindakan. Aku tidak biasa terjun tanpa memahami apa yang terjadi, dan bergantung sepenuhnya pada perlindungan lelaki.

Seorang teman Afrika dari negara yang berbeda dengan kekasihku membawaku ke seorang Agen yang juga berasa dari Afrika. Lelaki ini sudah bertahun-tahun berada di Indonesia dan bahkan sudah memegang paspor Indonesia. Dia sudah sangat dikenal di kalangan kaum Afrika di Indonesia dan bahkan di luar negri. Posisinya sebagai sesama Afrika memberinya keuntungan, karena mereka yakin sesama Afrika tidak akan merugikan atau mencelakakan saudaranya. Sebuah persepsi yang sangat amat keliru..

Singkat cerita, aku dibawa ke kantor Darameh yang berada di sudut wilayah yang dikenal sebagai wilayah kulit hitam di Jakarta. Di kantor berbentuk Ruko 2 lantai tersebut, Darameh menempati ruangan 4X6 di lantai bawah. Ruangan itu dia sekat dengan kubik kaca untuk membedakan antara ruangannya dan ruangan umum untuk tamu dan pegawai lainnya. Di kantor tersebut, Darameh menggantung baju-baju agar di mata orang luar dia tampak sebagai pengusaha legal yang berdagang pakaian, seperti stereotipe kulit hitam di Jakarta. Kalau bukan berdagang baju ya pemain bola hehehehe.. Pegawainya sebenarnya hanya satu perempuan muda yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris pribadinya. Perempuan ini mengurus segala sesuatu di kantor Darameh. Dia yang setiap hari akan selalu ada sementara bosnya berkeliling mengurus segala urusan bisnis kantor kecil ini. Perempuan ini berjilbab, tampak sudah berusia 25 tahunan, pendek dan agak berisi. Dia tampak riang dengan bahasa Inggris yang dicampur bahasa Indonesia, dia menyapa orang-orang kulit hitam yang datang silih berganti ke kantor kecil itu. Para lelaki Afrika ini memang sangat suka berkelompok, entah karena mereka berada di tanah rantau ataukah sudah  merupakan kebudayaan asli mereka. Tapi satu saudara yang memiliki kantor, maka dia akan menjadi tempat berkumpul para lelaki Afrika lainnya. Kebanyakan mereka berkelompok menurut negara asal. Pernah seorang lelaki dari Sierra Leon bercerita padaku tentang pengalamannya pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta. Dia mendarat di Jakarta pukul 9 malam, tanpa tujuan, dengan uang hanya 40 dolar di saku dan tanpa siapa pun yang dia kenal di negara asing ini. Tapi itu  bukan hal baru bagi para pengelana ini. Bagi mereka, perjalanan ke negara lain adalah perjalanan Iman. Dia hanya berdoa, membiarkan TUHAN memilihkan tujuan langkahnya kemudian terbang dengan keyakinan bahwa TUHAN akan mengurus mereka di tempat tujuan.

Lelaki ini meminta supir taksi mengantarkannya ke tempat berkumpul orang Afrika di Jakarta. Dia tahu, langkah pertama adalah mencari saudara senegara, dia akan membantunya memulai hidup di negara asing ini. Supir taksi mengantarkannya ke daerah tempat Darameh berada, karena malam sudah larut, wilayah itu pun mulai sepi, beruntung seorang pria dari negara lain melihatnya berdiri di tepi jalan dengan koper di tangan. Dia dibawa ke kantor Darameh dan diizinkan untuk tinggal bersama salah satu lelaki di rumah kost-nya dengan catatan dia harus datang setiap hari ke kantor Darameh dan membantu membersihkan ruangan. Chris (Sebut saja begitu) tahu, ini konsekuensi dari hidup dengan saudara yang bukan senegara, posisi dia memang harus merendah. Sudah beruntung dia bisa ditampung di sana.

Kantor Darameh selalu dipenuhi oleh para lelaki Afrika dari bangsanya, sang istri, yang juga perempuan Afrika, dengan setia datang di jam makan siang dan makan malam, membawakan makanan untuk semua pria yang ada di kantor. Negara ini biasanya memiliki istri yang sangat patuh dan buta huruf. Mereka hidup berkelompok di satu wilayah dan cukup tertutup. Meski pemampilan mereka sangat mencolok dibanding sekitarnya, tapi jarang sekali kita bisa melihat mereka di tempat umum. Biasanya para pria menyediakan semua kebutuhan wanita agar kaum wanita ini tidak perlu keluar dari rumah mereka. Tugas mereka hanya mengurus rumah dan anak, selanjutnya adalah bagian dari lelaki. Sebuah pembagian peran yang sangat tradisional dan berjalan dengan lancar di tengah hiruk pikuk modernisasi di Jakarta. Para lelaki di kantor ini akan saling tanggung menanggung  biaya makan, sedangkan mereka yang saat itu sedang tidak memiliki uang boleh menikmati makanan secara gratis. Hidup seperti ini yang membuat mereka bisa bertahan hidup di mana pun. Segalanya dibagi bersama, baju, properti seperti TV, HP dan bahkan kadang perempuan.

Teman Afrika-ku memperkenalkanku kepada Darameh, seorang pria kecil kurus berwajah alim. Darameh memiliki reputasi yang baik di kalangan teman sebangsanya, kebetulan aku punya beberapa sahabat dari bangsa ini dan mereka semua merekomendasikan pria ini. Dia berpenampilan sederhana, tidak seperti Jonah yang selalu tampak perlente. Tidak ada aroma harum yang menguar dari tubuhnya, hanya bau jalanan akibat perjalanan dengan ojeknya tadi. Berbicara dengan Darameh tidak terkesan cerdas atau pun perlente, dia menggunakan kalimat-kalimat sederhana yang sesekali ditingkahi dengan bahasa Indonesia jalanan. Bahasa yang kurang suka aku gunakan.

Aku duduk di depan Darameh, dibatasi meja kerja besar di dalam ruang kantor Direkturnya. Teman Afrika-ku duduk di sampingku dan sibuk menjelaskan mengapa dia membawaku kemari. Darameh memandangiku dengan penuh selidik, sambil tersenyum penuh arti (yang sampai detik ini, 2 tahun kemudian, aku masih tidak tahu apa makna senyumnya). Aku tahu bagaimana orang Afrika memandang perempuan Indonesia, aku tahu stigma apa yang mereka miliki pada kami, aku tahu pentingnya tampil menawan dan melepaskan diri dari stigma buruk tersebut. Karena itu aku sengaja menggunakan baju kerja yang rapi dan duduk dengan sangat sopan, mata memandang lurus ke mata Darameh (sesuatu yang bagi  mereka tidak biasa, karena perempuan tidak boleh memandang mata lelaki saat dia berbicara). Mike (teman Afrika-ku ini) memperkenalkanku sebagai temannya di gereja, dan aku membutuhkan bantuan Darameh untuk mengurus surat tinggal suamiku yang berkebangsaan N. Dia menyebutku ibu yang baik dan belum pernah mengurus hal ini sebelumnya. Aku hanya duduk tegak dan mengangguk dengan anggun atau setidaknya kurasa anggun.

Darameh berkata bahwa memang ada orang dari negara kekasihku yang datang mengurus surat padanya, tapi karena telex visa belum juga keluar di saat yang dijanjikan, Darameh mengembalikan uang lelaki itu dengan janji akan dibayarkan kembali saat telex keluar. Darameh menunjukkan selembar kertas permohonan Visa dengan nama Jonah di atasnya, dalam hati aku terkejut. Tapi sebagai perempuan dari pria Afrika yang bergelut di bisnis ini, aku sudah terbiasa menyembunyikan fakta bahwa aku mengenal kekasihku. Sering kali akan lebih aman bagiku untuk berpura-pura tidak mengenal, sehingga resiko hukumku berkurang.

Darameh lalu berbicara seolah sudah tahu bahwa aku datang untuk lelaki ini 
dan menjelaskan panjang lebar bagaimana kekasihku menjadi panik dan sangat marah.. Hmmm itu memang kekasihku, aku sangat mengenal temperamen panas dan mudah paniknya. Bagi dia dunia ini cepat sekali runtuh, segala masalah sering kali dipandang sebagai pertanda dari TUHAN yang menunjukkan bahwa dia tidak seharusnya berada di situasi itu. Baginya jalan TUHAN haruslah mudah dan mulus. Setiap masalah yang timbul, itu bisa menjadi tanda bahwa TUHAN tidak menginginkan dia berada di sini. Hmm terlalu sederhana.. sebenarnya TUHAN menempatkan masalah di jalan kita agar kita bisa lebih menghargai jalan tersebut saat kita ada di ujungnya. Karena pertanda dari-NYA bukanlah kemudahan, tapi kelegaan hati, kedekatan kita pada-NYA dan kedamaian yang kita rasakan. Meski jalan itu terasa mudah dan lapang, namun apa bila itu membuat kita lupa akan kekuatan dan peran-NYA, maka itu bukanlah jalan TUHAN.

Selama empat hari kemudian, aku duduk di ruangan itu selama 2-3 jam, mendengarkan Darameh yang terus memberiku alasan demi alasan tentang kenapa sampai hari itu telex untuk kekasihku belum juga muncul. Dan aku harus duduk diam, menekan marah dan perasaan tidak nyaman karena harus berada di tengah sekitar 10 pria Afrika tanpa kekasihku di sana. Sementara di Bangkok Jonah terus mabuk dan tiap malam melontarkan hinaan dan cacian karena ketidakmampuanku mengurus hal ini.

Darameh menyebutkan bahwa perusahaannya telah mengirimkan surat permohonan sponsor Visa bisnis ke pihak Imigrasi dan saat ini “bos” (demikian dia menyebut kontaknya di imigrasi) sedang mengurusnya. Sang “bos” perlu menandatangani surat persetujuan permohonan sponsor sebelum kemudian imigrasi mengirimkan surat pendaftaran visa ke kedutaan Indonesia di negara yang hendak dituju oleh penerima sponsor. Bisa Thailand, Malaysia, Singapura atau mana pun di Asia. Setelah itu pihak kedutaan akan mengirimkan surat rekomendasi ke Kehakiman yang kemudian mengirimkan persetujuan atas permohonan tersebut. Maka Imigrasi akan mengirimkan telex ke kedutaan dan si penerima sponsor diminta datang ke kedutaan Indonesia di negara tersebut dan menukarkannya dengan visa di paspor mereka. Untuk itu mereka harus membayar 100 USD. Menurut Darameh, saat ini aplikasi kekasihku sudah ada di meja si “Bos” dan menurut pembicaraan terakhirnya dengan si “Bos”, surat Jonah akan keluar besok. Dan kisah yang sama akan dia sampaikan keesokan harinya dan keesokan harinya.

Di hari kedua pertemuan kami, aku bertanya kemungkinan apa yang bisa terjadi, bagaimana aku bisa mengatasinya. Aku sampaikan bahwa aku bukan tidak percaya, tapi aku suka menyiapkan rencan-rencana pendukung untuk berjaga apabila rencana awal kami gagal. Aku tidak suka kejutan, aku suka apabila aku sudah memperkirakan lebih awal. Risk assesment kalau bahasa kerennya, dari sana baru aku melakukan risk mitigation.. hehehehe Untuk pertanyaanku itu, Darameh berkata aku tidak perlu cemas, karena dia juga tidak ingin surat ini gagal (belakangan aku tahu semua agen akan mengatakan hal yang sama meski kenyataannya jauh berbeda).

Darameh             : Don’t worry my Sister. Your husband will get his Telex. I also don’t want to spoil my name. I have done this for more than 10 years and I have a good reputation. That was why I told your husband to keep his money until I can give him his letter.

Me                       : I am sorry Sir, but what should we do if the letter did not come out? I need to know what steps we need to take. We don’t have money right now, and I don’t want to make him trapped into any bad situation. This is very important for us.

Darameh             : I will give him 1 month entry because once they deny my application, he have to apply using different sponsor.

Me                       : No, Sir, I don’t think one month is enough. You see, we need to start the process again, and as you said, it will take us another month. And we also need to find money, for him to fly to Bangkok the second time. I think at least he needs 2 months.

Darameh             : It will not happen, but yes, I will give you 2 months.

Me                       : Wow, thank you. Excuse me, Sir, may I know how much I should pay for the letter? Again we are not rich so we need to prepare for every thing.

Darameh             : Oh Sister, I will give you the letter for free. It is a compliment because I have let my client down and I have failed to do my job.

Me                       : Wow, thank you.

Dengan janji itu, aku merasa tenang. Setidaknya aku tahu Jonah akan tetap bisa masuk dan masih punya cukup waktu untuk mengurus visa lagi.
Hari ke hari aku lewati dengan duduk di kantornya, mendengarkan kisah-kisahnya. Aku diam menyimak dan tersenyum sopan, meski hati terasa lelah dan capek. Tuhan, aku hanya ingin kekasihku bisa masuk kembali ke Indonesia dengan selamat. Aku hanya ingin dia segera kembali, karena di sana aku tahu, dia akan sibuk “hang out” dengan teman-teman lamanya dan mabuk sampai pagi. Izinkan dia pulang, Tuhan, jangan biarkan dia kembali ke kebiasaan lamanya.

Hari keempat akhirnya Darameh mengirimkan email langsung ke kekasihku di Bangkok dan betapa terkejutnya kami saat melihat bahwa telex undangan tersebut hanya untuk 1 bulan tinggal. Kekasihku sangat marah dan kebingungan. Tapi dia memutuskan untuk tetap datang karena tidak ada yang bisa dia lakukan di Bangkok. Biaya hidup di Bangkok juga jauh lebih mahal dibanding di Jakarta. Sebenarnya ya lebih karena di sana dia hanya bersenang-senang, mabuk tiap malam dan bercengkrama dengan kekasih lamanya. Ya, Jonah pernah 2 tahun tinggal di Bangkok, tentu dia punya mantan pacar atau bahkan mungkin perempuan yang diam-diam masih dia pacari di belakangku.

Aku sebaliknya, merasa sangat marah dan dipermainkan. Aku mencoba menghubungi Darameh lewat nomor telepon yang dia berikan padaku, tapi tidak pernah dia angkat. Semua pesan singkat yang aku kirimkan tidak pernah dia balas. Padahal, aku sebagai perempuan jawa tidak akan pernah bisa mengirimkan atau mengatakan pesan-pesan marah dan kasar, dengan sopan aku meminta penjelasan mengapa surat yang keluar tidak seperti yang dijanjikan. Bahkan apabila surat permohonan setahun visa Jonah ditolak, Darameh berjanji akan memberikan surat masuk untuk 2 bulan dan bukan 1 bulan. Akhirnya aku meminta tolong Mike untuk menghubungi Darameh dan bertanya mengapa. Tidak mungkin bagiku untuk datang ke kantor Darameh lagi. Jonah sudah mendengar bahwa aku mendatangi Darameh, dan memintaku untuk tidak datang ke sana lagi.

Mike kemudian menghubungiku, dia berkata bahwa menurut Darameh, dia tidak bisa memberikan kekasihku sponsor untuk 1 tahun karena kekasihku tidak pernah melunasi biaya yang disepakati. Oh ya, biaya untuk pengurusan Visa tahunan ini mencapai  1,300 USD. Angka yang tidak sedikit. Mengapa begitu mahal? Karena negara asal kekasihku termasuk salah satu daftar negara yang ada di dalam daftar hitam, sehingga persetujuan masuknya perlu diberikan oleh 10 lembaga utama di Indonesia, termasuk Intelijen.

Me                       : What? But you were there with me when he told us how he returned my boyfriend’s money as a token of good intention? How come he said that my boyfriend never paid the fee?

Mike                    : I don’t know. I am also confuse. I also remember about that. I said that to him but he became more angry.

Me                       : Please tell him my message ya.. I know he hold an Indonesian passport, but I am still the citizen. He can not tell me that my husband is a liar. If you guys come from Africa and have a hot temper, I also come from Surabaya. If you asked any body in Jakarta, they will tell you Surabaya people are very hot temper. They would rather kill and die then to be called a liar or a thief. I am a lady but I am still a Surabay lady. I will not stand still if ever you told people that my husband is a liar. Even though he lied, you cannot tell me that. I will come and kill you with my own hands.

Mike                    : Please be patience, Baby. Stay calm, we will find a way.

Aku merasa sangat marah. Aku tidak pernah berhadapan dengan situasi seperti ini, di mana aku sudah membayar jasa tapi tetap diperlakukan seolah aku mengemis belas kasihan. Memang benar, kami bergantung padanya untuk mendapatkan izin tinggal, well bisa dibilang hidup kami bergantung padanya, tapi itu tidak memberinya hak untuk bersikap bak dewa yang menentukan hidup mati seseorang.  Dan semua berujung pada uang. Hanya uang yang berbicara dan bermakna di lingkungan ini. Ya, semua di lingkungan ini, baik itu dari Afrika maupun dari Indonesia, sedih..

Aplikasi berikutnya aku menolak untuk berhubungan dengan orang Afrika dan memilih untuk berurusan dengan orang dari bangsaku sendiri. Jonah mengamini dan membiarkanku melakukan tugas ini sesuai caraku. Aku meminta sang Agen membuat surat perjanjian dan menolak membayar sekaligus dimuka, meski ini bukan urusan legal namun aku memperlakukannya seperti urusan legalku lainnya. Lengkap dengan kwitansi, surat penjanjian bermaterei dan alamat kantor yang jelas. Kali ini aku selalu berusaha dekat dengan si Agen untuk memastikan bahwa dia melakukan segalanya sesuai dengan apa yang mereka jelaskan.

Tahun ke tahun aku berurusan dengan agen yang berbeda, tapi mereka punya satu sikap yang sama. Sikap yang menunjukkan bahwa kami sangat membutuhkan mereka, meski tahu bagi pria Afrika dan keluarganya di Indonesia ini adalah masalah hidup dan mati tapi bagi mereka ini hanya bisnis. Bahkan pandangan ini pun tidak bisa diaplikasikan ke cara mereka berkerja. Tidak satu pun dari para agen yang kutemui yang bisa menjelaskan dengan baik urutan kerja mereka, tidak bisa memberikanku timeline yang  jelas meski kebanyakan dari mereka sudah menjalankan usaha ini selama lebih dari 7 tahun. Setiap mendekati akhir tenggat, mereka selalu menyanyikan lagu yang sama, “Kalau tahu kau akan serewel ini, aku tidak akan menerima pekerjaan ini darimu.” Oh my, lalu apa yang seharusnya aku lakukan? Diam saja dan membiarkan mereka mengangkangi hidup kami? Membiarkan mereka bersikap seolah kami adalah manusia bodoh yang hidup dan matinya bergantung pada kebaikan hati mereka. Selalu saja menekankan pada kapan kami bisa membayar tagihan yang selalu membengkak karena keperluan ini dan itu, tapi saat janji ditagih, mereka akan berlindung pada fakta bahwa semuanya tergantung pada para raja di Imigrasi. Well bukankah kami sudah membayar mahal untuk pelayanan para “raja” yang menjadi “raja” berkat uang darah kami? Lalu mengapa kami juga tetap harus menghiba dan menghamba? Setiap tahun lelakiku akan berteriak marah dan panik dari negara seberang, menanti agar dia bisa kembali ke Jakarta dan bekerja. Sementara para Agen akan dengan mudah mengangkat tangan dan memintaku menunggu atau datang sendiri ke Imigrasi jika tidak percaya.

Tahun kedua, aku melakukannya. Aku datangi kantor Imigrasi menanyakan prosedur yang berlaku, karena tidak satu pun agen yang mau dan mampu menjelaskan bagaimana aturan mainnya. Bahkan aturan main resminya, cerita  mereka selalu berbelit, berputar dan intinya hendak mengatakan betapa mereka tidak berdaya. Namun saat aku ke Imigrasi, Agen yang aku gunakan saat itu menjadi sangat marah. Mereka takut pihak Imigrasi akan memblack list mereka. Apabila seluk beluk ini diketahui umum, maka mereka akan mendapatkan akibatnya. Tapi aku ke sana bukan untuk mencelakakan siapa pun, aku hanya tidak suka berada di tempat gelap, tidak tahu apa yang terjadi, dibohongi hari demi hari, dan tidak berdaya, tidak bertenaga. Aku ingin bisa berbicara dan memahami apa yang terjadi dan bagaimana aku mempersiapkan rencana-rencana cadangan apabila rencana awal gagal. Aku juga nekad menghubungi atase Visa di negara tujuan Jonah. Beliau menerimaku dengan sangat baik, sangat ramah. Beliau menyampaikan bagaimana urutan kerja surat tersebut dan berapa lama aku harus menunggu.

Secara resmi segala pengurusan visa ini hanya memakan waktu seminggu, entah mengapa justru dengan membayar upeti ke para “raja” ini membuat urusan jadi lebih lama.


Ah semoga tahun ini akan berbeda kisahnya..