Sabtu, 12 November 2011

Aku dan Sebagian kecil sahabat terkasihku


Sahabat yang sangat melek fesyen.
Dia yang mengajarkanku melihat kelebihan dan menonjolkannya.
Terima kasih, Fajri Muslim. 


Perempuan muda ini selalu membuatku kagum dengan kemandiriannya.
Masih sering terlarut dengan ketidakpercayaan dirinya namun kukuh
dan tahu apa yang diinginkannya.
I love you, Titis.

Rabu, 09 November 2011

Aku dan hak reproduksiku

Pagi ini ada sms menarik yang masuk ke nomor HP-ku. SMS dari rekan dosen Bimbingan Konseling. Teman cantikku ini mendapatkan pertanyaan dari salah satu mahasiswanya yang sedang Belajar Mengajar di salah satu SMA. Si mahasiswa mendapatkan laporan dari salah satu siswinya bahwa dia hamil. Baru satu bulan dan si siswi kebingungan harus bagaimana. Kutanyakan apa saran dia pada si mahasiswa, jawaban yang diberikan sangat melegakan, dia menyarankan untuk tidak membawa masalah ini ke guru lebih dulu, tapi membantu si anak membuat keputusan sadar atas janin di rahimnya, kemudian membantunya berbicara dengan pacar, orangtua dan kemudian gurunya. Sebuah jawaban normatif memang, tapi indah..

Dan anganku melayang ke perbincangan dengan Hana minggu lalu, gadis belia dengan otak dewasa ini dengan menggebu menceritakan kegiatannya yang tengah melakukan advokasi hak reproduktif pada anak-anak perempuan. Dalam kalimatnya disebutkan hak untuk mendapatkan kenikmatan seksual (hmmm)

Dua perbincangan ini memicu khayal dan pikirku, apa sebenarnya tindakan tepat jika kita sebagai orang dewasa dihadapkan pada situasi ini. Bagaimana menjawab dan melindungi mata ketakutan anak yang tiba-tiba dihadapkan pada pilihan kedewasaan. Betapa sulit dan berat pilihan yang harus dia lakukan dan betapa besar sesal dan takut yang terbeban di wajah muda itu. secara normatif, atau normalnya, kita akan memperlakukan situasi ini bak kriminalitas, di mana perlu diberikan hukuman berat baik secara fisik maupun lingkungan agar menjadi contoh mengerikan bagi pelaku atau calon pelaku lainnya. Biasanya akan dilakukan pemaksaan aborsi atau pernikahan yang berujung pada berhentinya siklus kemajuan si perempuan karena tidak lagi diperbolehkan meneruskan pendidikannya. Tinggallah dia dalam keterpurukan, sedih tak terkira, sesal tak terbayang dan keterkucilan yang menyakitkan. Di dalam semua kegelapan dan kengerian itu, si perempuan disudutkan dan dihentakkan pada tanggung jawab mengasuh bayi yang menjadi sumber segala keputus asaannya itu. Dan siklus sedih dan kecewa dan luka pun berlanjut dan kekal pada si anak..


Ya, aku melihat wajah berkerutmu. Mempertanyakan sudut pandangku yang seolah menjadikan mereka korban dan bukan pelaku dari kesalahan mereka sendiri. "Kalau gak mau susah ya jangan dilakukan," henyakmu. "Itu akibat tidak mau mematuhi aturan masyarakat dan agama," teriakmu lantang.. Benarkah? Tepatkah?


Bagiku menyalahkan adalah sebuah hak istimewa yang bisa aku dapatkan saat semua syarat pencegahannya sudah aku lakukan dengan baik dan benar. Dalam kasus remaja SMA ini, apakah kita sebagai orang dewasa sudah membekalinya dengan segala pemahaman akan hak reproduksinya? Sudahkah kita menunjukkan padanya segala fakta dan konsekuensi fakta atas pilihannya terkait hak reproduksinya? Ataukan kita ajari dia dengan jargon dan bahasa abstrak tentang kenikmatan surgawi dan kengerian neraka?


Agama memang sangat penting, tapi keabstrakan agama sebagai dampak dari unsur kepercayaan dan keyakinannya tidak akan mampu membendung derasnya informasi dan rangsangan media modern yang kini menjadi asupan harian anak-anak kita. Ada jurang yang cukup lebar dan dalam antara ide-ide agama dan fakta informasi di kehidupan nyata. Diperlukan sebuah jembatan yang bisa membuat anak mudah memahami pesan dan kemudian menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan hidupnya, termasuk di dalamnya keputusan akan hak reproduksinya. Keputusan menggugurkan kandungan? Matamu terbelalak membaca, hatimu mengkerut menebak arah pikiranku..


Sebuah hak reproduksi tidak berhenti dan berfokus pada dilanjutkan atau digugurkannya sebuah kandungan. Lebih awal dan lebih jauh, hak ini membantu manusia memahami dirinya dan memiliki kehidupannya. Tidak lagi seorang anak perempuan merasa perlu menyerahkan kegadisannya demi cinta anak lelaki atau anak lelaki menggauli perempuannya demi keperkasaan dan ketenaran atau bahkan cinta. Pada penerapannya, pemahaman akan hak reproduksi lewat pendidikan dan penyepahaman adalah tentang definisi, dampak dan juga konsekuensi logis dari setiap keputusan yang diambil. Tidak ditakuti atau dialun si anak dengan ancaman neraka maupun janji surga, melainkan ditunjukkan padanya fakta-fakta hidup yang akan mereka hadapi, diajak si anak berpikir dan menimbang untuk kemudian mengambil keputusan sadar terkait haknya atas reproduksi. Fokus perbincangan dan pendidikannya bukan pada kenikmatan seperti yang kini dipaparkan oleh media, tapi pada alur berpikir, logika pengambilan keputusan dan informasi faktual dan dapat dipertanggung jawabkan.  Padanya kemudian bisa kita bebankan tuntutan untuk bepikir logis dan membuat pilihan cerdas.

Lalu bagaimana jika setelah semua itu kesalahan tetap dilakukan? Maka penghormatan dan penghargaan perlu kita berikan pada hal-hal yang sudah kita ajarkan. Serahkan keputusan kembali kepada si pemilik reproduksi, biarkan kembali dia menjalankan haknya dan tugasnya sebagai manusia dengan segala kebaikannya, kemudian pusatkan pikiran kita bukan pada si remaja yang sudah tergelincir tapi pada anak yang kini ada di dalam kandungannya. Dia lah yang menjadi pertimbangan kita. Saat kita memutuskan untuk mengucilkan, dibayangkanlah si bayi dalam kandungan, siapa yang akan memastikan segala gizi terpenuhi agar dia terlahir sebagai individu kuat yang akan membantu memperbaiki dunia ini. Saat kita memutuskan untuk menghentikan langkah berkembang sang Ibu, pikirkan bagaimana kemudian kelak, ibu yang putus asa, sedih dan penuh marah itu bisa membesarkan anak yang sehat, kuat dan cerdas? Hentikan lingkaran kesalahan dan kedukaan itu dengan mengubah paradigma kita dan melihat anak yang kemudian ada di dalam rahimnya.

Mari selamatkan anak-anak kita dengan menyadarkannya akan hak reproduksinya..

Anak-anakku, aku mencintaimu..
 

Jumat, 28 Oktober 2011

Aku dan dukaku..

Hari ini cukup berat, setelah dengan tenang berpikir sejak semalam, akhirnya aku memutuskan menghentikan langkah cinta, selagi masih pagi hari dan masih pucuk bunganya. Tapi tentu sebagai perempuan, hatiku terusik dan terkulik. Sakit dan perih bukan buatan.

Lalu sahabat kecilku mengingatkanku untuk mengalihkan pikiranku agar tak terasa sedihku. Hmmm..jadi teringat diri lamaku, 2-3 tahun lalu. Aku yang begitu naif dan mudah terlarut. Air mataku begitu  mudah jatuh dan membenamkan semua pikir dan nalarku. Di masa itu, setiap kali hatiku diusik, setiap kali ketenanganku digoyah, maka runtuhlah duniaku, runtuhlah dindingku. Tidak lagi aku bisa berfungsi dan berkarya seperti sejatinya diriku. Aku hanya bisa menangis dan membenamkan diri ke dalam luka dan dukaku, jatuh mengasihani diriku.. Itu dulu....

Perlahan aku melihat betapa kejatuhan itu tiada berguna, betapa tangis kita tidak berarti apa-apa, tidak menghasilkan apa-apa. Tidak juga membuatku merasa lebih lega atau seperti kata pujangga, tidak juga aku merasa hatiku terbasuh dan menjadi bersih. Yang kurasakan hanya duka dan luka.. Terbenam dan terseret. Aku melihat dukaku itu juga tidak memiliki pengaruh pada dia yang melukai dan mengoyakku. Tidak lalu tangisku membuatnya menyesali atau bahkan mengubah apa yang sudah dilakukannya. Tidak juga dukaku itu membuatnya berpikir dan melihat dalamnya kasih dan peduliku padanya... Alih-alih, aku melihat senyum kebencian atau bahkan kepuasan..

Belahan hati yang kini pergi pernah berkata bahwa dia adalah pribadi utuh dan bahagia, karena itu tiada satu manusia yang bisa menyakitinya. Dia akan menilai semua hubungan yang terjadi, lalu pergi jika dirasa hubungan itu hanya membawa keburukan. Sebuah pendapat yang dingin, tapi banyak mengandung kebenaran. Di saat kita tahu bahwa diri kita adalah cukup, bahwa kita adalah kebaikan dan keberkahan, maka kehadiran orang lain hanyalah pelengkap. Dia menjadi tidak mempengaruhi kebahagiaan dan keutuhan kita. 

Intinya sebenarnya pengendalian diri. Kapan kita bisa dengan cantik melebur perasaan dan logika ke dalam kehidupan kita. Kita bisa menyalakan dan mematikan sekelar perasaan dan menggunakan sisi yang paling tepat. Menjadi sosok yang sangat profesional di pekerjaan, dingin dan penuh logika namun berubah hangat dan penuh cinta saat bersama dengan kekasih-kekasih jiwa kita... Aku hampir berada di titik itu.. 

Saat jiwa ini diperas dan diiris, aku sudah bisa menutupnya dan mengesampingkannya, untuk kemudian kugunakan logikaku untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada di depanku. Sayangnya, ini juga belum menjadi jawaban tepat dari kedewasaan yang kupertanyakan. 

Hidup ini tidak hitam dan putih, tidak pula bisa dimati dan nyalakan sesuai kebutuhan kita. Hidup kita terjalin dengan kehidupan banyak orang lain dan dalam kehidupan mereka itu terjalin pula hitam putih masing-masing. Sering kali, dalam perjalanan hubungan, posisi mati dan nyala itu tidak sesuai.. Saat aku menyalakan sisi cintaku, belahanku mematikan sisinya..maka timbullah masalah..

Lalu apa sebenarnya solusinya.. Nampaknya, seperti kata temanku dari India, bahwa kebahagiaan adalah pilihan. Sejatinya, latihan yang kita lakukan adalah untuk terus memilih menjadi bahagia. Lalu perlahan definisi kebahagiaan akan berubah, seiring usia dan pengalaman. Tidak lagi kebahagiaan itu menyangkut materi atau pun sosok manusia.. Bahagia kemudian bergeser pada pemahaman dan rasa syukur luar biasa atas kesendirian dan keutuhan diri kita pribadi. Bahagia bergeser pada kesempatan yang diberikan untuk diam di dalam kamar, merenungkan semua perjalanan dan membiarkan inspirasi baru merasuki relung. Seperti kata Rumi, mengosongkan jiwa dan memberi jalan bagi cahaya Ilahiah untuk masuk dan menerangi relung jiwa kita.

Teruslah memilih untuk bahagia, memilih untuk membiarkan cahaya Ilahi itu menerangi dan menghanagatkan kalbu kita. Teruslah untuk memilih tersenyum dan menyingkirkan semua beban yang membuat senyum itu tidak terkembang..

Teruslah memilih bahagia dan menemukan definisi bahagiamu..

Teruslah menjadi diri sejatimu..






 

Sabtu, 22 Oktober 2011

Bertahan demi kalian, Anak-anakku..

Setiap berbicara tentang pilihan untuk berpisah, perbincangan selalu mengarah ke anak-anak. Bahwa di tengah porak porandanya hati, terbelahnya jiwa, teralihnya rasa, sangatlah tidak tepat untuk mengambil pilihan berpisah. Terasa egois katanya.. 

Aku jadi ingin terbang dan berandai menjadi anak.. Apa sebenarnya yang lebih nyaman bagiku, berada di lingkungan yang bagaimana? Ada di setting yang mana?

Sosok indah yang baru tiba dalam hidupku berkata, bahwa hal terpenting dalam hidup ini adalah membuat dirimu bahagia, hanya setelah kau bahagia maka kau bisa menularkan kebahagiaan itu pada mereka di sekelilingnmu... Pernyataan menarik yang masuk dalam logikaku kini..

Lalu pikiranku melayang ke masa aku kecil.. Saat kedua orangtuaku mengambil pilihan normatif yang sama. Bertahan demi kami, anak-anak mereka, buah cinta mereka, kehidupan mereka.. Dan bagaimana aku sebagai anak, bagaimana aku berpikir, apa yag kurasakan di saat itu?

Sebagai putri kesayangan ayah, kemanjaan nenek dan kakek dan tumpuan kehidupan semua pihak, aku kebingungan. Aku yang sejak awal tidak diajarkan untuk merasa nyaman dengan kebohongan, dengan kemunafikan, begitu tersiksa melihat kedua orang yang paling dekat dengan hatiku, paling dekat dengan anganku memilih untuk menjadi dua makhluk tersiksa dalam panggung sandiwara tanpa penonton itu..

Semula aku tak paham saat pelantun berlagu "hidup adalah panggung sandiwara".. bagiku hidupku bukanlah sandiwara, dia adalah manifestasi dari perasaan, pikiran dan ide-ideku. Dia adalah wujud dari kesadaran dan kebanggaanku sebagai manusia, sebagai perempuan.

Tapi melihat mereka.. Bertahan di satu atap, bertahan di situasi menyakitkan, situasi memalukan, situasi memilukan.. untuk apa? Untuk kami? Apa yang kalian pikir kami, anak-anak pikir dan rasakan, saat melihat, merasa dan meraba luka di wajah ibu, lelah di paras ayah, luka di suara dan lantun keduanya? Apa yang menurut kalian kami rasakan, pikir dan bayangkan, saat melihat kedua orangtuanya menyunggingkan senyum palsu di depan orang asing, melantunkan kata cinta masa lalu, mendengungkan kekaguman masa dulu yang semua itu langsung pudar begitu keduanya menginjakkan kaki di rumah?

Ataukah kalian lebih mampu menyembunyikan perasaan kalian di depan kami anak-anak dibanding orangtuaku dulu? Ataukah kalian begitu yakin, kami anak-anak tidak bisa merasakan? Dari mana? Dari tatapan "bahagia" kami? Dari teriakan kanak-kanak kami? Kami memang anak-anak tapi tidak berarti kami tubuh kecil yang kosong.. Yakinkah kau bahwa kami tidak tahu? Yakinkah kau adalah tawa bahagia yang kami suarkan? Yakinkah kau adalah tatapan mata bahagia yang kami sorotkan? Ataukah hanya cara kami bertahan? Ataukah hanya cara kami memanifestasikan pemahaman kami akan hubungan kalian? Bahwa kami "tidak peduli"? Bahwa kami menafikkan luka dan duka yang berselimutm menafikkan kebingungan yang bergejolak?

Sampai usiaku menginjak remaja akhir, aku tetap bingung dan kebingungan itu membuatku kehilangan panduan dan arahan tentang apa sebenarnya sebuah "hubungan". Apa yang menjadikan sesuatu itu pantas dipertahankan? Mengapa aku perlu menjadi bagian dari sebuah hubungan? Dan sampai kini aku masih terus berlari dan mencari..

Lihat kembali anak-anak kalian, Sahabatku.. Bercerminlah di bening mata mereka.. Kejujuran kaliankah yang tampak atau ketidakpedulian mereka pada kebohongan kalian.. terutama pada hati nurani kalian..

Rabu, 19 Oktober 2011

Aku adalah ibu..

Banyak yang bertanya padaku tentang peranku sebagai ibu. Bagaimana aku memandang diriku dalam peranku sebagai ibu. Apa yang aku harapkan anakku akan lakukan di hari tuaku nanti. Ibuku pun sering berkata bahwa aku akan lebih memahami apa yang dilakukannya saat nanti aku sudah menjadi seorang ibu.

Kini aku seorang ibu, dari dua anak yang sangat aku sayangi dan aku banggakan tapi tetap, aku tak paham bagaimana seorang ibu bisa melakukan tugasnya dengan harapan anaknya akan membalas budi dan melayaninya di hari tuanya nanti. Bagiku hidupku adalah pengabdian.

Dalam urusanku dengan kedua anakku, bagiku aku lah yang berutang budi pada mereka. Berkat merekalah peluangku menuju surga diperbesar. Berkat melahirkan mereka, aku diberi peluang untuk mencium wangi surga saat kumati. Bila aku berhasil membesarkan mereka menjadi manusia berguna, maka wangi budi mereka akan menghantarkanku ke gerbang keindahan.

Bagiku semua yang kulakukan adalah karena aku.. Karena aku merindukan kasih sayang Allah SWT. Karena aku merindukan surga, merindukan keindahan itu. Jika itu yang jadi niatku, apakah pantas aku menuntut balas budi mereka?

Mereka adalah bukti cinta Allah padaku, mereka adalah anugerah yang tiada henti aku syukuri. Apakah kemudian aku menuntut anugerah itu membalas jasaku? Karena mereka adalah kebaikan maka aku menghargai dan menghormati kedua anakku dengan sepenuh-penuhnya penghargaan. Aku memandang mereka dengan penuh kasih dan kebanggaan.

Aku mencintai mereka dengan segala daya dan upayaku. Kebahagiaan mereka yang utama, keberadaan mereka yang terpenting. Aku tidak membesarkan mereka untuk tabungan hidupku di hari tua tapi untuk tabunganku di hari matiku nanti. Sangat sayang jika semua keindahan itu aku habiskan di dunia. Aku tidak melihat mereka sebagai investasi hari tua tapi investasi di kematianku.

Bagiku, selama senyum mereka masih terkembang, selama mata mereka memancarkan cinta, maka itulah senyuman dan cinta Allah padaku. 

Bagiku hidupku adalah pengabdian.. Menjadi ibu adalah pengabdian terbesar dan teragung.. dan tak ingin kunodai keagungannya dengan nila kenikmatan dunia di hari tua. Aku menghargai dan mencintai mereka karena mereka sumber surgaku..

Minggu, 02 Oktober 2011

Hidupku.. Bahagiaku

Kehidupan yang sudah Allah berikan, kebahagiaan yang sudah diliputkan, kenyamanan yang sudah dihadiahkan..namun masih saja hati ini bertanya dan berlari. 
Kalianlah Inersia hidupku..












Aku adalah cinta

Di ujung nmalam yang hangat aku mengirimkan pesan ke seorang kawan yang sudah lama tidak bersua namun selalu ada di jiwaku. Kebetulan aku akan singgah ke kotanya dan timbul inginku untuk bersua. Kawanku kemudian memberiku kabar yang mengejutkan, dia akan menjalin hidup dengan seseorang yang dia temui di jejaring internet, minggu depan. Wow!!

Lalu dia bertanya, apa yang kulakukan saat ini dan kujawab bahwa saat ini aku lebih memforkuskan diri pada karier dan kehidupanku. Menyisakan sedikit sekali ruang untuk kisah cinta, apa pun itu bentuknya. Dan cantikku itu berkata bahwa karier dan kehidupan itu tidak menjamin kebahagiaan. Bahwa dia sudah menerima fakta akan kebutuhannya pada kepemilikan seseorang. Aku membutuhkan memiliki dan dimiliki, Mbak, begitu ujarnya.

Temanku ini mengalami pernikahan yang buruk dan sejak menyadari kebutuhannya untuk keluar dari pernikahan itu, dia sudah berusaha keras mencari dan mencari pengganti sang suami yang bisa "tampak" lebih baik. Dicarinya sosok yang lebih muda, lebih kaya, lebih sayang. Dan dari pencarian demi pencarian itu, Cantikku ini terus berusaha, satu tangisan berganti dengan harapan yang lain.


Lalu apa sebenarnya yang harus dilakukan? Belahan jiwaku (yang tidak berarti kekasihku) mengatakan, bahwa ada orang yang memang membutuhkan kehadiran "seseorang" dalam hidupnya tapi ada juga yang telah merasa nyaman dalam kesendiriannya. Dan pada kehadiran, tidak berarti kita mencari dan mencari tapi membiarkan diri kita dicari. Membiarkan cinta itu datang. Hmmm.. agak bingung awalnya tapi kemudian agak terkuak..


Konsep ini terasa nyaman di kepalaku, dengan pemahamanku tentang bahagia. Bahwa bahagia berada sebesar-besarnya pada tangan kita sendiri. Dan menyerahkannya pada manusia lain hanya akan membawa duka dan nestapa. Dengan membiarkan orang mencarimu dan membutuhkanmu, berarti fokusmu bukan pada sosok di luarmu. Tapi terus menggali dan memfokuskan diri pada dirimu, pada kebahagiaanmu. Bukan menjadi egois tapi menjadi memahami, menjadi dewasa. Fokus pada bahagia.. 

Aku tahu.. sejak dulu kita diajarkan bahwa fokus pada diri sendiri adalah egois. Dan keegoisan akan berujung pada kesepian. Pemahaman itu membuat kita sibuk untuk terus mencoba membahagiakan orang lain, melupakan diri kita dan bahkan pada akhirnya mengorbankannya. Pada titik itu yang datang hanyalah mereka yang akan terus dan terus memanfaatkanmu. Menindasmu dengan dalih kebutuhan, cinta dan kasih sayang. Sudah lama aku meninggalkan pemahaman bahwa cinta itu berkorban. Bagiku, cinta bukan berkorban tapi memberi. Beri apa yang bisa diberi lalu kembali menjadi bahagia (menjadi dirimu sendiri).. Bila sudah terpancar cintamu pada diri sendiri, sudah terpancar pemahamanmu akan apa yang benar-benar penting dalam hidupmu.. Maka akan hadir sosok yang mencintai dirinya sendiri dan kemudian memahami makna memberi tanpa menuntut perubahan. Maka tidak akan ada yang bisa menggemingkan hatimu dengan luka dan air mata. Karena meski pun dia menjadi bagian hidupmu, ada dalam keseharianmu.. Dia tetap bukan penggenggam bahagiamu.

Sebagian teman mengambil jalan singkat dengan membagikan cinta dan perasaannya pada beberapa orang. Menemukan kehangatan dan kebahagiaan serta kenyamanan di pelukan madunya. Banyak di antara mereka tampak bahagia dalam pernikahannya. Bagiku itu juga bukan jawaban. Saat kau masih membagikan cinta, maka sebenarnya kau belum menemukan esensi dari sebuah cinta namun hanya berlari, berputar dan menghindar. Kau belum menemukan kesejatian dirimu, cinta yang berharga. Ya, kau adalah cinta..

Bahagia adalah kondisi bukan tujuan. Tidak ada fakta bahagia selamanya seperti di dongeng, hanya ada bahagia saat ini untuk sedih di esok hari. Kuncinya adalah menempatkan cinta itu pada porsinya. Tidak menjadikannya begitu penting bahka melebihi kepentingannya sendiri. Tidak menjadikannya satu-satunya faktor pembahagiamu, melainkan hanya bagian dari proses hidupmu. Faktornya hanya dirimu. Bahagialah dengan dirimu.. Bahagialah dengan keadaanmu.. Bahagialah dengan hidupmu..

Aku pernah di sudut itu. Mengira menyadari bahwa aku membutuhkan sosok seseorang, menjadi milik dan memiliki. Dan dari sana aku memulai perjalanan pencarian yang terus berakhir dengan air mata. Sampai akhirnya memutuskan untuk lebih fokus pada kehidupan indah yang sudah Allah berikan selama ini. Pada karier, anak, keluarga dan teman-teman. Apakah aku menyerah? Cinta itu masih terus singgah di hatiku. Godaan untuk memiliki dongeng itu masih kuat melekat dan aku masih terus tertatih dalam usahaku memahami bagaimana sebenarnya kau mencintai. Aku masih terus mencari dan melihat, membongkar dan mendobrak. Aku adalah cinta.. Aku adalah berharga.. Aku dobrak semua penghalang yang membuatku tak bisa merasakan cinta.. Cinta sejati yang tak pernah pudar.. Cinta Allah padaku di dunia ini.. Dan perlahan aku melihatnya, pada kedua anakku, pada kedua adikku, pada kalian sahabatku dan pada kehidupanku..

Kamis, 29 September 2011

Parenting as an art of relationship

Just got back from a very interesting meeting that supposed to talk about parenting. What made it interesting was not the topic itself or the fact that the speakers are all gentlemen, one fact that intrigued me at first, but the perspective that they brought.

Well, as someone who believe so much in child right, I see my role as a parent in this parenting game is to serve that right, coz every child has the right to have a good parenting to help them see their potential and their purposes in life. With this philosphy then I never try to find an easy way to shape my children, coz the objective of parenting was not to shape her/him to be something that is good in our eyes. It is meant to be a long and windy road.. Just like every relationship we have in this life. Its an art..

They are talking about ways to manipulate the mind and the feeling of our children, based on their knowledge on neurolinguistic. How you can solve problem and make others to do what you want without feeling obligated, that we try to implemented what good according to us to the back of their mind. WOW!!!

Me myself, I would not want my husband, my love, my parents nor my best friend to manipulate me. The difference between manipulating and try to make her/him see our point of view is very thin!!! But I believe that in any relationship, be it between lovers, spouse or parents and children, the key is respect. Both parties must respect each other. No one is higher then the other. The there comes the art..

Then what is the objectives of pareting? Every books I read about this subject always tell the same thing, to prepare our children for their own life in the future. Then from that the intrepetation differs. Some then tries to gather all the information you can get on how life is working then give them to the chilren. By this they have to realy put it in detail and traine the children in the best way possible. Hoping that they can learn everything they need to know about life. Unfortunetaly we are not fortune teller, there is no way we can predict how life would be like in their adult time. So we frantically searching high and low to gather more information and believe me..one day we got very tired and could not keep up with the era.. There will always be something new.. and your children will always confused when they face with a new situation or challanges. Why do we do something that can only make us confused? And when we are confused, we tend to loose our coolness and become a monster for our children and in time the essence of parenting, which is a good relationship between parents and children, will not be achieved.

Children are very well equipped with all the tools to learn. They are meant to be a learning creature. Maybe they don't know much now but that doesn't make them a stupid creature. They are learning and they learn faster than you think they are. So the best think we can do is to respect that abilty. By respecting it then we don't feel compelled to gather all of the information. Just teach them how to think. Give them examples on how to see where you are going, to stop for a while before doing something, to gather all the information before making decision. After you gave them examples then respect their right to be involved in their own life. To fully involve in their own life. Giving them freedom doesn't mean to just let them loose..nooooo. But I think we also need to teach them how to see our own strentgh and weakness, that we are not perfect and from that imperfectness we need others to help us. So teach them how to get help, who to ask for help. That is I think what they mean when they say be your children's friend. It's not that we have to do all the children, teenagers or youngsters stuff with them. But we all know that sometimes we trust our friends more then our parents. So the messege was realy, be someone that your children can trust. Build a respectfull, trusting and loving relationship with y our children. And that is the art...

Do not ever think that you love them too much.. There is no such thing. No love is too much.. But in that love, remember to respect your children right, remember to always give them their own room to grow and just be there as their loving parents. When they feel that, then they will discussing almost anything with you, not to ask for your guiadence but to be their partners. Do not give them answer, instead, provoke their thinking and let them make their own conclusion and decision. One that they can fully responsible of.

So..that is the thought they provoked in me..

Ubah caramu memandangku..

Perempuan memang luar biasa...

Setiap kali bertemu dengan teman-teman masa lalu yang  berjenis kelamin perempuan, ada satu kesamaan yang aku temukan. Semua selalu peduli bahkan sangat peduli dengan penampilan. Dimulai dari betapa besarnya ukuran tubuhku sekarang, saat itu tidak tampak mempengaruhi kepercayaan diriku, pertanyaan berpindah pada mengaapa hanya lelaki yang bisa kulahirkan di dunia ini. Dan saat itu pun tidak sanggup mengguncangkan kebahagiaanku atas kehidupan yang diberikan padaku ini, dia bergerak ke betapa menyedihkannya aku harus gagal dalam pernikahan dan bercerai.. Oh la la..

Wahai sobatku,
Aku sama sekali tidak merasakan semua kecemasan yang kalian sebutkan itu. Aku tidak lagi merasa terancam dengan ukuran tubuhku dan betapa ini tidak sesuai dengan apa yang dunia sebut cantik. Sederhana, sayangku, aku hidup di duniaku, di kebahagiaankku dan di sana, ukuranku tidak menjadi sesuatu yang mengerikan. Aku tidak juga mengatakan aku bertubuh seksi sebagai bentuk dari penolakanku atas kenyataan. Aku bahagia dengan tubuh gemukku, bangga dengan usiaku, bahagia dengan wajah  bulatku, puas dengan lesung pipiku, aku bahagia dan bangga dengan tubuhku. Karena tubuhku adalah diriku, tidak kutujukan keindahan tubuhku untuk kenikmatan lawan jenis atau bahkan sesama jenis. Di pagi hari saat aku memilih pakaianku, semata hanya untuk mendukung perasaanku di pagi itu. Saat aku merasa malas dan sedih, kukenakan pakaian cerah dan menggoda untuk menggoda semangatku sendiri dan memompa kecintaanku sendiri. Saat diriku merasa menggebu dan sangat percaya diri, kubalutkan pakaian sederhana dan berwarna lembut untuk menurunkan kebangganku akan dirikku. Aku adalah aku dan kupersempahkan diriku untuk diriku sendiri.

Saat aku masih dalam belenggu budaya, sering kali aku dibuat sedih dengan fakta bahwa aku hanya bisa melahirkan dua anak lelaki di dnunia ini. Mengapa aku tidak cukup pintar untuk melahirkan anak perempuan. Astaga, betapa buruknya prasangka itu. Anak adalah milik Allah, DIAlah yang menentukan jenis kelamin dan bukan kita. Begitu banyak teori yang mencoba menjelaskan perilaku pembuahan yang diharapkan dapat menentukan jenis kelamin si anak. Untukku kedua anakku sudah merupakan jawaban dari doaku. Keduanya adalah cerminan dari harapanku. Tidak pernah aku bertanya mengapa aku tidak memiliki anak perempuan. Karena seperti hal lain dalam hidupku, aku tak melihat adanya kelebihan pada salah satu jenis kelamin. Keduanya manusia dan pada keduanya aku memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama.

Menarik melihat bagaimana manusia begitu memperhatikan detail yang  membuatnya berbeda dari orang lain. Dan betapa di tengah perbedaan itu selalu berusaha ditunjukkan dan dijadikan sebuah kelemahan. Perbedaan bukan kelemahan tapi tidak juga menjadikannya sebuah kekuatan. Dia hanya berbeda. Jika kau melihatnya dan merasa itu kelemahan, untuk apa memastikan dia tahu kelemahan dan kekurangannya itu? Untuk apa menekankan betapa tubuh dan kondisi keluarganya berbeda dari kebanyakan? Kenapa tidak bisa menghargainya sebagai sebuah lingkup individu yang tidak pantas kita seberangi?

Sudah saatnya kita mengubah cara melihat sesama dengan pandangan sosial. Bukan mencari dan menghakimi kesalahan atau pun kekurangan tapi mencoba mendukung dan menjadikan semua memiliki peluang yang sama dalam kehidupan. Itu yang dimaksud dengan persamaan. Jika kau bisa melihatkku dengan pandangan positif, menghargai pilihan hidupku dengan semangat membantu, maka dunia akan begitu indah..



Minggu, 25 September 2011

Gadis di lampu merah

Dalam perjalananku menuju tempat kesayanganku untuk duduk dan bekerja, aku melewati sebuah lampu merah dan di bawahnya duduk seorang gadis pengamen remaja dengan perut membuncit. Dan aku terhenyak. Anak semuda itu, dalam hidup sekeras itu, dia tengah hamil. Dan anganku melayang jauh. Apakah kehamilannya dia inginkan? Apakah dia tahu untuk apa dia hamil? Ataukah baginya ini hanya akibat dari kenikmatan sesaat namun berulang ?

Bertanya aku dalam hatiku, apa makna kehamilan itu baginya? Apa makna anak yang dikandung dalam perutnya? Rencana apa yang dia miliki untuk si jabang bayi? Sudahkah dia bahkan membayangkan kehidupan setelah sang bayi lahir?

Sering kali kehamilan hadir tanpa diinginkan, saat hal itu terjadi, tudingan keburukan langsung jatuh pada kaum perempuan. Karena dia tidak mampu menjaga kesucian tubuhnya, kemartabatannya, kekeramatan kandungannya. Dan pada akhirnya kaum perempuan harus menerima segala konsekuensi dari kehamilan itu...

Yang menjadi kecemasanku bukan hanya rusaknya masa depan si perempuan karena sistem pendidikan dan sistem sosial yang hanya bisa mengutuk tanpa bisa membantu dia menghadapi konsekuensi dari "kesalahan" itu. Kedua sistem ini tidak memberi pilihan bagi perempuan untuk melihat tubuhnya sebagai istananya, sebagai kuilnya. Dia diperintahkan untuk menjaga kuilnya demi dipersembahkan pada lelaki yang akan meminangnya. Kemudian saat lelaki peminang itu menanggalkan kejantanannya, tinggallah sang perempuan dengan segala hukuman tanpa ada sedikit pun mekanisme yang menopangnya. Meski perempuan dianggap sebagai penanggung jawab utama bagi keberlangsungan hidup janjin dalam kandungannya, tidak satu pun sistem sosial yang mendukung perannya itu, jika memang itu peran utamanya. Tapi aku juga mencemaskan anak yang kini tengah dikandungnya. Akankah anak ini mendapatkan semua hak yang sejak dalam kandungan telah wajib disediakan padanya oleh orang dewasa yang ada di sekitarnya? Akankah si anak mendapatkan kemartabatan dan penghargaan yang layak dia dapatkan sebagai calon pemimpin setidaknya bagi dirinya sendiri? Apakah kehadirannya disambut dan diiringi dengan kasih sayang dan penghargaan di saat kedua orangtuanya terlebur dalam kerasnya kehidupan?

Kembali ke gadis muda di tepi jalan yang duduk termangu dengan perut membuncit. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kebingungan. Tidak ada sama sekali kecemasan dan tanda tanya yang biasa aku temui di para ibu dengan kehamilannya. Tidak ada usaha untuk menghitung gizi dan menata kesehatan atau mencemaskan apakah anaknya akan terlahir sempurna dengan kecerdasan yang memadai. Dia hanya duduk dengan minuman dinginnya, di tepi jalan penuh debu, diterpa asap kendaraan dan debu jalanan. Dia hanya memikirkan hidupnya hari ini.

Padanya tidak seharusnya direnggut hak untuk memiliki keturunan, tapi padanya sebaiknya diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan kesiapan akan menjadi orangtua. Atas kebebasan memilihnya, tidak seyogyanya dipertaruhkan kehidupan seorang anak, tidak sepantasnya dibiarkan satu lagi generasi hilang.

Pada mereka sebaiknya diberikan penyuluhan yang gamblang dan mudah dipahami tentang pentingnya bersiap menjadi orangtua, lalu kemudian diberikan fasilitas gratis KB, apa pun bentuk yang dipilih. Sebaiknya didatangi mereka setiap bulannya, diingatkan akan kesehatannya, diberikan fasilitas pemeriksaan bermartabat dan disediakan segala perangkat perlindungan diri dan perencanaan keluarga. Bagi para gadis dengan kehidupan keras ini, hendaknya dipermudah dan dipastikan kesehatan dan kondisinya. Dijaga agar dari mereka tidak lagi dihasilkan satu generasi yang hilang. Tidak lagi dihasilkan anak-anak yang kemudian dijadikan alat berdagang dan mencari uang. Martabatkan mereka dengan memberikan pilihan dan penghargaan atas tubuhnya. Diberikan pemahaman bahwa ada hak pada mereka untuk menolak atau menunda memiliki anak. Dan juga diberikan pemberdayaan untuk memahami hakikat dan keindahan menjadi orangtua.

Maka dari mereka tidak akan terlahir generasi yang hilang.

Anak-anakku, aku mencintaimu..




Selasa, 20 September 2011

Can you be faithful?

Someone raised this simple yet very difficult question to me yesterday. I was so shocked by this. Can I be faithful? Then my wild and always wonder mind went on to search what is exactly the meaning of faithfulness and how we can be faithful.

I found that faithful is a choice we make in this life. Being faithful not only related to individual but also to our cause in life. As long as you are devoted and stand firmly to that one and only one, it means you are being faithful. I can say I am faithful to my self, my children and my cause. But can I be faithful to "you"?

Being faithful to yourself, children and cause is actually an easy thing to do. You just have to trust and rely on your self, no external factors. As a mother, I know so well my role for my children. I am meant to be their protector and their up bringer.. So I am not suppose to ask for anything from them. That means there are no external factors. With them I just give and give cause I know that is my duty for my God. Being faithful to my self, it is difficult if you don't see your self as a worth it human being. When you don't believe that you are somewhat enough and precious. I have pass that, I know I am worth it, I have been able to screen out all negative thinking that I have been fighting for in my 36 years of life. Now I can walk proudly being LOVELY, being a mother and now a single woman. I know I can reach many things as long as I put my mind into it. So again, being faithful to my self doesn't involve any external factors. I have already learn to chose to control the things I can control, which is my self and boy, was that hard to do..

Now come the question of being faithful to "you".

It takes a lot of courages.. Being faithful to someone means you put your heart into his/her hands. He/she holds part of your happiness. And you can never in control of that happiness. And trust can only be earn not given. This actually very scary to me. Betrayel comes in many forms. It doesn't have to be cheating with other woman. Betrayel means breaching of trust.

Trust also can cover many things. When you are in a relationship, you are not only trusted your love to that person but also your dreams and obsessions. You wish that both of you can help each other to reach that dreams. But dreams change, people change. And that change is unstoppable and also unavoidable. Would it be a betrayel when your partner's dream changes and might not be in line again with yours? Should then you change the dreams and make it in line to save the relationship? What about if yours are the one that change? Would you call your self a traitor? How can then you manage those dreams? Since it is every body's right to have a dream of their own? How can you be faithful to someone when you don't have the same dream any more? Will communication be the answer? And if we do communicate and the result is still we have a change of dream, then what?

There is also a matter of the heart. Being faithful means stay to one person and give your self only to that person. Its also involve a lot of risks.. So many times I found how people have belittle the meaning of relationship. How they talk about their immense love towards his/her partners while casually dating others. So what do you call faithful? How can I be sure about "you"? How can I take that risk and give "you" my heart? How can I let you have big power over my heart?

Now there is a saying that happiness is in our own hands. How can I maintain my happiness when I give my heart to other person? When his/her well being is part of mine? When his/her happiness is part of mine? That would be to big of a risk. They also say that I should give my lotalty to the right person. That also raise more questions, how can I know he/she is the right person? By giving him/her a chance? By letting my heart be at risk?

So how can I be faithful? How can I stay true to "you"?

Aku perempuan dan aku menghargai..

Belakangan heboh dibicarakan dan didiskusikan tentang perempuan dan rok mininya. Muaranya dari kasus perkosaan di angkutan umum yang memancing pejabat publik mengeluarkan pendapat. Sayangnya kedua pejabat publik yang diharapkan menjadi pengayom masyarakat baik perempuan dan lelaki itu malah mengeluarkan pendapat yang lebih melindungi satu gender warganya. Dengan mudah keduanya menyalahkan kaum perempuan sebagai penyebab angkara murka yang menimpanya. Dikatakan mereka pantas mendapatkan angkara murka tersebut karena telah berbuat nista menjadi penggoda, menjadi penggoyah iman lelaki yang ada di dekatnya.

Ya, kau benar, kedua pejabat itu berkelamin lelaki. Maka kau menghela napas dan terdiam paham.

Bukan, bukan itu sumber resah gelisahku hari ini. Tapi membaca semua debat dan pendapat, sangat jelas terlihat betapa secara umum memang seluruh angkara itu masih menjadi duka perempuan. Terus kami disalahkan mulai dari cara berpakaian, bersikap dan berbicara. Disebutkan betapa seluruh tubuh kami adalah sumber petaka lelaki, neraka lelaki. Maka sebaik-baiknya kami adalah mereka yang terdiam, membisu, menghela di pojok gelap dan sepi. Dia yang tertunduk dan mengabdikan dirinya pada lelakinya. Mempersembahkan seluruh indahnya pada lelakinya. Dan kembali aku menggeliat...

Benarkah aku memakai bajuku untuk itu? Benarkah di pagi hari aku mematut dan berdandan untuk menarik lawan jenisku? Benarkah keseluruhan keberadaanku telah ditakdirkan menjadi pemuas bagi lelaki yang konon kabarnya telah ditakdirkan menjadi suamiku? Hmmm..seingatku, tadi pagi aku memilih baju untuk membuat KU senang. Untuk membuat KU nyaman. Untuk membuat KU cantik. Tidak ada sama sekali faktor Nya di benakku. Tidak sama sekali ada niat untuk itu.

Adalah bukan salahku apabila kecintaanku pada diriu, kebanggaanku pada diriku menghasilkan kekaguman di mata yang melihatnya. Bukan dosaku saat kau tak bisa mengendalikan diri dan terpana melihatku. Karena saat aku merasa cantik, apa pun baju yang kukenakan, sepanjang apa pun kain itu kusarungkan, kau akan bisa melihat pancarannya. Kau akan bisa merasakan kehangatannya. Kau akan bisa merasakan kekuatannya. Aku perempuan yang bahagia dan bangga akan keberadaannya di dunia ini.

Benarkah? Kau bertanya. Benarkah bahkan saat kain itu begitu panjang disalurkan, kau akan tetap terpana melihat kecintaanku pada diriku? Bukankah minimnya kain, tingginya rok menjadi pemicu dan akhirnya menimbulkan angkara?

Kalau benar itu yang jadi logikanya, maka sepatutnya kejahatan itu hanya dirasakan oleh mereka yang bergaun minim, yang bersikap genit, dan segala yang negatif menurut budaya lainnya. Tapi fakta kehidupan menyebutkan betapa angkara itu tidak memilih usia, tidak memilih baju yang dikenakan dan tidak juga memilih sikap yang ditunjukkan. Korban yang jatuh beragam dan bahkan pada mereka yang jelas telah menuruti kehendak lelaki untuk menutupi dan berdiam di sudut sepinya. Maka bukan itu intinya, bukan itu akarnya, bukan itu pemicunya...

Bukan pada perempuan dan segala atributnya.. Tapi pada si pelaku. Pada pikirannya, pada jiwanya, pada kemampuannya mengendalikan dirinya. Sudah saatnya para lelaki diajak untuk melihat tubuh perempuan sebagai tubuh ibunya. Tubuh yang telah membantu menghadirkannya di dunia ini, tubuh yang membagikan nyawanya demi kehidupan selanjutnya, tubuh yang meregang dan terus diregang bahkan jauh setelah kehidupan itu dilahirkan. Sudah saatnya para lelaki diajak untuk melihat tubuh perempuan sama seperti tubuhnya sendiri. Benda ilahiah yang menjadi kuil tempat di mana Tuhan bersemayam. Melihat tubuh perempuan sebagai manusia, bukan obyek yang dirasa berhak dinikmati baik dalam pandangan dan bila diberi kesempatan,disentuh dan dihancurkan.

Maka seyogyanya kita perlu melihat kembali ke pendidikan dan pengajaran, baik di rumah maupun di ruang publik. Sudahkah kita mengajarkan kesetaraan itu pada anak-anak kita. Sudahkah kita mengajarkan penghormatan dan penghargaan bagi kepentingan dan kebahagiaan orang lain? Sudahkah anak lelaki kita diajarkan untuk tidak lagi melihat saudara perempuannya sebagai makhluk yang diciptakan demi memuaskan dan melancarkan perannya sebagai khalifah di dunia ini? Setahuku, aku pun khalifah, aku pun karunia dan berkah bagi alam semesta ini. Aku sama berharganya dengan para pria dan pada aku pun ditanamkan penghargaan dan penghormatan pada kaum pria, bukan karena dia makhluk yang lebih mulia dariku tapi karena dia manusia, sejajar dan setara denganku serta patut mendapatkan penghargaanku.

Aku perempuan dan aku menghargai...

Jumat, 16 September 2011

Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

I want to love you in the simplest way
With words that the wood failed to tell the fire
And make them ashes

I want to love you in the simplest way
With clues that the cloud failed to tell the rain
And make them disappear

Sapardi Djoko Damono

Rabu, 14 September 2011

Aku Perempuan dan aku bahagia..

Hariku selalu diawali dengan sebuah kisah yang luar biasa...

Pagi ini seorang perempuan mengirimkan pesan singat padaku mempertanyakan siapa aku bagi belahan jiwanya dan apakah aku tahu sang lelaki itu sudah berbelahan jiwa? Sebuah pertanyaan yang menusuk dan mengoyak di pagi hari.

Ada apa dengan kita wahai perempuan? Mengapa selalu saja kita melihat sesama kita sebagai ancaman dan bukan sekutu? Ataukah aku yang terlalu naif? Apakah memang sebenar-benarnya itu yang terjadi di dunia di luar dunia indahku ini? Aku menggeliat dan menanar dan menggugat (ha ha ha kau benar, Ayah.. aku memang begitu mudah dibakar.. mungkin itu sebabnya namamu langsung menempel di jiwaku..)

Jika bicara tentang perempuan kedua, kita selalu melihatnya sebagai perusak dan ancaman. Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam benak kita bahwa perempuan ini adalah korban. Mengapa tidak terlintas bahwa di saat kita tidak ingin kebahagiaan kita dikoyak, maka perempuan lain pun tidak ingin mengoyak kebahagiaan kita? Atau aku yang berpikir naif dan mengira semua perempuan telah berada di posisi memilih?

Bagiku sebagai perempuan, keberadaan laki-laki bukan menjadi prasyarat utama sebuah kebahagiaan. Mereka diciptakan sama seperti kita, sebagai mitra bagi pasangan yang sudah ditentukan baginya. Maka pencarian dilakukan atas dasar kemitraan. Sebuah hubungan kesetaraan dan ketersalingan. Dengan pemahaman itu maka yang perlu dipersiapkan adalah diri sendiri. Aku, sudah sanggupkah aku menjadi mitra setara? Sudah percayakah aku pada kemampanku sendiri?

Kalau aku sudah mencapai tahap itu, maka akankah aku merenggut kebahagiaan perempuan lain? Karena sang lelaki bukanlah prasyarat utama, dia boleh ada tapi juga dibolehkan tidak ada. Dia bukan sesuatu yang wajib aku miliki tapi keindahan yang bisa melengkapi keindahan yang sudah kumiliki sendiri, yang sudah kuciptakan sendiri. Aku tidak merasa wajib dan terdorong untuk segera menemukan lelakiku karena aku sudah bahagia. Sudah lengkap.

Bagiku kebohongan yang dilakukan sang lelaki tidak lebih menyakitkan dibanding pertanyaan menuduh dan menusuk yang diajukan oleh saudariku sendiri. Perempuanku. Tiap kali muncul kisah atau cerita yang menyudutkan kaum perempuan dari luncuran indah bibir perempuan lain, hatiku miris..jiwaku menangis. Kenapa selalu perempuan yang menjadi sumber masalahnya? Bagi lelaki maupun perempuan itu sendiri. Mengapa kau merasa lebih baik dari perempuan lain, wahai saudariku, sementara sang lelakimulah yang berbohong dan mencoba memanfaatkan kelemahan jiwa, kerapuhan hati perempuan lain? Rengkuh saudarimu itu, Sayangku. Bukan untuk membagi lelakimu, karena bukan itu pula intinya. Tapi bantu dia melihat keindahan dalam dirinya. Keindahan yang hanya layak dibagikan dengan kesejatinya lelaki. Keperkasaannya lelaki. Bukan tubuh berotot dan kemampuan luar biasa melainkan kelembutan jiwa dan penghargaan yang tinggi pada pasangannya.

Perempuanku, kebahagiaanmu bukan berada di tangan lelaki, siapa pun dia. Kebahagiaanmu ada di tanganmu sendiri. Kau telah diciptakan begitu indah dan kuat. Kau diciptakan dengan kemampuan luar biasa. Kenapa melemah dan menggenggamkan jiwamu pada manusia lain?

Ulurkan tanganmu, Duhai Perempuanku. Aku akan bagikan kehangatan cinta dan kasih sayang yang menyala terang di jiwaku. Dengan itu kuharap kau akan bisa melihat nyala yang sama di jiwamu. Maka nyala itu akan menarik jiwa kuat dan indah yang sama. Maka pasanganmu, mitramu, kekasihmu, jodohmu akan datang. Membentangkan tangannya, mengulurkan cintanya, memancarkan penghargaannya secara tulus dan yakin.

Jika jiwamu telah menyala, jika bahagiamu telah tiba, ulurkan tanganmu lagi pada perempuan lain. Bantu dia menyalakan jiwanya agar bahagia bisa juga dia ciptakan.

Aku perempuan..dan aku bangga menjadinya..

Selasa, 13 September 2011

Kau sangat beruntung Kekasihku

Sejak awal menikah di usiaku yang ke-21 tahun, aku sudah begitu sering mendengar perkataan ini. "Cucuku sayang, kau sangat beruntung mendapatkan suamimu. Secara garis keturunan, sangat sulit bagimu untuk mendapatkan pasangan. Perhitungan jawa dan keturunan tidak berpihak padamu."

Aku.. yang selama 21 tahun hidupku belajar keras. Masuk sekolah terbaik demi biaya rendah (bukan gengsi he he he). Yang selama 21 tahun hidupku terlibat di begitu banyak kegiatan kesiswaaan, kemahasiswaan, kekarangtarunaan, pengajian, apa pun itu. Aku yang perlahan melihat diriku secara positif, merasa aku cukup pintar dan berharga tapi bahkan orang terdekatku pun berkata, "Aku sangat beruntung mendapatkan lelaki yang bersedia menjadi suamiku itu."

Kehidupan pernikahan kami disertai perjuangan luar biasa. Aku berusaha bertahan, menjaga kuat kehormatan suami, mengelola rumah tangga dan mendidik kedua anakku dengan segala daya upaya. Saat aku merasa bangga pada diriku, merasa bahagia dengan pencapaianku, seluruh keluarga suamiku berkata.. "Anakku, kau sangat beruntung memiliki suami seperti dia. Meski makin tampan oleh kesuksesan, semakin bersinar oleh kemapaman, dia tetap berada di sisimu. Kamu yang makin terpuruk dalam kegemukan, tenggelam dalam peranmu sebagai ibu rumah tangga. Kamu yang lupa berdandan bak remaja, mematut bak peragawati."

Setelah aku bercerai dan berjuang keras mengembalikan harga diriku yang terkoyak. Berjuang keras menggantikan waktu yang terbuang selama aku di dalam pernikahan. Lalu cinta mengetuk pintuku.. Aku begitu bahagia. Lengkap sekali penemuanku, aku menemukan bahagiaku dalam pekerjaan, dalam pergaulan, dalam peranku sebagai ibu dan kini sekali lagi, Allah menunjukkanku jalan menuju pernikahan. Lalu belahan jiwaku itu berkata, "Kekasihku, kau sangat beruntung mendapatkan cintaku. Begitu banyak wanita berusaha mengejarku. Tapi entah mengapa, hatiku memilih dirimu. Lihatlah mereka semua, yang jauh lebih berhasil darimu, yang berada di strata sosial lebih tinggi darimu. Di antara semua keindahan itu, aku memilihmu. tapi perhatikan langkahmu, kekasihku. karena perilakumu yang akan membawaku pergi meninggalkanmu."

Astaga :(

Aku Anastasia Rima Hendrarini. Aku ibu dua anak, Raka Ibrahim Anshafarie dan Sulaiman Deli Ramadhanie. Dengan cintaku dan pengabdianku, kubesarkan dan kudidik kedua belahan jiwaku ini. Pada keduanya tampak pemahamanku tentang cinta dan kasih sayang. Pada mereka kau akan melihat definisi pengabdian. Aku perempuan pintar dengan karier dan karya yang dihargai manusia di negaraku. Aku perempuan mandiri dengan kehidupan yang berhasil kugenggam sendiri. Dalam mandiriku, aku menjadi payung dan selimut bagi orang-orang di sekitarku. Aku tahu apa itu cinta. Aku tahu bagaimana mencintai dengan tulus. Dan kau beruntung mendapatkanku..

Kau beruntung aku mencintaimu..

Senin, 12 September 2011

Aku hanya bayangan

Hari ini aku mendengar kisah tentang perempuan yang bersedia hidup dalam bayang-bayang. Mencintai pria yang tidak punya daya untuk membawanya keluar ke dunia terang dan hanya bisa memberikan cinta dan dirinya dalam kegelapan. Kisah ini kudengar dari sesama perempuan yang segera menyatakan ketidaksetujuannya dan juga ketidakpahamannya akan pilihan perempuan ini.

Secara otomatis perbincangan merujuk pada betapa tidak bermartabatnya perempuan ini, merebut cinta lelaki yang sudah menjadi milik perempuan lain. Apakah dia tidak memiliki hati dan perasaan? Apakah tidak terpikir tentang perasaan perempuan lain yang dia sakiti? Secara normatif reaksiku adalah, tidak mungkin aku melakukannya, aku masih cukup cantik untuk memilih bujang sebagai pasanganku. Ow ow ow sangat sombong, aku tahu..

Benarkah itu yang terjadi dengan mereka?

Yang aku tahu, perasaan itu tidak bisa dirancang. Kita tidak tahu pada siapa kita jatuh cinta. Dan saat cinta itu jatuh pada pilihan yang "kurang" tepat, duka pun tiba.

Aku pernah berada di posisi cinta seperti itu. Dan ingat benar betapa menyakitkannya harus selalu berada dalam bayang-bayang. Tidak boleh menyebutkan secara bangga siapa lelaki yang tengah mengisi relung hatiku. Menjadi setia dalam ketiadaan, betapa sulitnya.

Sangat menyakitkan harus bersembunyi dan berdiam diri di hari-hari di mana orang lain berkumpul dengan cintanya. Di saat itu dia harus berdiam di gelap bayangan dan membayangkan kekasihnya bercengkrama dengan cintanya yang lain. Bahkan di alam maya sekali pun. Saat semua orang dengan bangga memasang foto pasangannya, atau bahkan foto mereka berdua di banyak jejaring sosial, aku harus berhati-hati bahkan saat menuliskan statusku. Jangan sampai seseorang yang kebetulan mengenal seseorang yang ternyata mengenal cintanya yang lain itu melihat apa yang aku tulis dan menyampaikannya. Bahkan harus hati-hati memasang fotoku sendiri agar tidak terlalu mencolok dan mengundang perhatian jika kebetulan cinta yang lain itu berkelana di dunia maya. Sangat menyakitkan.. sangat gelap..

Sering aku bertanya, apa yang dirasakan lelakiku itu. Sedihkah dia tidak bisa menghadirkanku? Aku belum sempat menanyakan ini, tapi seorang teman dengan pengalaman sama mengatakan hal itu sangat menyakitkan juga bagi sang lelaki. Sedih tidak bisa menghadir dan membanggakan kekasih gelapnya. Tidak bisa memeluk kapan pun ingin atau dibutuhkan. Tidak bisa bersama setiap saat ingin. Membayangkan sang kekasih sendiri merajut hari atau gelisah memikirkan siapa menggantikannya di keheningan dan kesunyian hidup.

Lalu apa alasan semua itu? Mengapa tidak memilih? Dikatakan padaku karena hubungan kedua ini sebagai pelarian atas kelelahan dan frustasi yang dirasakan di cinta pertama. Hubungan kedua ini bak oase atau terminal sementara untuk melepaskan lelah dan kepenatan dalam menjalin hubungan yang sebenarnya. Oh :( Pantas selalu aku dituntut menjadi sempurna. Pantas aku selau menjadi tumpahan amarahnya. Saat itu kupikir aku tonggak kuat bagi hidupnya. Hanya padaku dia merasakan kenyamanan untuk mengutarakan semua gelisahnya. Semua resahnya semua amarahnya. Tapi bukan itu..sungguh bukan itu. Dia simpan segala keindahannya untuk cinta pertamanya, dia simpan energinya untuk kekasih terindahnya. Pada diriku dia temukan segala keburukan sampai ke titik di mana aku tak lagi mengenali sosok yang dia ajak bicara maupun bicarakan. Aku menjadi segala negatif yang belum pernah kukenal sebelumnya. Dan aku tercenung..

Alasan kedua adalah karena dirasakan belum tiba saatnya untuk membuat pilihan. Oh betapa egoisnya alasan ini. Bersemnbunyi di balik waktu. Di balik takdir. Kapan saat yang tepat itu? Apa hak dia menilai, menimbang dan menguji kami berdua? Dua perempuan yang tak memilih untuk berada dalam kondisi ini.

Yang aku tahu semua orang berhak bahagia. Sebuah hak yang hanya dibatasi oleh hal bahagia orang lain. Tak pernah sekali pun aku meminta keindahanku itu untuk meninggalkan kekasih terangnya. Dan terus menerus kami terbelit dalam kesakitan dan kegelapan. Melepas juga sangat sulit karena setelah sekian lama, kami terbiasa dengan satu sama lain. Tapi ujung kepastian itu tak juga tiba. Keburukan yang begitu dalam dia temukan membuatnya ragu untuk membuat keputusan yang jelas tapi kebiasaan bersama membuatnya tidak mampu melepaskanku. Dan terus kami terseret dalam nestapa.

Jangan menghujat temanku, jangan menghakimi. Pada tiap manusia, pada tiap keputusan tersembunyi sebuah kebahagiaan dan kepahitan. Tak semua bisa kita pahami dan sepakati. Tapi wajib kita hormati dan hargai. Lebih baik dan bermanfaat jika kau mengulurkan tangan. Memberi mereka kepercayaan dan kekuatan untuk membuat keputusan. Untuk memilih. Lalu saat pilihan itu tetap tidak kita sepakati, ulurkan tangan untuk menunjukkan penghargaan kita atasnya.

Dan aku tetap menjadi bayangan...

Sabtu, 10 September 2011

Apakah aku dimanfaatkan?

Setiap kali bicara tentang hubungan, aku selalu tergagap. Setelah 14 tahun menikah, kupikir aku sudah menemukan rumus mantab. Tapi setelah hubungan lamaku itu kehilangan makna dan akhirnya bubar, banyak dari pemahamanku itu kembali kupertanyakan.

Salah satu pertanyaan terpelik adalah urusan mendukung atau support dalam bahasa Inggrisnya.

Setelah sempat bangkrut dan menggeliat lagi dari nol, aku punya pandangan baru tentang uang. Aku memutuskan bahwa kemandirianku sangat ditentukan oleh aliran uang yang masuk ke dompetku. Sejak itu aku memutuskan untuk tidak menerima uang dari lelaki, demi menjaga kemandirianku. Sudah pasti pandangan baru itu berdampak pada kesediaanku memberikan dukungan. Kupikir adalah adil apabila masing pihak tidak saling membebani.

Namun berkali, aku menghadapi dinding yang sama.. Penolakanku atas pemberian membuat (calon) pasanganku terluka dan juga penolakanku untuk memberi membuat (calon) pasanganku terluka. Hasilnya sama.. mereka hanya menjadi calon.

Namun sebenarnya, inti dari semua penolakanku itu adalah ketakutan akan dipermainkan. Ketakutan akan dimanfaatkan. Ketakutan akan dianggap perempuan bodoh yang mudah ditipu dan dipermainkan perasaan. Ego untuk mempertahankan citra sebagai perempuan mandiri dan cerdas (ha ha ha ha)

Saat selalu aku menyarankan untuk lebih mendengarkan hati kecilmu dan tidak lagi terlau peduli dengan apa yang dikatakan orang kecuali itu menyentuh kesadaran Illahiahmu. Aku ternyata masih berada di belenggu itu. Dalam ketakutan tidak mampu memuaskan ego manusia sekitarku. Ketakutan dianggap berbeda dan tidak diterima.

Lalu aku tersadar..
Hubungan pada intinya sama.. Percintaan atau pertemanan. Persaudaraan atau keorangtuaan.. Intinya hanyalah memberi atas nama Allah. Menebar kebaikan dan kasih pada semesta. Menjadi sejatinya khalifah Allah di dunia. Pemberian kita adalah bentuk terima kasih pada Allah atas semua kebaikan dan kelebihan yang sudah dilimpahkan atas kita. Bukankah kemampuan kita memberi menandakan kelebihan yang sudah diberikan-Nya? Memberi adalah sebuah hak istimewa yang luar biasa indah. Ada masa di mana kita tidak diberi keluangan untuk memberi dan hanya bisa diberi.

Bagaimana dengan kemungkinan dimanfaatkan? Dengan kemungkinan ditipu?
Kadang kupikir kekompleksitasan pikiran kita sebagai dampak dari gabungan semua pengalaman membuat hidup kita makin rumit dan berat. Kita sering iri melihat kepolosan dan kebahagiaan murni anak-anak. Lalu kita timpali dengan pembenaran karena hidup mereka masih sederhana. Sebenarnya apa yang disebut dengan sederhana dan apa yang disebut dengan rumit?

Pada akhirnya semua ada di kepala kita. Ada di benak kita. Padahal sebenarnya ramuan bahagia sangatlah sederhana. Hanya ketulusan dan kepasrahan. Namun atas nama intelektual kita mencoba melogikakan semua dan akhirnya terjebak dalam jaringan logika kita yang belum tentu juga benar alurnya.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan itu.
Pertanyaan yang aku ajukan bukan, apakah aku dimanfaatkan, apakah aku ditipu, apakah aku dibodohi..
Tapi aku bertanya, apakah aku mampu membantu? Apakah aku mau membantu?
Selebihnya aku serahkan kembali pada Allah SWT.

Berpikir apa yang bisa dipikir, menganalisa apa yang bisa dianalisa, mengendalikan apa yang bisa dikendalikan. Selebihnya, kembali menjadi hamba Allah SWT dan menyerahkan perlindungan kepada-Nya.
Bismillah..

Selasa, 19 Juli 2011

Why Can't you see your self in them?

I have been so restless recently. I found so many instance where parents easily say that their children are too much to handle. Some even give up and consider the children gone.. So the phrase "mother's love is eternity" is actually not always true, very sad..



The interesting thing is when I dig deeper into the parents personal life, it turn out they also led a "wild" childhood or teenager life. Some even did worst things than what their children did in present time. It got me thinking.. what happened with this?



I my self grew up in a very ordinary kind of way. I never went to any of those "fun" places that teenagers would go. When I have my own children, I worried about how I could explain to them those life since I don't believe in labeling a life as good or bad. I believe in giving them facts and let them use their own logic to decide. In that sense I always envy those parents who had gone through such life. I thought how lucky they are. They can understand that desire more.. But when I talk to those parents, almost all of them complain how difficult it is to talk to their children about the things that they actually did in the past.



You know why? Because you don't see them as a fully equipped human being. You think children are less so you need to always fill them up. And the truth is, this approach is going to make your life a living hell. You will feel the pressure of perfection. Because you ask them to be perfect.



But when you can just back down and remember how it feels like when you are young and always being misunderstood? Then you can see clearly how to speak with them.



Empathize.. that is the key.. See the world through their perspective.. The different is now you have known better, you have learn better.. That is the perspective they need. Try to talk to them like you want people to talked to you back then. Will a party goers listen to a preach about religions? Will they listen to the warning about assignment or test? Hah, no one say yes.. because they don't!!



Try to use their logic, it is not about preventing a teenager to have fun, but habituate them to take fully responsibility of their own life. Do not use accusation tone, use emphatic tone.. Gosh Baby, I understand your need, I have been there. But what about the exam? What should we do about it? What I can do to help you as a mother? Gain their trust, win their heart.



You are all good parents because you love your children. As you learn to believe in your self as a grown up, you know that that feeling really connected to how the people you love perceive you.. So always believe in your children, they are God most beautiful creation and HE has equipped them with logic and inner heart to guide their way in life.



I love you, Raka and Deli.. Its a pleasure to welcome you into our life, Isatu, Asanatu and Junior..

I hope I can be the mother you will proud of.. simply because I love you..

Rabu, 06 Juli 2011

Don't you Remember by Adele

When will I see you again?
You left with no goodbye, not a single word was said,
No final kiss to seal any seams,
I had no idea of the state we were in,

I know I have a fickle heart and bitterness,
And a wandering eye, and a heaviness in my head,

But don't you remember?
Don't you remember?
The reason you loved me before,
Baby, please remember me once more,

When was the last time you thought of me?
Or have you completely erased me from your memory?
I often think about where I went wrong,
The more I do, the less I know,

But I know I have a fickle heart and bitterness,
And a wandering eye, and a heaviness in my head,

But don't you remember?
Don't you remember?
The reason you loved me before,
Baby, please remember me once more,

Gave you the space so you could breathe,
I kept my distance so you would be free,
And hope that you find the missing piece,
To bring you back to me,

Why don't you remember?
Don't you remember?
The reason you loved me before,
Baby, please remember me once more,

When will I see you again?

Minggu, 03 Juli 2011

Ketika Tangan dan Kaki Berkata - Chrisye

Akan datang hari
Mulut dikunci
Kata tak ada lgi

(There will come the day
Mouth is locked
No more words)

Akan tiba masa
Tak ada suara
Dari mulut kita

(There will come the time
No more sounds
From our mouth)

Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita
Bila harinya
Tanggung jawab, tiba...

(The hands will tell
What we have done
The feet will tell
Where we have been going
We never know
When that time
The Judgment Day, will come..)

Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya
Sempurna

(Rabbana
Our Hands
Our feet
Our mouth
Our heart
Straighten it up
Strengthen it up
In the lighten path
to perfection)

Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu
Yang hina

(Please bless us
Your humble devotees)

I love YOU, Allah..

Senin, 27 Juni 2011

Maaf Buat Adikku

Ada cerita berjalin dengan titik berangkat yang sama. Dua perempuan yang tidak puas dengan kehidupan rumah tangganya, belitan ekonomi jadi alasannya.

Aku bertemu satu perempuan ini dalam kunjungan tak terduga di negara penuh luka (setidaknya untukku). Perempuan ini begitu bahagia. Puas dengan kehidupannya, dengan pernikahannya, dengan nasib dan takdirnya. Kekaguman dan sedikit iri sempat terbersit. Bagaimana sebuah kisah cinta bisa terjalin begitu indah. Bagaimana takdir dan nasib bisa begitu baik pada seseorang.. oh maninsnya..

Lalu nasib tanpa sengaja mempertemukan aku dengan lelaki, sahabat lamaku. Dia kemudian bercerita tentang kehidupannya yang suram. Tentang kebahagiaan pertamanya yang terenggut oleh kedigdayaan ekonomi. Aku tercekat..

Dikisahkannya betapa sedih hatinya saat sang istri memintanya mengakhiri kisah yang dia pikir indah. Sang istri menemukan kisah manis yang baru dengan lelaki dari negeri seberang. Baginya, permintaan ini mengejutkan dan mengiris hati. Sang istri memang selalu lebih maju, baik secara karier maupun penghasilan. Meski kabar ini tetap dirasa bak petir di siang hari.

Perpisahan mereka tidak berbalur air mata. Bahkan di pagi sebelum pengetukan palu, mereka masih bersama. Senyum mengembang di antara keduanya saat palu terketuk. Si peremppuan dengan kelegaan luar biasa dan si pria dalam kehampaannya. Alkisah sejak hari itu hidup sang pria terlunta. Hatinya kosong dan jiwanya terluka. Harga diri kemanusiaannya terbarut dan tercarut. Kekasih jiwanya pergi karena tak tahan menanggung belitan ekonomi dan mungkin keanehannya. sang istri adalah perempuan yang kutemui di negeri penuh luka itu..

Satu kisah lagi terjalin, saat sang perempuan menuntut perpisahan dengan alasan yang sama. Tak tahan akan jepitan ekonomi dan diselingi dengan kecurigaan akan adanya wanita kedua di hati sang suami yang berada jauh darinya. Dengan garang dan tenang sang perempuan mengajukan tuntutannya dan melangkah pergi melanjutkan hidupnya sementara sang suami terpuruk marah dan kosong. Menangis dalam amarah dan amukan meratapi kemiskinannya.

Dan aku tercenung...

Aku percaya kebahagiaan adalah hak semua orang. Siapa pun berhak untuk bahagia. Lalu dalam kedua kisah itu, menggurat pedih dua lelaki yang ditinggalkan demi sang perempuan yang mencari kebahagiaannya. Aku pernah di posisi itu. Aku melangkah pergi meninggalkan hati yang terluka dan kebingungan.. atas nama kebahagiaan pribadiku.

Aku sedang diingatkan Tuhan.. Aku diminta melihat dari sisi yang berbeda. Aku tidak bisa mengutuk kedua perempuan itu, maupun menyalahkan kedua lelaki ini. Kedua perempuan itu seperti juga aku hanya berusaha mencari bahagia mereka. Keduanya melangkah meninggalkan keindahan yang terasa bak kurungan demi bisa terbang bebas menyongsong bahagianya. Satu perempuan sudah menemukannya, aku masih tertatih menggapainya, satu lagi belum kujangkau..

Tapi bagaimana dengan para lelaki yang ditinggalkan? Apa salah mereka? Di mana hak mereka untuk bahagia? Adalah naif untuk mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan yang lebih baik.. Nyatanya temanku itu tak pernah lagi menemukan damainya. Hidupnya dilandasi kedukaan dan dendam yang tidak pernah mau dia akui. Lelaki kedua masih kebas.. melanglang.. berlari.. menutup diri. Sedang lelakiku, kini tengah berjuang menjadi bahagia. Matanya masih menyorotkan luka dan tanda tanya. Jiwanya masih lembam, tak mau beranjak dari kenyamanan yang sudah 14 tahun kami bagi bersama.

entahlah...

Hanya permohonan maaf dan doa tulus yang bisa aku dengungkan. Untuk ketiga lelaki dan juga mereka semua yang terluka, tercarut dan ditinggal demi mengejar kebahagiaan pribadi. Semoga luka mereka cepat sembuh.. semoga semua dan juga aku yang pergi demi mencari kebahagiaan dapat menemukan kedamaian batin.. karena hanya itu yang akan berujung pada bahagia..

Selasa, 5 Juli 2011
Jakarta