Senin, 27 Juni 2011

Maaf Buat Adikku

Ada cerita berjalin dengan titik berangkat yang sama. Dua perempuan yang tidak puas dengan kehidupan rumah tangganya, belitan ekonomi jadi alasannya.

Aku bertemu satu perempuan ini dalam kunjungan tak terduga di negara penuh luka (setidaknya untukku). Perempuan ini begitu bahagia. Puas dengan kehidupannya, dengan pernikahannya, dengan nasib dan takdirnya. Kekaguman dan sedikit iri sempat terbersit. Bagaimana sebuah kisah cinta bisa terjalin begitu indah. Bagaimana takdir dan nasib bisa begitu baik pada seseorang.. oh maninsnya..

Lalu nasib tanpa sengaja mempertemukan aku dengan lelaki, sahabat lamaku. Dia kemudian bercerita tentang kehidupannya yang suram. Tentang kebahagiaan pertamanya yang terenggut oleh kedigdayaan ekonomi. Aku tercekat..

Dikisahkannya betapa sedih hatinya saat sang istri memintanya mengakhiri kisah yang dia pikir indah. Sang istri menemukan kisah manis yang baru dengan lelaki dari negeri seberang. Baginya, permintaan ini mengejutkan dan mengiris hati. Sang istri memang selalu lebih maju, baik secara karier maupun penghasilan. Meski kabar ini tetap dirasa bak petir di siang hari.

Perpisahan mereka tidak berbalur air mata. Bahkan di pagi sebelum pengetukan palu, mereka masih bersama. Senyum mengembang di antara keduanya saat palu terketuk. Si peremppuan dengan kelegaan luar biasa dan si pria dalam kehampaannya. Alkisah sejak hari itu hidup sang pria terlunta. Hatinya kosong dan jiwanya terluka. Harga diri kemanusiaannya terbarut dan tercarut. Kekasih jiwanya pergi karena tak tahan menanggung belitan ekonomi dan mungkin keanehannya. sang istri adalah perempuan yang kutemui di negeri penuh luka itu..

Satu kisah lagi terjalin, saat sang perempuan menuntut perpisahan dengan alasan yang sama. Tak tahan akan jepitan ekonomi dan diselingi dengan kecurigaan akan adanya wanita kedua di hati sang suami yang berada jauh darinya. Dengan garang dan tenang sang perempuan mengajukan tuntutannya dan melangkah pergi melanjutkan hidupnya sementara sang suami terpuruk marah dan kosong. Menangis dalam amarah dan amukan meratapi kemiskinannya.

Dan aku tercenung...

Aku percaya kebahagiaan adalah hak semua orang. Siapa pun berhak untuk bahagia. Lalu dalam kedua kisah itu, menggurat pedih dua lelaki yang ditinggalkan demi sang perempuan yang mencari kebahagiaannya. Aku pernah di posisi itu. Aku melangkah pergi meninggalkan hati yang terluka dan kebingungan.. atas nama kebahagiaan pribadiku.

Aku sedang diingatkan Tuhan.. Aku diminta melihat dari sisi yang berbeda. Aku tidak bisa mengutuk kedua perempuan itu, maupun menyalahkan kedua lelaki ini. Kedua perempuan itu seperti juga aku hanya berusaha mencari bahagia mereka. Keduanya melangkah meninggalkan keindahan yang terasa bak kurungan demi bisa terbang bebas menyongsong bahagianya. Satu perempuan sudah menemukannya, aku masih tertatih menggapainya, satu lagi belum kujangkau..

Tapi bagaimana dengan para lelaki yang ditinggalkan? Apa salah mereka? Di mana hak mereka untuk bahagia? Adalah naif untuk mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan yang lebih baik.. Nyatanya temanku itu tak pernah lagi menemukan damainya. Hidupnya dilandasi kedukaan dan dendam yang tidak pernah mau dia akui. Lelaki kedua masih kebas.. melanglang.. berlari.. menutup diri. Sedang lelakiku, kini tengah berjuang menjadi bahagia. Matanya masih menyorotkan luka dan tanda tanya. Jiwanya masih lembam, tak mau beranjak dari kenyamanan yang sudah 14 tahun kami bagi bersama.

entahlah...

Hanya permohonan maaf dan doa tulus yang bisa aku dengungkan. Untuk ketiga lelaki dan juga mereka semua yang terluka, tercarut dan ditinggal demi mengejar kebahagiaan pribadi. Semoga luka mereka cepat sembuh.. semoga semua dan juga aku yang pergi demi mencari kebahagiaan dapat menemukan kedamaian batin.. karena hanya itu yang akan berujung pada bahagia..

Selasa, 5 Juli 2011
Jakarta