Jumat, 28 Oktober 2011

Aku dan dukaku..

Hari ini cukup berat, setelah dengan tenang berpikir sejak semalam, akhirnya aku memutuskan menghentikan langkah cinta, selagi masih pagi hari dan masih pucuk bunganya. Tapi tentu sebagai perempuan, hatiku terusik dan terkulik. Sakit dan perih bukan buatan.

Lalu sahabat kecilku mengingatkanku untuk mengalihkan pikiranku agar tak terasa sedihku. Hmmm..jadi teringat diri lamaku, 2-3 tahun lalu. Aku yang begitu naif dan mudah terlarut. Air mataku begitu  mudah jatuh dan membenamkan semua pikir dan nalarku. Di masa itu, setiap kali hatiku diusik, setiap kali ketenanganku digoyah, maka runtuhlah duniaku, runtuhlah dindingku. Tidak lagi aku bisa berfungsi dan berkarya seperti sejatinya diriku. Aku hanya bisa menangis dan membenamkan diri ke dalam luka dan dukaku, jatuh mengasihani diriku.. Itu dulu....

Perlahan aku melihat betapa kejatuhan itu tiada berguna, betapa tangis kita tidak berarti apa-apa, tidak menghasilkan apa-apa. Tidak juga membuatku merasa lebih lega atau seperti kata pujangga, tidak juga aku merasa hatiku terbasuh dan menjadi bersih. Yang kurasakan hanya duka dan luka.. Terbenam dan terseret. Aku melihat dukaku itu juga tidak memiliki pengaruh pada dia yang melukai dan mengoyakku. Tidak lalu tangisku membuatnya menyesali atau bahkan mengubah apa yang sudah dilakukannya. Tidak juga dukaku itu membuatnya berpikir dan melihat dalamnya kasih dan peduliku padanya... Alih-alih, aku melihat senyum kebencian atau bahkan kepuasan..

Belahan hati yang kini pergi pernah berkata bahwa dia adalah pribadi utuh dan bahagia, karena itu tiada satu manusia yang bisa menyakitinya. Dia akan menilai semua hubungan yang terjadi, lalu pergi jika dirasa hubungan itu hanya membawa keburukan. Sebuah pendapat yang dingin, tapi banyak mengandung kebenaran. Di saat kita tahu bahwa diri kita adalah cukup, bahwa kita adalah kebaikan dan keberkahan, maka kehadiran orang lain hanyalah pelengkap. Dia menjadi tidak mempengaruhi kebahagiaan dan keutuhan kita. 

Intinya sebenarnya pengendalian diri. Kapan kita bisa dengan cantik melebur perasaan dan logika ke dalam kehidupan kita. Kita bisa menyalakan dan mematikan sekelar perasaan dan menggunakan sisi yang paling tepat. Menjadi sosok yang sangat profesional di pekerjaan, dingin dan penuh logika namun berubah hangat dan penuh cinta saat bersama dengan kekasih-kekasih jiwa kita... Aku hampir berada di titik itu.. 

Saat jiwa ini diperas dan diiris, aku sudah bisa menutupnya dan mengesampingkannya, untuk kemudian kugunakan logikaku untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada di depanku. Sayangnya, ini juga belum menjadi jawaban tepat dari kedewasaan yang kupertanyakan. 

Hidup ini tidak hitam dan putih, tidak pula bisa dimati dan nyalakan sesuai kebutuhan kita. Hidup kita terjalin dengan kehidupan banyak orang lain dan dalam kehidupan mereka itu terjalin pula hitam putih masing-masing. Sering kali, dalam perjalanan hubungan, posisi mati dan nyala itu tidak sesuai.. Saat aku menyalakan sisi cintaku, belahanku mematikan sisinya..maka timbullah masalah..

Lalu apa sebenarnya solusinya.. Nampaknya, seperti kata temanku dari India, bahwa kebahagiaan adalah pilihan. Sejatinya, latihan yang kita lakukan adalah untuk terus memilih menjadi bahagia. Lalu perlahan definisi kebahagiaan akan berubah, seiring usia dan pengalaman. Tidak lagi kebahagiaan itu menyangkut materi atau pun sosok manusia.. Bahagia kemudian bergeser pada pemahaman dan rasa syukur luar biasa atas kesendirian dan keutuhan diri kita pribadi. Bahagia bergeser pada kesempatan yang diberikan untuk diam di dalam kamar, merenungkan semua perjalanan dan membiarkan inspirasi baru merasuki relung. Seperti kata Rumi, mengosongkan jiwa dan memberi jalan bagi cahaya Ilahiah untuk masuk dan menerangi relung jiwa kita.

Teruslah memilih untuk bahagia, memilih untuk membiarkan cahaya Ilahi itu menerangi dan menghanagatkan kalbu kita. Teruslah untuk memilih tersenyum dan menyingkirkan semua beban yang membuat senyum itu tidak terkembang..

Teruslah memilih bahagia dan menemukan definisi bahagiamu..

Teruslah menjadi diri sejatimu..






 

Sabtu, 22 Oktober 2011

Bertahan demi kalian, Anak-anakku..

Setiap berbicara tentang pilihan untuk berpisah, perbincangan selalu mengarah ke anak-anak. Bahwa di tengah porak porandanya hati, terbelahnya jiwa, teralihnya rasa, sangatlah tidak tepat untuk mengambil pilihan berpisah. Terasa egois katanya.. 

Aku jadi ingin terbang dan berandai menjadi anak.. Apa sebenarnya yang lebih nyaman bagiku, berada di lingkungan yang bagaimana? Ada di setting yang mana?

Sosok indah yang baru tiba dalam hidupku berkata, bahwa hal terpenting dalam hidup ini adalah membuat dirimu bahagia, hanya setelah kau bahagia maka kau bisa menularkan kebahagiaan itu pada mereka di sekelilingnmu... Pernyataan menarik yang masuk dalam logikaku kini..

Lalu pikiranku melayang ke masa aku kecil.. Saat kedua orangtuaku mengambil pilihan normatif yang sama. Bertahan demi kami, anak-anak mereka, buah cinta mereka, kehidupan mereka.. Dan bagaimana aku sebagai anak, bagaimana aku berpikir, apa yag kurasakan di saat itu?

Sebagai putri kesayangan ayah, kemanjaan nenek dan kakek dan tumpuan kehidupan semua pihak, aku kebingungan. Aku yang sejak awal tidak diajarkan untuk merasa nyaman dengan kebohongan, dengan kemunafikan, begitu tersiksa melihat kedua orang yang paling dekat dengan hatiku, paling dekat dengan anganku memilih untuk menjadi dua makhluk tersiksa dalam panggung sandiwara tanpa penonton itu..

Semula aku tak paham saat pelantun berlagu "hidup adalah panggung sandiwara".. bagiku hidupku bukanlah sandiwara, dia adalah manifestasi dari perasaan, pikiran dan ide-ideku. Dia adalah wujud dari kesadaran dan kebanggaanku sebagai manusia, sebagai perempuan.

Tapi melihat mereka.. Bertahan di satu atap, bertahan di situasi menyakitkan, situasi memalukan, situasi memilukan.. untuk apa? Untuk kami? Apa yang kalian pikir kami, anak-anak pikir dan rasakan, saat melihat, merasa dan meraba luka di wajah ibu, lelah di paras ayah, luka di suara dan lantun keduanya? Apa yang menurut kalian kami rasakan, pikir dan bayangkan, saat melihat kedua orangtuanya menyunggingkan senyum palsu di depan orang asing, melantunkan kata cinta masa lalu, mendengungkan kekaguman masa dulu yang semua itu langsung pudar begitu keduanya menginjakkan kaki di rumah?

Ataukah kalian lebih mampu menyembunyikan perasaan kalian di depan kami anak-anak dibanding orangtuaku dulu? Ataukah kalian begitu yakin, kami anak-anak tidak bisa merasakan? Dari mana? Dari tatapan "bahagia" kami? Dari teriakan kanak-kanak kami? Kami memang anak-anak tapi tidak berarti kami tubuh kecil yang kosong.. Yakinkah kau bahwa kami tidak tahu? Yakinkah kau adalah tawa bahagia yang kami suarkan? Yakinkah kau adalah tatapan mata bahagia yang kami sorotkan? Ataukah hanya cara kami bertahan? Ataukah hanya cara kami memanifestasikan pemahaman kami akan hubungan kalian? Bahwa kami "tidak peduli"? Bahwa kami menafikkan luka dan duka yang berselimutm menafikkan kebingungan yang bergejolak?

Sampai usiaku menginjak remaja akhir, aku tetap bingung dan kebingungan itu membuatku kehilangan panduan dan arahan tentang apa sebenarnya sebuah "hubungan". Apa yang menjadikan sesuatu itu pantas dipertahankan? Mengapa aku perlu menjadi bagian dari sebuah hubungan? Dan sampai kini aku masih terus berlari dan mencari..

Lihat kembali anak-anak kalian, Sahabatku.. Bercerminlah di bening mata mereka.. Kejujuran kaliankah yang tampak atau ketidakpedulian mereka pada kebohongan kalian.. terutama pada hati nurani kalian..

Rabu, 19 Oktober 2011

Aku adalah ibu..

Banyak yang bertanya padaku tentang peranku sebagai ibu. Bagaimana aku memandang diriku dalam peranku sebagai ibu. Apa yang aku harapkan anakku akan lakukan di hari tuaku nanti. Ibuku pun sering berkata bahwa aku akan lebih memahami apa yang dilakukannya saat nanti aku sudah menjadi seorang ibu.

Kini aku seorang ibu, dari dua anak yang sangat aku sayangi dan aku banggakan tapi tetap, aku tak paham bagaimana seorang ibu bisa melakukan tugasnya dengan harapan anaknya akan membalas budi dan melayaninya di hari tuanya nanti. Bagiku hidupku adalah pengabdian.

Dalam urusanku dengan kedua anakku, bagiku aku lah yang berutang budi pada mereka. Berkat merekalah peluangku menuju surga diperbesar. Berkat melahirkan mereka, aku diberi peluang untuk mencium wangi surga saat kumati. Bila aku berhasil membesarkan mereka menjadi manusia berguna, maka wangi budi mereka akan menghantarkanku ke gerbang keindahan.

Bagiku semua yang kulakukan adalah karena aku.. Karena aku merindukan kasih sayang Allah SWT. Karena aku merindukan surga, merindukan keindahan itu. Jika itu yang jadi niatku, apakah pantas aku menuntut balas budi mereka?

Mereka adalah bukti cinta Allah padaku, mereka adalah anugerah yang tiada henti aku syukuri. Apakah kemudian aku menuntut anugerah itu membalas jasaku? Karena mereka adalah kebaikan maka aku menghargai dan menghormati kedua anakku dengan sepenuh-penuhnya penghargaan. Aku memandang mereka dengan penuh kasih dan kebanggaan.

Aku mencintai mereka dengan segala daya dan upayaku. Kebahagiaan mereka yang utama, keberadaan mereka yang terpenting. Aku tidak membesarkan mereka untuk tabungan hidupku di hari tua tapi untuk tabunganku di hari matiku nanti. Sangat sayang jika semua keindahan itu aku habiskan di dunia. Aku tidak melihat mereka sebagai investasi hari tua tapi investasi di kematianku.

Bagiku, selama senyum mereka masih terkembang, selama mata mereka memancarkan cinta, maka itulah senyuman dan cinta Allah padaku. 

Bagiku hidupku adalah pengabdian.. Menjadi ibu adalah pengabdian terbesar dan teragung.. dan tak ingin kunodai keagungannya dengan nila kenikmatan dunia di hari tua. Aku menghargai dan mencintai mereka karena mereka sumber surgaku..

Minggu, 02 Oktober 2011

Hidupku.. Bahagiaku

Kehidupan yang sudah Allah berikan, kebahagiaan yang sudah diliputkan, kenyamanan yang sudah dihadiahkan..namun masih saja hati ini bertanya dan berlari. 
Kalianlah Inersia hidupku..












Aku adalah cinta

Di ujung nmalam yang hangat aku mengirimkan pesan ke seorang kawan yang sudah lama tidak bersua namun selalu ada di jiwaku. Kebetulan aku akan singgah ke kotanya dan timbul inginku untuk bersua. Kawanku kemudian memberiku kabar yang mengejutkan, dia akan menjalin hidup dengan seseorang yang dia temui di jejaring internet, minggu depan. Wow!!

Lalu dia bertanya, apa yang kulakukan saat ini dan kujawab bahwa saat ini aku lebih memforkuskan diri pada karier dan kehidupanku. Menyisakan sedikit sekali ruang untuk kisah cinta, apa pun itu bentuknya. Dan cantikku itu berkata bahwa karier dan kehidupan itu tidak menjamin kebahagiaan. Bahwa dia sudah menerima fakta akan kebutuhannya pada kepemilikan seseorang. Aku membutuhkan memiliki dan dimiliki, Mbak, begitu ujarnya.

Temanku ini mengalami pernikahan yang buruk dan sejak menyadari kebutuhannya untuk keluar dari pernikahan itu, dia sudah berusaha keras mencari dan mencari pengganti sang suami yang bisa "tampak" lebih baik. Dicarinya sosok yang lebih muda, lebih kaya, lebih sayang. Dan dari pencarian demi pencarian itu, Cantikku ini terus berusaha, satu tangisan berganti dengan harapan yang lain.


Lalu apa sebenarnya yang harus dilakukan? Belahan jiwaku (yang tidak berarti kekasihku) mengatakan, bahwa ada orang yang memang membutuhkan kehadiran "seseorang" dalam hidupnya tapi ada juga yang telah merasa nyaman dalam kesendiriannya. Dan pada kehadiran, tidak berarti kita mencari dan mencari tapi membiarkan diri kita dicari. Membiarkan cinta itu datang. Hmmm.. agak bingung awalnya tapi kemudian agak terkuak..


Konsep ini terasa nyaman di kepalaku, dengan pemahamanku tentang bahagia. Bahwa bahagia berada sebesar-besarnya pada tangan kita sendiri. Dan menyerahkannya pada manusia lain hanya akan membawa duka dan nestapa. Dengan membiarkan orang mencarimu dan membutuhkanmu, berarti fokusmu bukan pada sosok di luarmu. Tapi terus menggali dan memfokuskan diri pada dirimu, pada kebahagiaanmu. Bukan menjadi egois tapi menjadi memahami, menjadi dewasa. Fokus pada bahagia.. 

Aku tahu.. sejak dulu kita diajarkan bahwa fokus pada diri sendiri adalah egois. Dan keegoisan akan berujung pada kesepian. Pemahaman itu membuat kita sibuk untuk terus mencoba membahagiakan orang lain, melupakan diri kita dan bahkan pada akhirnya mengorbankannya. Pada titik itu yang datang hanyalah mereka yang akan terus dan terus memanfaatkanmu. Menindasmu dengan dalih kebutuhan, cinta dan kasih sayang. Sudah lama aku meninggalkan pemahaman bahwa cinta itu berkorban. Bagiku, cinta bukan berkorban tapi memberi. Beri apa yang bisa diberi lalu kembali menjadi bahagia (menjadi dirimu sendiri).. Bila sudah terpancar cintamu pada diri sendiri, sudah terpancar pemahamanmu akan apa yang benar-benar penting dalam hidupmu.. Maka akan hadir sosok yang mencintai dirinya sendiri dan kemudian memahami makna memberi tanpa menuntut perubahan. Maka tidak akan ada yang bisa menggemingkan hatimu dengan luka dan air mata. Karena meski pun dia menjadi bagian hidupmu, ada dalam keseharianmu.. Dia tetap bukan penggenggam bahagiamu.

Sebagian teman mengambil jalan singkat dengan membagikan cinta dan perasaannya pada beberapa orang. Menemukan kehangatan dan kebahagiaan serta kenyamanan di pelukan madunya. Banyak di antara mereka tampak bahagia dalam pernikahannya. Bagiku itu juga bukan jawaban. Saat kau masih membagikan cinta, maka sebenarnya kau belum menemukan esensi dari sebuah cinta namun hanya berlari, berputar dan menghindar. Kau belum menemukan kesejatian dirimu, cinta yang berharga. Ya, kau adalah cinta..

Bahagia adalah kondisi bukan tujuan. Tidak ada fakta bahagia selamanya seperti di dongeng, hanya ada bahagia saat ini untuk sedih di esok hari. Kuncinya adalah menempatkan cinta itu pada porsinya. Tidak menjadikannya begitu penting bahka melebihi kepentingannya sendiri. Tidak menjadikannya satu-satunya faktor pembahagiamu, melainkan hanya bagian dari proses hidupmu. Faktornya hanya dirimu. Bahagialah dengan dirimu.. Bahagialah dengan keadaanmu.. Bahagialah dengan hidupmu..

Aku pernah di sudut itu. Mengira menyadari bahwa aku membutuhkan sosok seseorang, menjadi milik dan memiliki. Dan dari sana aku memulai perjalanan pencarian yang terus berakhir dengan air mata. Sampai akhirnya memutuskan untuk lebih fokus pada kehidupan indah yang sudah Allah berikan selama ini. Pada karier, anak, keluarga dan teman-teman. Apakah aku menyerah? Cinta itu masih terus singgah di hatiku. Godaan untuk memiliki dongeng itu masih kuat melekat dan aku masih terus tertatih dalam usahaku memahami bagaimana sebenarnya kau mencintai. Aku masih terus mencari dan melihat, membongkar dan mendobrak. Aku adalah cinta.. Aku adalah berharga.. Aku dobrak semua penghalang yang membuatku tak bisa merasakan cinta.. Cinta sejati yang tak pernah pudar.. Cinta Allah padaku di dunia ini.. Dan perlahan aku melihatnya, pada kedua anakku, pada kedua adikku, pada kalian sahabatku dan pada kehidupanku..