Senin, 04 Maret 2013

Bangun dari dunia sempurnaku..

Belahan jiwaku menemukan hidupnya yang baru. Kabar itu datang dari anak sulungku yang terkejut dibawa ayahnya melamar pujaan hatinya. Anak kecilku tidak berkata apa pun dan hanya bersikap acuh seperti biasanya.

Tinggal ibunya yang tercenung lalu menangis..

Dan aku bingung..
Apa asal rasa tersayat ini? Rasa kehilangan kah? Rasa sesal kah? Mungkinkah itu yang aku rasakan? Sedang bagiku rasa itu sudah menyurut dua tahun sebelum kami berpisah dan menyurut sampai titik batas hampir pupus..

Lalu mengapa air mata ini tidak mau dihentikan?

Sahabat konselorku membantuku menganalisa perasaanku sendiri, dari mana asal rasa itu? Dari belakang punggungmu? Terasa nyeri menusuk ataukah dari luka di dada? Menganga dan berdarah?

Oh itu aku tahu, rasa nyeri itu ada di dada depan, menganga, berdarah :( 

Lalu dikatakan bahwa bukan, bukan karena merasa dikhianati tapi merasa diremehkan..

Ya, benar...

Bagiku, dalam benakku yang masih ketakutan membayangkan sebuah pernikahan, jika suatu saat nanti TUHAN menggerakkan hatiku untuk menikah kembali, aku melihat begitu banyak langkah yang perlu aku lakukan, terutama untuk menjaga hubungan baik dengan ayah anak-anak dan menjamin hati anak-anak bahwa perceraian bukan berarti akhir dari hubungan orangtua antara kami dengan mereka.

Seharusnya ada diskusi antara kami dengan anak-anak, mempersiapkan dan membicarakan perasaan serta ketakutan mereka. Karena hidup ini bukan lagi milik kami sendiri, melainkan juga milik anak-anak. Ketakutan mereka lebih penting dibanding ketakutan kita. Begitu kita memutuskan untuk menikah, berarti kita udah memahami dan siap menghadapi ketakutan kita tapi bagaimana dengan anak-anak? Mereka yang masih terluka dan tersakiti oleh perceraian dan perpisahan kami, jelas membutuhkan lebih banyak persiapan. Berapa banyak dari mereka yang beruntung bisa memahami alasan perpisahan kedua orangtuanya? Kebanyakan dari mereka berada pada tahap menerima, karena merasa itu bukan hidup mereka. Karena melihat itu di luar kuasa mereka.

Seharusnya ada diskusi antara kami dan calon keluarga baru tersebut, karena kami akan menjadi satu keluarga besar, terikat oleh anak-anak. Karena masih-masing dari kami akan menerima tanggung jawab besar, menjadi bagian penting dari kehidupan anak-anak yang bukan berasal dari mani atau rahim kami. Perlu ada perkenalan secara dewasa untuk menunjukkan pada ibu atau ayah kandung (mantan istri/suami) bahwa kita tak hanya datang dan merengguk hidup dengan sang mantan tapi menerima seutuhnya kehidupan pasangan kita di masa lalu.

Kemudian perlu ada pertemuan antara sang calon dengan anak-anak. Pendekatan yang sangat rapuh dan hati-hati. Memahamkan bahwa kehadiran kita bukan hendak menggantikan ibu atau ayah kandungnya, melainkan menjadi ibu tambahan, teman, saudara dan segala yang indah yang akan membuat keluarga kecil unik kami menjadi lebih kaya, Bahwa kehadiran kita bukan ancaman tapi memperkaya. Lalu dibuatlah diskusi kecil menyatukan dua keluarga baru, acara menyenangkan dan santai yang mudah dipahami kedua anak kami

Dan aku melenguh..

Konselorku mengajakku bangun dari hidup sempurnaku. Bahwa sudah saatnya aku berhenti berusaha membuat segalanya sempurna karena sebuah hubungan berlaku dua arah. Tidak bisa dan tidak akan bisa aku berjuang sendiri mendekatkan anak-anak dengan ayahnya apabila sang ayah tidak memahami pentingnya semua bentuk komunikasi ini dan juga tidak mampu melihat dampak dari semua masalah itu bagi anak-anak.

Dan aku merunduk pilu..