Minggu, 25 Januari 2015

Siapakah Kami Bagimu...

Lia                   : Who can stand this, ya? When money banyak, you go and chase pussy all over Jakarta. Indonesia, Afrika, all kind. You enjoy, pay for her everything but when things gone bad. Sudah sakit begini, no body wants to take care of him. All call me. Enak aja.
                        
                    Kau mungkin tahu, Ariana, Jonah juga pasti tahu. Itu pelacur Sierra Leon, dia juga sering dibawa ke gerejamu kok. Ada kok fotonya sama Jonah dan latar belakangnya gerejamu. Masa kau gak tahu, Ariana? Coba kau lihat chat mereka di FB. Kau lihat, tuh cewek selalu manggil duluan (sambil membuka lama FB kekasihnya). Lihat, dia bilang “apa adikmu tidur?” ini ngomongin barang dia, Ariana. Tuh lihat, dia bilang “I love you” segala. Maaf ya, Ariana.  Tapi sampai hari ini, sudah tiga hari Andy tergeletak seperti ini dan dia sama sekali gak muncul. Adiknya kemarin muncul dan waktu aku berikan resep dokter yang kudu ditebus, dia langsung ngibrit hahahaha Takut dia, Dik. Takut kudu ikut biayai kali. Padahal resep yang aku kasih murah banget, paling cuma seratus ribu rupiah.

Aku hanya bisa tersenyum kecil sembari memandangi kekasihku yang dengan wajah kuyu lelah dan prihatin memegang tangan teman senegaranya itu. Andy, kekasih mbak Lia, adalah satu teman dekat Jonah di negara ini. Mereka sering beroperasi berdua. Aku sendiri kurang suka dengan pertemanan mereka, karena Andy memang sangat doyan minum dan juga perempuan. Setiap kali Jonah beroperasi dengan Andy, hampir bisa dipastikan akan terdengar suara kikik perempuan di latar belakang. Mereka akan beroperasi dengan seks dan merayakan keberhasilan dengan minuman keras dan seks lagi.

Sekitar 8 bulan yang lalu, aku mengirimkan pesan singkat ke Andy dan kekasihnya. Meminta mereka untuk berhenti berbicara denganku. Aku lelah mendengarkan kata-kata terlalu positif dari Andy tentang kekasihku dan kemudian semua keburukan tentang kekasihku dari kekasihnya. Semua suara itu membuatku bingung dan membuat hubungan kami memburuk hingga Jonah menghajarku. Sejak itu Andy menolak berbicara denganku, Lia bahkan memaki-maki aku di depan Jonah. Dan hubungan kami pun berhenti.

Saat ini Andy tengah terbaring lemah, stroke melanda dan melumpuhkan tubuh kirinya. Lelaki bertubuh besar ini berbaring gelisah. Mulutnya terus menceracau akibat tekanan darah di otaknya. Lelaki ini tampak lusuh, kotor dan lemah. Segala marahku sirna. Aku hanya melihat lelaki lemah, sendiri, tak berdaya dan dia berada di kotaku, di negaraku.  Tangan kirinya yang tak bisa digerakkan, ditusuk jarum infus yang bahkan pacarnya pun tidak bisa menjelaskan untuk apa. Aku yang terbiasa bertanya tentang segala hal, sama sekali tak bisa memahami, mengapa dia bisa membiarkan begitu banyak benda masuk ke tubuh pria yang dia cintai tanpa dia tahu apa nama dan bahkan guna apa lagi dampaknya.

Kak Lia tampak sangat tua, sangat lelah. Sudah tiga hari tiga malam dia ada di rumah sakit ini, menemani kekasihnya. Kekasihnya ini terjatuh dalam diam ,setelah beberapa hari sibuk bersenang-senang, mabuk sampai pagi dan tidak mengindahkan perasaan sang perempuan. Dia baru selesai melakukan perjalanan ke Malaysia bersama perempuan Afrikanya (entah bagaimana aku harus mendefinisikan perempuan ini) menikmati seminggu penuh kemesraan sambil membiarkan perempuan yang mendampinginya selama 3 tahun di Indonesia dalam kegelapan. Dan perempuan ini hanya bisa diam dan menangis, seperti kebanyakan perempuan lain yang ada di sisi para pria Afrika.

Lia                   : Dua hari setelah Natal, anak-anakku menunggu Andy untuk datang. Tapi Andy tidak datang dan tidak menelepon. Waktu aku telepon, dia malah memaki-makiku dan kemudian mematikan teleponnya. Aku sakit, Dik. Aku gak peduli kalau dia hanya menyakiti hatiku, tapi ini menyangkut anak-anakku. Mereka tidak berhak disakiti. Mereka tidak pantas dilukai. Mereka gak tahu apa-apa, Dik dan mereka sudah diabaikan oleh ayah kandung mereka. Tapi aku diam saja, Dik. Aku jemput dia saat tengah mabuk berat. Semua bilang aku harus datang karena Andy bertingkah aneh.

Dia selalu bilang gak punya duit, tapi semua foto perempuan brengsek itu selalu nampak mereka sedang bersenang-senang. DI pantai lah, di restoran lah. Semua hanya menghamburkan duit.

Cewek Sierra Leon tuh, Ariana, kalau di sini gak ada kerjaan. Mereka gak ikut bisnis seperti para lelaki ini. Gak jualan di Tanah Abang, apa lagi coba yang mereka kerjakan, selain jual pussy-nya. Mereka ini kan cuma cari lelaki Afrika yang cukup goblok untuk mau ngurusin mereka. Gimana gak goblok, Dik. Punya cewek Afrika di luar negeri berarti kudu ngurusin juga kan? Emang kita, Ariana. Bisa urus diri sendiri? Mereka mah kudu dibayarin VISA, belum sewa rumah di sini, makan, kirim uang ke Afrika. Andy aja bego. Ariana cuma mau cari pussy aja. Padahal juga apa bagusnya kan?

Ariana          : Lalu kenapa Andy melakukannya, Kak? Untuk apa dia mencari cewek Afrika?  Kenapa gak cari cewek lokal aja kalau memang mau main-main?

Lia                   : Karena membanggakan buat mereka, Dik. Punya cewek Afrika itu membanggakan. Sekarang coba? Kita kan yang kelimpungan? Kenapa coba saat senang dia ingatnya nomor cewek-cewek lain? Kalau susah, kenapa nomor kita yang dia putar?

Teriakan perempuan ini sebenarnya mewakili begitu banyak perempuan lain yang tengah berhubungan dengan pria Afrika di Indonesia. Siapakah sebenarnya kami ini di mata mereka? Siapakah sebenarnya kami ini di dalam hubungan dengan mereka?

Selama di Indonesia dan di negara mana pun di dunia, mereka membutuhkan perempuan untuk menjadi teman tidur, untuk menemani dan mengurus keperluan fisik mereka selama mereka jauh dari keluarga. Tidak  hanya seks, namun banyak kebutuhan lainnya.  Kebanyakan, di awal hubungan akan dijanjikan pernikahan di ujung hubugan. Sesuatu yang masih sangat didambakan oleh kebanyakan perempuan di dunia. Dengan berbekal mimpi akan dinikahi, akan diajak menemui keluarga di Afrika, para pria ini menjerat perempuan-perempuan di dunia. Bagaimana jeratan ditabur? Tergantung bagaimana ikan yang akan dijerat. Mereka bisa berubah menjadi apa pun yang diinginkan perempuan ini, ya, karena mereka menebarkan ilusi, mimpi dan bukan sejatinya dirinya.  Tapi apakah mimpi itu ada?

Beberapa teman Afrika sebangsa Jonah pernah berkata bahwa pria Afrika akan menikahi perempuan Indonesia yang membantunya dalam bisnis. Perempuan yang membantunya mendapatkan banyak uang. Dan kebanyakan perempuan ini juga menikahi sang pria karena tidak mau pria ini membagikan uangnya ke perempuan lain. Pria Afrika kebanyakan hanya akan menikahi perempuan dari negaranya, karena di sini dia tidak bisa berinvestasi dan menginvestasikan uang atas nama perempuan lokal sangatlah beresiko. Begitu banyak kisah pria Afrika yang dihabiskan hartanya oleh perempuan yang sudah menjadi kekasihnya. Namun aku juga tidak bisa menyalahkan para perempuan ini. Banyak dari kami yang sudah dirusak oleh gaya hidup dan pemahaman materialistik para pria Afrika ini. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan muda dari keluarga sederhana dan pendidikan yang rendah. Kepada mereka diperkenalkan kemewahan yang disebutkan didapat dari “permainan” mereka. Betapa mudah sebenarnya mendapatkan uang dan betapa manisnya kehidupan saat kita punya uang banyak. Mereka inilah yang “beruntung” dinikahi para pria Afrika. Keduanya kemudian menjalani kehidupan yang mewah di satu saat dan kemudian miskin di saat yang lain. Meski sedang miskin, para pria Afrika ini tetap hidup di atas standar miskin Indonesia. Mereka tinggal di apartemen, berkeliling menggunakan taksi, minum bir hampir tiap malam, memegang HP mewah dan berpakaian keren serta wangi.

Aku sudah menemani Jonah selama 3 tahun, dan tidak sekali pun aku terlibat dalam permainan-nya. Di awal pertemuan aku sudah menyatakan bahwa aku belum tertarik untuk menikah dan apabila Jonah memang menginginkan pernikahan, lebih baik kami tidak memulai apa pun, karena aku tahu aku akan jatuh cinta dan juga akan terluka. Tapi Jonah tetap meminta kami bersama, dia mengatakan juga tidak tertarik untuk menikah. Dua tahun berlalu dan Jonah mulai menjejaliku dengan kebaikan-kebaikan ibu dari anaknya di Afrika dan betapa dia pantas dinikahi sementara aku tidak. Berulang Jonah menyebutkan betapa dia tidak akan pernah bisa menikahiku. Selalu saja digunakan fakta bahwa aku pernah bercerai sebagai alasan. Katanya dia tahu aku akan pergi begitu ada masalah, dia tak peduli betapa aku memerlukan waktu 14 tahun sebelum memutuskan bahwa aku harus keluar dari pernikahanku. Dalam setiap pertengkaran kami, dia selalu meyebutkan kebaikan perempuan itu dan menyatakan cinta luar biasanya kepada perempuan ini dan aku selalu terpuruk diam dan menangis.

Setiap Jonah mengalami masa buruk, pikiranku melayang.. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalaku. Siapakah kami ini? Saat harus dihadapkan pada situasi seberat ini, bagaimanakah kami harus bersikap? Apakah menjadi pacar sementara, seperti yang selalu didengungkan oleh Jonah di telingaku? Lalu apakah seorang pacar sementara akan meluangkan waktu dan tenaganya demi menjaga dan menyelamatkan lelaki pasangannya? Apakah kami harus mengorbankan segalanya saat bahkan posisi dan status kami tidak jelas? Saat Jonah mengalami masalah di imigrasi, siapakah aku hingga aku harus melepaskan semua urusanku demi membantu dia menyelesaikan masalahnya? Saat Andy terbaring lemah dan sakit, siapakah kak Lia,  hingga dia harus mengorbankan segala waktunya untuk lelaki yang bahkan di saat uang datang, hal pertama yang dia lakukan adalah pulang ke negaranya, sendiri?

Kami di sini untuk menemani para lelaki ini berjuang. Kami ada saat mereka tidak punya uang sama sekali, menemani saat mabuk, menemani saat sakit, menemani saat dia marah-marah akibat stres tekanan kebutuhan di sini dan di Afrika, menelan ludah saat dia ketahuan berselingkuh, menelan marah saat kata-kata mereka menjadi kasar akibat mabuk. Menutup mata melihat semua pesan mesra di FB, Badoo, WA, LINE dan banyak alat komunikasi lain, karena kita tidak tahu mana klien dan mana yang dia rencanakan untuk menjadi kekasih berikutnya. Menelan ludah dan menahan hati saat dengan bangga dia memasang foto perempuan Afrikanya, memuja bak dewi dan menyebutnya pasangan hidup, sementara semua sakit kami yang rasakan, kami yang tanggung. Lalu saat uang datang, mereka bergegas pulang, bersenang-senang di negaranya dan berharap kami menunggu, menghormati dan setia?

Sampai tahun ketiga kami bersama, aku tidak pernah bisa memahami konsep hubungan ini. Tiap tahun Jonah pulang, aku selalu mengatakan bahwa ini adalah akhir hubungan kami. Bahwa dia sudah menemukan kekasihnya dan aku tahu betapa aku sangat mudah untuk digantikan, maka aku rela digantikan. Bagiku, aku tidak melihat Jonah sebagai pasangan sementara. Bagiku dia adalah kekasihku, pasanganku, mitraku, orang yang sangat aku kasihi, yang sangat aku cintai, aku hanya tahu satu bentuk cinta. Tapi aku tidak pernah bisa memahami apa yang dia inginkan dalam hubungan kami. Dia seolah memisahkan kehidupannya di Afrika dengan kehidupannya di Jakarta. Well itu juga bisa dilakukan, tapi kudu konsisten. Jangan pernah kau menceritakan kehidupan Jakarta mu kepada dia di Afrika seperti kau putuskan hubunganku dengan semua keluargamu di Afrika.

Mungkin memang benar, aku terlalu naif untuk bisa memahami bentuk hubungan seperti ini. Kebanyakan perempuan yang berhubungan dengan pria Afrika akhirnya beradaptasi. Mereka melihat si lelaki hanya sebagai sumber kesenangan. Karena itu mereka melindungi si sumber dengan segenap kekuatan. Mereka akan menendang, mencakar, menghancurkan perempuan lain yang berusaha merusak sumber ini. Tak peduli dengan apa yang ada di negara lain, selama “kebutuhan” mereka terpenuhi. Mereka menerima lelaki lain sebagai teman bermain, karena tekanan hubungan begitu kuat dan untuk apa setia? Toh hubungan ini tidak akan membentuk apa pun. Kebanyakan dari mereka kemudian terjebak dalam kehidupan bersenang-senang, melompat dari satu pelukan ke pelukan yang lain, menikmati kehidupan bebas dan penuh kesenangan duniawi. Aku pernah hampir terjatuh ke dalam kehidupan itu. Aku tidak memandang lelaki Afrika sebagai lelaki, melainkan hanya sebagai sumber kesenangan. Lelaki Afrika menyenangkan, karena mereka membutuhkan perempuan paling tidak untuk seks. Dalam kebutuhan itu, mereka akan menempatkan diri di bawah si perempuan, berusaha keras membuatnya bahagia, setidaknya di saat itu. Berbeda dengan pria Kaukasia, mereka terlalu percaya diri. Terlalu yakin rasnya tertinggi dan akan selalu didambakan oleh ras yang lebih rendah.

Dan aku tercenung...

Kakaku yang baik, kau begitu terberkati. Kau diberi kesempatan untuk menunjukkan baktimu pada TUHAN. Seperti yang selalu aku katakan pada diriku sendiri, tiap kali aku harus melalui api demi menemani Jonah di negara ini. Aku melakukannya untuk TUHAN. Karena hanya DIA yang tidak akan pernah mengecewakanku. DIA melihat semua usahaku untuk menemani dan berlaku baik pada lelaki yang DIA kirimkan ke kehidupanku. Aku tahu tiap manusia punya tujuan saat dia hadir dalam hidup manusia lain. Aku punya tujuan saat hadir di kehidupan Jonah, begitu pula Jonah punya tujuan saat hadir di kehidupanku. Meski peluangku tampak sangat kecil, bahkan hampir tak munkin. Meski dalam pikiran logika aku tampak bodoh dan memperjuangkan sesuatu yang tak mungkin, tapi aku tahu TUHAN bisa mengubah segalanya. Berkali-kali TUHAN menolongku di saat sempit, berkali pula DIA menunjukkan kuasa-NYA dalam perkara-perkara kecil. DIA ingin aku mempercayai-NYA untuk perkara yang lebih besar.

TUHAN, aku tidak tahu ke mana arah hubungan kami dan kurasa itu bukan bagianku. Bukan urusanku. Itu adalah pekerjaan-MU. Tugasku hanyalah memastikan semua langkahku sudah sesuai dengan petunjuk-MU. Bahwa aku memberikan cinta sesuai dengan apa yang kau inginkan, bahwa aku berbuat baik sesuai dengan kebaikan-MU padaku.  TUHAN-ku, KAU tahu hatiku, KAU tahu tangisku dan KAU akan mengubah segala tangisku menjadi senyuman.

Demikian juga kau, Kakakku Sayang. TUHAN akan membayar lunas semua peluhmu untuk lelaki yang kau cintai. DIA akan menggantikan semua lukamu dan sakitmu dan DIA akan turun tangan untuk segala perkara dalam hidupmu..

Malam itu, Jonah memelukku erat..
"Ariana, I love you.." Dan aku kembali terhanyut.. TUHAN, aku mencintai lelaki ini.

Jumat, 09 Januari 2015

Debar Tahunan

Hari ini aku gelisah luar biasa. Hal biasa kalau bulan sudah masuk ke Oktober. Bukan, bukan karena sebentar lagi Natal, bukan karena sebentar lagi Tahun Baru atau karena ulang tahun kebersamaan kami, tapi karena sebentar lagi VISA bisnis Jonah akan habis masa berlakunya dan sekali lagi, seperti tahun-tahun yang lalu, aku harus berurusan dengan para Agen pengurus Visa ini.  Dan sungguh, bulan-bulan ini adalah bulan yang membuat jantung habis berdenyut kencang dan air mata terkuras habis.

Tahun pertama aku berkenalan dengan tata cara pengurusan visa bawah tangan adalah saat Jonah terpaksa harus menyerahkan urusan ini padaku. Saat itu Agen yang dia gunakan untuk mengurus VISA gagal memberikan Telex dari Imigrasi dan membuatnya terdampar di Bangkok selama 2 minggu. Tak ada pilihan lain, Jonah memintaku untuk melakukan sesuatu agar dia bisa kembali masuk ke Indonesia. Aku bingung.. Selama ini aku selalu hidup dengan aturan yang ketat, aku tidak suka melanggar aturan apa pun. Aku tergolong kaku untuk urusan satu ini tapi kini kekasihku memintaku untuk melihat apa yang bisa aku lakukan. Sampai hari itu aku bahkan tidak tahu, izin tinggal apa yang  mereka gunakan, bagaimana mengurusnya, siapa yang mengurusnya.. Aku sama sekali buta. Tapi jelas aku tidak mau Jonah terlantar di Bangkok, aku tidak mau dia tidak bisa masuk ke negara ini, aku tidak mau kehilangan pria yang saat ini menjadi sangat penting dalam hidupku. Dia kekasihku, rajaku, pelindungku.

Secara natural aku mencoba mencari tahu apa yang bisa kau lakukan sesuai aturan yang berlaku di negaraku ini. Sebagai perempuan berpendidikan dan berpengalaman kerja cukup panjang, bukan hal sulit bagiku untuk mencari koneksi di Imigrasi dan menanyakan secara gamblang apa yang bisa aku lakukan untuk mengundang calon suamiku ini ke Indonesia dan jawabannya sangat mengecewakan. Aku diminta untuk berpikir ulang tentang hubungan kami. Dan apabila aku melanjutkan keputusanku untuk mengundang lelaki ini ke Indonesia, pihak Imigrasi akan benar-benar mempersulit prosesnya. Proses normal akan membutuhkan waktu 3 bulan dan izin tinggal hanya bisa diberikan untuk 1 bulan. Tuhan..

Akhirnya aku menghubungi salah satu kawan Afrikaku di gereja, aku tahu mereka pasti menggunakan jalur yang sama dengan kekasihku untuk mengurus izin tinggal mereka. Aku sampaikan aku membutuhkan bimbingan, aku minta dipertemukan dengan agen pengurus izin tinggal mereka di Indonesia. Aku ingin tahu bagaimana prosedurnya dan berapa biayanya. Ya, aku perempuan yang terbiasa berpikir dengan cara memahami masalah, menganalisa peluang lalu membuat rencana tindakan. Aku tidak biasa terjun tanpa memahami apa yang terjadi, dan bergantung sepenuhnya pada perlindungan lelaki.

Seorang teman Afrika dari negara yang berbeda dengan kekasihku membawaku ke seorang Agen yang juga berasa dari Afrika. Lelaki ini sudah bertahun-tahun berada di Indonesia dan bahkan sudah memegang paspor Indonesia. Dia sudah sangat dikenal di kalangan kaum Afrika di Indonesia dan bahkan di luar negri. Posisinya sebagai sesama Afrika memberinya keuntungan, karena mereka yakin sesama Afrika tidak akan merugikan atau mencelakakan saudaranya. Sebuah persepsi yang sangat amat keliru..

Singkat cerita, aku dibawa ke kantor Darameh yang berada di sudut wilayah yang dikenal sebagai wilayah kulit hitam di Jakarta. Di kantor berbentuk Ruko 2 lantai tersebut, Darameh menempati ruangan 4X6 di lantai bawah. Ruangan itu dia sekat dengan kubik kaca untuk membedakan antara ruangannya dan ruangan umum untuk tamu dan pegawai lainnya. Di kantor tersebut, Darameh menggantung baju-baju agar di mata orang luar dia tampak sebagai pengusaha legal yang berdagang pakaian, seperti stereotipe kulit hitam di Jakarta. Kalau bukan berdagang baju ya pemain bola hehehehe.. Pegawainya sebenarnya hanya satu perempuan muda yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris pribadinya. Perempuan ini mengurus segala sesuatu di kantor Darameh. Dia yang setiap hari akan selalu ada sementara bosnya berkeliling mengurus segala urusan bisnis kantor kecil ini. Perempuan ini berjilbab, tampak sudah berusia 25 tahunan, pendek dan agak berisi. Dia tampak riang dengan bahasa Inggris yang dicampur bahasa Indonesia, dia menyapa orang-orang kulit hitam yang datang silih berganti ke kantor kecil itu. Para lelaki Afrika ini memang sangat suka berkelompok, entah karena mereka berada di tanah rantau ataukah sudah  merupakan kebudayaan asli mereka. Tapi satu saudara yang memiliki kantor, maka dia akan menjadi tempat berkumpul para lelaki Afrika lainnya. Kebanyakan mereka berkelompok menurut negara asal. Pernah seorang lelaki dari Sierra Leon bercerita padaku tentang pengalamannya pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta. Dia mendarat di Jakarta pukul 9 malam, tanpa tujuan, dengan uang hanya 40 dolar di saku dan tanpa siapa pun yang dia kenal di negara asing ini. Tapi itu  bukan hal baru bagi para pengelana ini. Bagi mereka, perjalanan ke negara lain adalah perjalanan Iman. Dia hanya berdoa, membiarkan TUHAN memilihkan tujuan langkahnya kemudian terbang dengan keyakinan bahwa TUHAN akan mengurus mereka di tempat tujuan.

Lelaki ini meminta supir taksi mengantarkannya ke tempat berkumpul orang Afrika di Jakarta. Dia tahu, langkah pertama adalah mencari saudara senegara, dia akan membantunya memulai hidup di negara asing ini. Supir taksi mengantarkannya ke daerah tempat Darameh berada, karena malam sudah larut, wilayah itu pun mulai sepi, beruntung seorang pria dari negara lain melihatnya berdiri di tepi jalan dengan koper di tangan. Dia dibawa ke kantor Darameh dan diizinkan untuk tinggal bersama salah satu lelaki di rumah kost-nya dengan catatan dia harus datang setiap hari ke kantor Darameh dan membantu membersihkan ruangan. Chris (Sebut saja begitu) tahu, ini konsekuensi dari hidup dengan saudara yang bukan senegara, posisi dia memang harus merendah. Sudah beruntung dia bisa ditampung di sana.

Kantor Darameh selalu dipenuhi oleh para lelaki Afrika dari bangsanya, sang istri, yang juga perempuan Afrika, dengan setia datang di jam makan siang dan makan malam, membawakan makanan untuk semua pria yang ada di kantor. Negara ini biasanya memiliki istri yang sangat patuh dan buta huruf. Mereka hidup berkelompok di satu wilayah dan cukup tertutup. Meski pemampilan mereka sangat mencolok dibanding sekitarnya, tapi jarang sekali kita bisa melihat mereka di tempat umum. Biasanya para pria menyediakan semua kebutuhan wanita agar kaum wanita ini tidak perlu keluar dari rumah mereka. Tugas mereka hanya mengurus rumah dan anak, selanjutnya adalah bagian dari lelaki. Sebuah pembagian peran yang sangat tradisional dan berjalan dengan lancar di tengah hiruk pikuk modernisasi di Jakarta. Para lelaki di kantor ini akan saling tanggung menanggung  biaya makan, sedangkan mereka yang saat itu sedang tidak memiliki uang boleh menikmati makanan secara gratis. Hidup seperti ini yang membuat mereka bisa bertahan hidup di mana pun. Segalanya dibagi bersama, baju, properti seperti TV, HP dan bahkan kadang perempuan.

Teman Afrika-ku memperkenalkanku kepada Darameh, seorang pria kecil kurus berwajah alim. Darameh memiliki reputasi yang baik di kalangan teman sebangsanya, kebetulan aku punya beberapa sahabat dari bangsa ini dan mereka semua merekomendasikan pria ini. Dia berpenampilan sederhana, tidak seperti Jonah yang selalu tampak perlente. Tidak ada aroma harum yang menguar dari tubuhnya, hanya bau jalanan akibat perjalanan dengan ojeknya tadi. Berbicara dengan Darameh tidak terkesan cerdas atau pun perlente, dia menggunakan kalimat-kalimat sederhana yang sesekali ditingkahi dengan bahasa Indonesia jalanan. Bahasa yang kurang suka aku gunakan.

Aku duduk di depan Darameh, dibatasi meja kerja besar di dalam ruang kantor Direkturnya. Teman Afrika-ku duduk di sampingku dan sibuk menjelaskan mengapa dia membawaku kemari. Darameh memandangiku dengan penuh selidik, sambil tersenyum penuh arti (yang sampai detik ini, 2 tahun kemudian, aku masih tidak tahu apa makna senyumnya). Aku tahu bagaimana orang Afrika memandang perempuan Indonesia, aku tahu stigma apa yang mereka miliki pada kami, aku tahu pentingnya tampil menawan dan melepaskan diri dari stigma buruk tersebut. Karena itu aku sengaja menggunakan baju kerja yang rapi dan duduk dengan sangat sopan, mata memandang lurus ke mata Darameh (sesuatu yang bagi  mereka tidak biasa, karena perempuan tidak boleh memandang mata lelaki saat dia berbicara). Mike (teman Afrika-ku ini) memperkenalkanku sebagai temannya di gereja, dan aku membutuhkan bantuan Darameh untuk mengurus surat tinggal suamiku yang berkebangsaan N. Dia menyebutku ibu yang baik dan belum pernah mengurus hal ini sebelumnya. Aku hanya duduk tegak dan mengangguk dengan anggun atau setidaknya kurasa anggun.

Darameh berkata bahwa memang ada orang dari negara kekasihku yang datang mengurus surat padanya, tapi karena telex visa belum juga keluar di saat yang dijanjikan, Darameh mengembalikan uang lelaki itu dengan janji akan dibayarkan kembali saat telex keluar. Darameh menunjukkan selembar kertas permohonan Visa dengan nama Jonah di atasnya, dalam hati aku terkejut. Tapi sebagai perempuan dari pria Afrika yang bergelut di bisnis ini, aku sudah terbiasa menyembunyikan fakta bahwa aku mengenal kekasihku. Sering kali akan lebih aman bagiku untuk berpura-pura tidak mengenal, sehingga resiko hukumku berkurang.

Darameh lalu berbicara seolah sudah tahu bahwa aku datang untuk lelaki ini 
dan menjelaskan panjang lebar bagaimana kekasihku menjadi panik dan sangat marah.. Hmmm itu memang kekasihku, aku sangat mengenal temperamen panas dan mudah paniknya. Bagi dia dunia ini cepat sekali runtuh, segala masalah sering kali dipandang sebagai pertanda dari TUHAN yang menunjukkan bahwa dia tidak seharusnya berada di situasi itu. Baginya jalan TUHAN haruslah mudah dan mulus. Setiap masalah yang timbul, itu bisa menjadi tanda bahwa TUHAN tidak menginginkan dia berada di sini. Hmm terlalu sederhana.. sebenarnya TUHAN menempatkan masalah di jalan kita agar kita bisa lebih menghargai jalan tersebut saat kita ada di ujungnya. Karena pertanda dari-NYA bukanlah kemudahan, tapi kelegaan hati, kedekatan kita pada-NYA dan kedamaian yang kita rasakan. Meski jalan itu terasa mudah dan lapang, namun apa bila itu membuat kita lupa akan kekuatan dan peran-NYA, maka itu bukanlah jalan TUHAN.

Selama empat hari kemudian, aku duduk di ruangan itu selama 2-3 jam, mendengarkan Darameh yang terus memberiku alasan demi alasan tentang kenapa sampai hari itu telex untuk kekasihku belum juga muncul. Dan aku harus duduk diam, menekan marah dan perasaan tidak nyaman karena harus berada di tengah sekitar 10 pria Afrika tanpa kekasihku di sana. Sementara di Bangkok Jonah terus mabuk dan tiap malam melontarkan hinaan dan cacian karena ketidakmampuanku mengurus hal ini.

Darameh menyebutkan bahwa perusahaannya telah mengirimkan surat permohonan sponsor Visa bisnis ke pihak Imigrasi dan saat ini “bos” (demikian dia menyebut kontaknya di imigrasi) sedang mengurusnya. Sang “bos” perlu menandatangani surat persetujuan permohonan sponsor sebelum kemudian imigrasi mengirimkan surat pendaftaran visa ke kedutaan Indonesia di negara yang hendak dituju oleh penerima sponsor. Bisa Thailand, Malaysia, Singapura atau mana pun di Asia. Setelah itu pihak kedutaan akan mengirimkan surat rekomendasi ke Kehakiman yang kemudian mengirimkan persetujuan atas permohonan tersebut. Maka Imigrasi akan mengirimkan telex ke kedutaan dan si penerima sponsor diminta datang ke kedutaan Indonesia di negara tersebut dan menukarkannya dengan visa di paspor mereka. Untuk itu mereka harus membayar 100 USD. Menurut Darameh, saat ini aplikasi kekasihku sudah ada di meja si “Bos” dan menurut pembicaraan terakhirnya dengan si “Bos”, surat Jonah akan keluar besok. Dan kisah yang sama akan dia sampaikan keesokan harinya dan keesokan harinya.

Di hari kedua pertemuan kami, aku bertanya kemungkinan apa yang bisa terjadi, bagaimana aku bisa mengatasinya. Aku sampaikan bahwa aku bukan tidak percaya, tapi aku suka menyiapkan rencan-rencana pendukung untuk berjaga apabila rencana awal kami gagal. Aku tidak suka kejutan, aku suka apabila aku sudah memperkirakan lebih awal. Risk assesment kalau bahasa kerennya, dari sana baru aku melakukan risk mitigation.. hehehehe Untuk pertanyaanku itu, Darameh berkata aku tidak perlu cemas, karena dia juga tidak ingin surat ini gagal (belakangan aku tahu semua agen akan mengatakan hal yang sama meski kenyataannya jauh berbeda).

Darameh             : Don’t worry my Sister. Your husband will get his Telex. I also don’t want to spoil my name. I have done this for more than 10 years and I have a good reputation. That was why I told your husband to keep his money until I can give him his letter.

Me                       : I am sorry Sir, but what should we do if the letter did not come out? I need to know what steps we need to take. We don’t have money right now, and I don’t want to make him trapped into any bad situation. This is very important for us.

Darameh             : I will give him 1 month entry because once they deny my application, he have to apply using different sponsor.

Me                       : No, Sir, I don’t think one month is enough. You see, we need to start the process again, and as you said, it will take us another month. And we also need to find money, for him to fly to Bangkok the second time. I think at least he needs 2 months.

Darameh             : It will not happen, but yes, I will give you 2 months.

Me                       : Wow, thank you. Excuse me, Sir, may I know how much I should pay for the letter? Again we are not rich so we need to prepare for every thing.

Darameh             : Oh Sister, I will give you the letter for free. It is a compliment because I have let my client down and I have failed to do my job.

Me                       : Wow, thank you.

Dengan janji itu, aku merasa tenang. Setidaknya aku tahu Jonah akan tetap bisa masuk dan masih punya cukup waktu untuk mengurus visa lagi.
Hari ke hari aku lewati dengan duduk di kantornya, mendengarkan kisah-kisahnya. Aku diam menyimak dan tersenyum sopan, meski hati terasa lelah dan capek. Tuhan, aku hanya ingin kekasihku bisa masuk kembali ke Indonesia dengan selamat. Aku hanya ingin dia segera kembali, karena di sana aku tahu, dia akan sibuk “hang out” dengan teman-teman lamanya dan mabuk sampai pagi. Izinkan dia pulang, Tuhan, jangan biarkan dia kembali ke kebiasaan lamanya.

Hari keempat akhirnya Darameh mengirimkan email langsung ke kekasihku di Bangkok dan betapa terkejutnya kami saat melihat bahwa telex undangan tersebut hanya untuk 1 bulan tinggal. Kekasihku sangat marah dan kebingungan. Tapi dia memutuskan untuk tetap datang karena tidak ada yang bisa dia lakukan di Bangkok. Biaya hidup di Bangkok juga jauh lebih mahal dibanding di Jakarta. Sebenarnya ya lebih karena di sana dia hanya bersenang-senang, mabuk tiap malam dan bercengkrama dengan kekasih lamanya. Ya, Jonah pernah 2 tahun tinggal di Bangkok, tentu dia punya mantan pacar atau bahkan mungkin perempuan yang diam-diam masih dia pacari di belakangku.

Aku sebaliknya, merasa sangat marah dan dipermainkan. Aku mencoba menghubungi Darameh lewat nomor telepon yang dia berikan padaku, tapi tidak pernah dia angkat. Semua pesan singkat yang aku kirimkan tidak pernah dia balas. Padahal, aku sebagai perempuan jawa tidak akan pernah bisa mengirimkan atau mengatakan pesan-pesan marah dan kasar, dengan sopan aku meminta penjelasan mengapa surat yang keluar tidak seperti yang dijanjikan. Bahkan apabila surat permohonan setahun visa Jonah ditolak, Darameh berjanji akan memberikan surat masuk untuk 2 bulan dan bukan 1 bulan. Akhirnya aku meminta tolong Mike untuk menghubungi Darameh dan bertanya mengapa. Tidak mungkin bagiku untuk datang ke kantor Darameh lagi. Jonah sudah mendengar bahwa aku mendatangi Darameh, dan memintaku untuk tidak datang ke sana lagi.

Mike kemudian menghubungiku, dia berkata bahwa menurut Darameh, dia tidak bisa memberikan kekasihku sponsor untuk 1 tahun karena kekasihku tidak pernah melunasi biaya yang disepakati. Oh ya, biaya untuk pengurusan Visa tahunan ini mencapai  1,300 USD. Angka yang tidak sedikit. Mengapa begitu mahal? Karena negara asal kekasihku termasuk salah satu daftar negara yang ada di dalam daftar hitam, sehingga persetujuan masuknya perlu diberikan oleh 10 lembaga utama di Indonesia, termasuk Intelijen.

Me                       : What? But you were there with me when he told us how he returned my boyfriend’s money as a token of good intention? How come he said that my boyfriend never paid the fee?

Mike                    : I don’t know. I am also confuse. I also remember about that. I said that to him but he became more angry.

Me                       : Please tell him my message ya.. I know he hold an Indonesian passport, but I am still the citizen. He can not tell me that my husband is a liar. If you guys come from Africa and have a hot temper, I also come from Surabaya. If you asked any body in Jakarta, they will tell you Surabaya people are very hot temper. They would rather kill and die then to be called a liar or a thief. I am a lady but I am still a Surabay lady. I will not stand still if ever you told people that my husband is a liar. Even though he lied, you cannot tell me that. I will come and kill you with my own hands.

Mike                    : Please be patience, Baby. Stay calm, we will find a way.

Aku merasa sangat marah. Aku tidak pernah berhadapan dengan situasi seperti ini, di mana aku sudah membayar jasa tapi tetap diperlakukan seolah aku mengemis belas kasihan. Memang benar, kami bergantung padanya untuk mendapatkan izin tinggal, well bisa dibilang hidup kami bergantung padanya, tapi itu tidak memberinya hak untuk bersikap bak dewa yang menentukan hidup mati seseorang.  Dan semua berujung pada uang. Hanya uang yang berbicara dan bermakna di lingkungan ini. Ya, semua di lingkungan ini, baik itu dari Afrika maupun dari Indonesia, sedih..

Aplikasi berikutnya aku menolak untuk berhubungan dengan orang Afrika dan memilih untuk berurusan dengan orang dari bangsaku sendiri. Jonah mengamini dan membiarkanku melakukan tugas ini sesuai caraku. Aku meminta sang Agen membuat surat perjanjian dan menolak membayar sekaligus dimuka, meski ini bukan urusan legal namun aku memperlakukannya seperti urusan legalku lainnya. Lengkap dengan kwitansi, surat penjanjian bermaterei dan alamat kantor yang jelas. Kali ini aku selalu berusaha dekat dengan si Agen untuk memastikan bahwa dia melakukan segalanya sesuai dengan apa yang mereka jelaskan.

Tahun ke tahun aku berurusan dengan agen yang berbeda, tapi mereka punya satu sikap yang sama. Sikap yang menunjukkan bahwa kami sangat membutuhkan mereka, meski tahu bagi pria Afrika dan keluarganya di Indonesia ini adalah masalah hidup dan mati tapi bagi mereka ini hanya bisnis. Bahkan pandangan ini pun tidak bisa diaplikasikan ke cara mereka berkerja. Tidak satu pun dari para agen yang kutemui yang bisa menjelaskan dengan baik urutan kerja mereka, tidak bisa memberikanku timeline yang  jelas meski kebanyakan dari mereka sudah menjalankan usaha ini selama lebih dari 7 tahun. Setiap mendekati akhir tenggat, mereka selalu menyanyikan lagu yang sama, “Kalau tahu kau akan serewel ini, aku tidak akan menerima pekerjaan ini darimu.” Oh my, lalu apa yang seharusnya aku lakukan? Diam saja dan membiarkan mereka mengangkangi hidup kami? Membiarkan mereka bersikap seolah kami adalah manusia bodoh yang hidup dan matinya bergantung pada kebaikan hati mereka. Selalu saja menekankan pada kapan kami bisa membayar tagihan yang selalu membengkak karena keperluan ini dan itu, tapi saat janji ditagih, mereka akan berlindung pada fakta bahwa semuanya tergantung pada para raja di Imigrasi. Well bukankah kami sudah membayar mahal untuk pelayanan para “raja” yang menjadi “raja” berkat uang darah kami? Lalu mengapa kami juga tetap harus menghiba dan menghamba? Setiap tahun lelakiku akan berteriak marah dan panik dari negara seberang, menanti agar dia bisa kembali ke Jakarta dan bekerja. Sementara para Agen akan dengan mudah mengangkat tangan dan memintaku menunggu atau datang sendiri ke Imigrasi jika tidak percaya.

Tahun kedua, aku melakukannya. Aku datangi kantor Imigrasi menanyakan prosedur yang berlaku, karena tidak satu pun agen yang mau dan mampu menjelaskan bagaimana aturan mainnya. Bahkan aturan main resminya, cerita  mereka selalu berbelit, berputar dan intinya hendak mengatakan betapa mereka tidak berdaya. Namun saat aku ke Imigrasi, Agen yang aku gunakan saat itu menjadi sangat marah. Mereka takut pihak Imigrasi akan memblack list mereka. Apabila seluk beluk ini diketahui umum, maka mereka akan mendapatkan akibatnya. Tapi aku ke sana bukan untuk mencelakakan siapa pun, aku hanya tidak suka berada di tempat gelap, tidak tahu apa yang terjadi, dibohongi hari demi hari, dan tidak berdaya, tidak bertenaga. Aku ingin bisa berbicara dan memahami apa yang terjadi dan bagaimana aku mempersiapkan rencana-rencana cadangan apabila rencana awal gagal. Aku juga nekad menghubungi atase Visa di negara tujuan Jonah. Beliau menerimaku dengan sangat baik, sangat ramah. Beliau menyampaikan bagaimana urutan kerja surat tersebut dan berapa lama aku harus menunggu.

Secara resmi segala pengurusan visa ini hanya memakan waktu seminggu, entah mengapa justru dengan membayar upeti ke para “raja” ini membuat urusan jadi lebih lama.


Ah semoga tahun ini akan berbeda kisahnya..

Senin, 05 Januari 2015

Hidup yang terbelit sulit

Malam itu aku baru kembali dari doa tutup tahun yang setiap tahun diadakan oleh gereja tempatku dan Jonah menyembah. Jalanan dipenuhi orang-orang yang berdiri menantikan momen tahun baru. Aku beranjak pulang dengan taksi yang melenggang lancar. Rupanya semua orang menuju ke pusat kota, sementara aku menuju ke tepi kota di mana rumahku berada. Sejak sore Jonah mengirim pesan di BBM yang menyatakan bahwa dia tidak keluar rumah sehingga tidak bisa bergabung denganku untuk doa tutup tahun, dia memintaku berdoa untuk kami berdua (tentu saja, Sayangku. Aku selalu berdoa untuk kita berdua). Bagus juga, pikirku. Overstay membuat dia enggan keluar rumah, yang berarti kekasihku tidak akan mabuk malam ini. Dia punya sebotol Gin di rumah tapi itu tidak akan membuatnya terlalu mabuk.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Blackberry-ku berbunyi. Rupanya salah satu sahabat tampan kulit hitamku menelepon. Dengan suara yang terdengar gugup dan panik dia menyapaku:

Yannick                 : Hi, Love. How are you?

Me                         : I am fine. Happy new year.

Yannick                 : Happy new year too, Darling. Where are you?

Me                         : I am on my way home from the church. What’s up?

Yannick                 : Sweetheart, I am having problem with her again. I don’t think I can do this anymore. I cannot live my life as if I am in prison. I am a man, I need my freedom. I need to free my self.

Me                         : Hmm.. I agree with you, Yannick. Is there anything I can help you with?

Yannick                : Baby, can I crash in your place just for tonight? I be with my suitcase though. Not many, just one lugage and one backpack. Do you think you can do that for me?

Me                         : Hmmmm.. Ok, just come.

Yannick                : Ok, Sweety. When I get my taxi, I will call you.

Me                         : Ok, take care of your self.

Yannick adalah lelaki tampan yang aku kenal dari seorang teman. Saat itu malam ulang tahunku dan teman ini membawaku ke apartemennya untuk bertemu dengan sepasang kekasih Kulit Hitam yang tengah terlibat pertengkaran. Mereka saling memukul dan menggigit hingga menimbulkan keributan. Akibatnya mereka berdua diusir dari tempat kost dan terpaksa harus mengungsi. Selain luka fisik, hati, malu, mereka juga kebingungan mencari tempat untuk tinggal. Kebetulan temanku itu hendak pulang ke negaranya, jadi dia menawarkan apartemen kecilnya untuk ditempati mereka berdua. Aku diminta hadir untuk merayakan ulang tahunku di sana dan juga untuk berbicara dengan kedua pasangan ini.

Pertama kali aku melihat Yannick, mataku benar-benar terbuka lebar dan rahangku hampir terjatuh ke tanah. Lelaki ini sangat tampan, dengan tinggi hampir 2 meter dan badan langsing tegak, mata lembut dibingkai wajah bulat telur dengan jambang tercukur rapi, membuat Yannick tampak bak patung dewa kulit hitam. Dia tengah berdiri di depan pintu unit apartemen, menunggu kekasihnya membuka kan pintu. Saat disapa, Yannick mengeluarkan suara yang sangat lembut. Terlalu lembut untuk perawakan tinggi besarnya. Terlalu lembut untuk wajah garangnya. Jika dipandang sepintas, maka kau akan melihat sosok yang mengintimidasi, tapi bila kau diberi kesempatan untuk memandang kedua matanya, TUHAN, sorotnya begitu lembut dan bahkan hampir seperti ketakutan. Membuat siapa pun yang memandang ingin memeluknya, menenangkan sorot takutnya dan membiarkannya menjadi sorot mata bahagia. Ah Yannick, TUHAN sangat mencintaimu. DIA menciptakanmu begitu indah.. Perkenalan kami singkat saja, Yannick terkesan tidak terlalu bisa berbahasa Inggris karena dia berasal dari negara di Afrika yang menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa nasional mereka.

Saat kami akhirnya masuk ke dalam aparetemen berukuran 32m2 itu, aku melihat sesosok perempuan Afrika yang juga tidak kalah tinggi. Dengan rambut keriting yang terusai masai, tubuh yang lentur dan langsing. Perempuan ini tampak sedih dan kosong. Tubuhnya tampak penuh luka, mata kanannya kehitaman akibat tonjokan. Perempuan ini berusaha tersenyum, namun ada sesuatu dari wajahnya yang tidak bisa aku gambarkan. Ada kekosongan yang luar biasa hampa, ada ketidak percayaan, kecurigaan dan begitu banyak tanda tanya di wajahnya. Meski dia berusaha tersenyum dan menyapaku dengan ramah, namun ada jarak dan jurang yang aku tidak bisa gambarkan. Perempuan ini terasa jauh.

Sejak awal pertemuan yang kemudian diikuti dengan dua pertemuan berikutnya, Yannick selalu menceritakan atau tepatnya mengeluhkan pola hubungan mereka yang penuh kekerasan. Vanessa selalu curiga, selalu cemburu.

Yannick                   : I never go out without her. We do our job together. We go out together, hang out together. Everything we do, we do it together. She will check my phone, my Facebook, my Tango, everything. If I went out alone, she will smell my underwear, looking for a trace of sperm. She will smell my penis to check if I made love to another woman.

                                   If ever we had a fight, she would threaten to kill her self or at least hurt her self. She loves me so much. She is a nice woman but I can never marry her. Not because I don’t love her, but because she is married in our country. She has 2 children and until now, they are still together. So I cannot marry her unless she divoces her husband. She is older than me, she is 45 years old and I am 30 but that doesn’t matter. She has done a lot for me and I am determine to make her happy.

                                   One night I came home from meeting my client. A woman, you know we have to sleep with the client in order to gain her trust and to get her pay. I my self, I don’t like it. To me making love is with someone you love not a client. Even though the lady was not ugly but still I cried when I made love with her. But I had to do it. I had to.. We needed the money. When I came home with 15 million from the client, I gave her all 10 million and took 5 million for my own expenses. I told her she is the lady of the houose, so she has to manage our money. But after received my money, she started to insult me. She said she is ashame of me, because I am like a gigolo who have sex for money. But she took the money, and she use it for her life. I felt so hurt, Baby. So humiliated. I felt bad about my self, about my life. I was not always like this, Baby. And this is not the life I wanted.

                                   Vanessa did the same thing before, and it was I who told her to stop. It is not good for a woman to use her body to get money. But I have to admit, since then, it is very difficult for Vanessa to get money. But I cannot let the woman I love do such thing, Baby. She is going to be my child’s mom one day. I want her to live a good life.

Mendengarkan kisahnya bak mendengarkan kisah dari dunia yang berbeda. Aku bak mendengarkan dongeng yang terasa berjarak. Seolah tak mungkin hal seperti ini terjadi di dunia kita. Seorang laki-laki yang begitu tampan, duduk di sebelahku, memandang nanar ke kehampaan, menceritakan kisah hidupnya sebagai penipu. Tidak mudah memang menjadi penipu, kau harus benar-benar meyakinkan klienmu bahwa kau memang punya sesuatu yang bisa mereka andalkan. Bagi beberapa bangsa, mereka menggunakan kekuatan cinta. Seperti yang aku tuliskan di bab sebelumnya, kita perempuan sangat mengagungkan cinta. Sering kali kita melepaskan akal dan nalar demi cinta. Baik cinta pada seorang lelaki, anak atau bahkan diri kita sendiri. Sangat penting bagi perempuan untuk memiliki cinta yang dia perjuangkan, menjadikannya alasan hidup, menjadikannya dorongan hidup dan perjuangan. Kita akan merasa bersalah apabila kita tidak memiliki cinta itu, apabila tidak ada kekasih, suami atau pun anak yang bisa kita jadikan kredo hidup kita. Dan itu yang mereka makan, itu yang mereka cari. Dengan meyakinkan mereka bahwa dia adalah cinta sejatinya, maka para  perempuan ini lalu melakukan apa pun demi menyenangkan lelaki ini, cinta ini.

Pernah satu kali di sampingku Yannick menerima telepon dari salah satu kliennya. Dengan wajah yang tiba-tiba memelas, bahasa Inggris yang sangat terbatas dan suara yang sangat lemah, Yannick berkomunikasi dengan perempuan asal Papua yang juga memiliki kemapuan berbahasa Inggris minim.

Yannick                 : Honey, where are you?

Papua Woman  : Me home. Where are you?

Yannick                 : Me home too. Honey, me sad. Me confuse. Why you don’t love me anymore?


Papua Woman  : Why sad? Why confuse. I love you, Honey. But me waiting for me brother. He in Papua but come to Jakarta next week. He come with  money for your money, Honey.

Yannick                : Good, Honey, but me need money now. Me cannot eat. Me have to pay the room. Honey, me confuse. Me don’t want to live in the street. (dengan suara menangis) Honey, me confuse.

Papua woman   : But me give you money for food. Don’t cry, Honey. Me give you money again. Come to me home. Me pay taxi ya.

Yannick                : Honey, me no money. Cannot taxi. No money (kali ini dengan tangis yang lebih keras dan aku memukul dahiku penuh tawa).

Papua woman   : Come, Honey. Me pay taxi, me give you money. Brother come Monday. He give money for your money. We go Papua and married.

Yannick                : I love you, Honey. Wait for me.

Mendengar perbincangan ini aku ingin tertawa geli tapi juga kasihan. Berapa banyak perempuan seperti perempuan Papua ini. Bagi mereka bukan uang yang jadi indikator kau calon korban atau bukan, tapi kesepianmu. Kerinduanmu akan memiliki. Kekosonganmu.

Malam itu Yannick datang dengan kopornya. Memintaku untuk membayar taksi yang dia gunakan untuk datang (di jam macet seperti itu, biaya taksi yang seharusnya 80 ribu membengkak menjadi 200 ribu) dan naik ke ruang kamarku.

Sambil memelukku seperti anak kecil yang mencari perlindungan ibunya, Yannick menceritakan kesalahpahaman mereka. Tanpa sengaja Yannick mendengar Vanessa berbicara dengan salah satu teman perempuan mereka betapa muak dia dengan lelaki ini. Bahwa dia lah penyebab Vanessa tidak lagi bisa mendapatkan uang. Bahwa Vanessa tengah bersiap untuk meninggalkan lelaki ini selamanya. Dia sudah bertekad untuk meninggalkan Indonesia, meninggalkan lelaki ini dalam kebingungan. “He will cry,” Kata Vanessa. “He will know who I am.” Dari mana Yannick tahu semua itu? Dalam curiganya, Yannick meninggalkan ponselnya dalam kondisi merekam dan berpura-pura ke kamar kecil. Lalu kembali untuk mendengarkan hasil rekamannya di kamar kecil. Menurut Yannick dia begitu kaget dan syok. Dan merasa harus segera pergi karena meski cintanya begitu besar bagi perempuan ini, namun lebih baik dia pergi karena dia yakin perempuan ini akan mencelakainya. Aku hanya tersenyum. Hubungan apa yang tengah kalian rajut? Sebuah cinta dan hubungan seharusnya dilandasi rasa percaya dan bukan curiga. Hmmm.. jadi terpikir hubunganku sendiri.

Jonah pun tidak pernah benar-benar mempercayaiku. Dia selalu takut aku akan mencelakakannya apa bila ada hal yang tidak sesuai mauku. Selama tiga tahun kami bersama, Jonah selalu memastikan dia tidak terikat erat denganku, dan bahwa aku tidak punya celah untuk mencelakakannya. Dalam tiap pertengkaran kami, Jonah selalu menyebutkan segala peluang yang bisa aku gunakan untuk mencelakakan dia. Hal yang sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku. Aku mencintainya dengan tulus, atau setidaknya aku merasa begitu. Aku tidak punya harapan apa pun, selain harapan agar kami bisa bersama dan saling  mendukung. Bahkan tidak untuk pernikahan. Aku tidak punya tujuan selain tujuan untuk menjadi satu dengannya dalam TUHAN. Bagaimana bentuknya? Hanya TUHAN yang tahu.

Malam itu Vanessa tengah larut dalam pesta bersama teman-temannya. Dia tidak peduli lelakinya tengah kesakitan (meski hanya pura-pura) dan memilih untuk berpindah dari satu klab ke klab yang lain, menikmati malam pergantian tahun. Meski setiap 2 jam dia akan menelepon Yannick, sekedar mengabarkan di klab mana dia kini berada dan menayakan di mana Yannick berada. Setiap kali Yannick selalu menjawab dia ada di rumah. Jawaban yang tidak bohong meski tidak benar, memang dia ada di rumah, tapi di rumahku.

Lalu tibalah saat yang dinantikan, akhirnya Vanessa kelelahan dan memutuskan untuk pulang. Aku hanya bisa membayangkan wajahnya saat dia melihat rumah kosong dan kekasihnya tidak ada. Dan telepon Yannick berdering lebih sering..

Vanessa               : Where are you?

Yannick                 : I am gone, Vanessa. You don’t love me and you talk about me in a bad way with our friend. I don’t know how many others you talk like that.

Vanessa               : Ok, have fun.

Dan telepon ditutup.

Sekitar 30 menit kemudian, telepon Yannick berdering lagi.

Vanessa               : Yannick, what have I done? (sambil menangis). Please come back, I cannot live without you. I did not say anything. I love you, Yannick. Please come back. I rather die then live without you. Do you want me to kill my self?

Yannick                : You don’t need me. You are sick of me. You said that to her last night.

Dan kejadian ini berulang sampai pagi menjelang.

Vanessa akan menelepon menghiba dan berkata bahwa dia sudah menusuk tubuhnya dengan pisau dan kini darah terus mengalir, Yannick akan terdiam dan merenung tapi memutuskan untuk memelukku lagi dan tidur. Kemudian telepon berdering lagi, kali ini Vanessa berteriak marah dan mengancam akan mencelakakan Yannick, kembali Yannick tersenyum dan memelukku. Dan berdering lagi, Vanessa mengeluh perutnya kesakitan karena darah sudah begitu banyak mengucur. Dia perlu ke rumah sakit dan tidak ada satu pun yang bisa dia hubungi. Bahwa dia membutuhkan Yannick untuk membantunya. Yannick tampak bingung dan terdiam tapi tetap memutuskan untuk tidur sambil memelukku.

Dering telepon sepanjang malam, dan keberadaan lelaki di sampingku benar-benar mengganggu tidurku, aku memutuskan untuk bangun dan berdoa. Dalam doaku tiba-tiba aku begitu digerakkan untuk duduk memegang tangannya dan berdoa. Aku doakan lelaki ini agar keduanya menemukan kedamaian, agar keduanya kembali ke TUHAN dan menyerahkan segalanya ke tangan yang Kuasa.

Yannickku sayang, demikian kataku, kehidupan apa yang sedang kau jalani ini? Kau berada jauh dari rumah, mengerjakan pekerjaan yang tidak disukai TUHAN dan menjalani hubungan yang penuh dengan kekerasan dan kecurigaan. Hidupmu tidak tenang, kau terus gelisah. Kau tidak lagi muda meski belum setua aku, tapi kau menjalani hubungan bak anak 17 tahun, yang masih menempatkan ego di atas segalanya. Pekerjaan kalian membuat kalian berdua terus mempertanyakan diri, uang yang menjadi TUHAN kalian telah begitu dalam merusak persepsi kalian tentang cinta. Selalu saja semua dihubungkan dengan uang. Kau bertahan karena perempuan ini sudah banyak membantumu, dia bertahan karena keyakinan bahwa suatu saat kau akan berhasil dan dia ingin menikmati keberhasilan itu. Sejatinya kalian berdua memiliki kegelisahan yang sama seperti para perempuan dan lelaki yang jadi korban kalian. Kebohongan dan cerita yang kalian gunakan untuk menjerat mereka begitu detail dan mendalam, membuat kalian sulit membedakan mana yang fakta dan bualan. Aku tidak meminta kalian untuk putus, tapi aku meminta kalian untuk mengubah bentuk hubungan kalian. Cara pandang kalian, aku memintamu untuk kembali ke TUHAN. Kau sudah begitu jauh, Sayang. Kekasihmu begitu kosong. Kau pun begitu bingung, resah dan gelisah.

Seorang teman kulit hitam lain yang aku kisahkan tentang Yannick mengatakan bahwa Yannick tidak akan pernah bisa meninggalkan perempuan itu, karena dia juga berasa dari Afrika. Bagi mereka sangat penting untuk menjaga nama harum mereka di tanah asal. Tak banyak yang tahu apa yang mereka kerjakan di luar dan penting bagi mereka untuk menjaga hal itu. Perempuan mereka di Afrika adalah jaminan nama baik, jaminan kelayakan dan pencitraan. Mereka tidak peduli apa pun yang terjadi di negara tempat mereka mencari uang. Nama mereka boleh hancur asal perempuan di rumah tetap memberikan nama baik. Ah Jonah, itukah juga yang sedang kau lakukan?

Apakah aku hanya alat bagimu? Apakah aku hanya persinggahan sementara? Apa yang kau pikirkan tentangku dan banyak perempuan lain yang pernah kau singgahi? Apakah bagimu kami ini tidak punya perasaan atau kah perasaan kami tidak bernilai sehingga layak untuk disinggung? Apakah perempuan Afrika jauh lebih berharga dan kami lebih tidak bernilai? Mengapa sangat penting bagi kalian untuk menjaga hati perempuan Afrika tapi dengan seenaknya kalian menghancurkan hati perempuan-perempuan lain di dunia? Kalian begitu bingung dan gelisah saat perempuan Afrika kalian menangis dan meradang tapi melihat kami terluka, kalian hanya tersenyum dan menghina. Kami juga manusia.. Kami juga perempuan. Mungkin ada sebagian dari kami yang punya niatan berbeda tapi ada juga yang berhati tulus dan mencintai kalian hanya sebagai lelaki, bukan kulit hitam bukan penis besar.. tapi lelaki. Pada perempuan-perempuan ini dianugerahkan hati yang tulus dan cinta yang besar, tidakkah kau pikir TUHAN akan mendengarkan tangis mereka? Tidakkah kau pikir TUHAN akan melindungi mereka? Tidakkah kau takut akan karma?

Siang menjelang, Yannick membersihkan diri di kamar mandi, saat aku menyetrika baju yang akan digunakannya. Dengan tersenyum Yannick memelukku. "Semua kebaikanmu akan selalu dikenang, dan TUHAN akan membalasnya. Kau begitu baik dan manis, kau tidak bertanya dan tidak mengharapkan apa pun. Belum pernah aku diperlakukan selembut ini oleh perempuan," demikian bisiknya. Dan aku hanya tersenyum. Perempuanku adalah perempuan lembut, kami hanya tahu memberi dan melayani. Kami tidak pernah dikenalkan dengan tuntutan. Meski hati kami terluka, kami akan tetap tersenyum dan memberikan pelayanan yang sama lembutnya bagi lelaki yang ada di hidup  kami. Yah, kau bisa sebut itu kebodohan tapi bagiku itu sebuah kelebihan yang tidak ingin aku hilangkan. Aku peluk dia dengan hangat..

“Take care of your self, Yannick. Please rely your self to the LORD. Don’t ever leave your pray. Be a man and act like one. No, not to be hard and harsh but to be firm and kind. You are a very  handsome man. GOD bless you with a good mind and apperence. Use it wisely, My Dear. I know we will never be together, because we have the same way of loving, for that we need to be with other kind to make us complete. But I believe when GOD said those who are united by GOD no man can seperate, was not only talking about marriage. Baby, just be the you that GOD wants, then let everything in HIS hands. If she is for you, My Love, there is nothing you can do to push her away but if she is not for you, there is nothing you can do to make her stay. Let GOD be your center, Sayangku, and rely your self on HIM. People will always let you down, but when you see HIM, what ever you face in your relationship will feel easier.”

Lalu aku kecup keningnya sebagai tanda perlindungan dan mengantarnya turun ke lobby.
Setelah Yannick pergi, aku kirimkan pesan singkat ke teleponnya.

“Yannick, I love you very much but I refuse to be one of your hiding place. Please take care of your self and stay close to GOD. This will be my last text and I will block you from my phone. Don’t call me anymore, if you want to see me, come to church, I will gladly welcome you there. God be with you.”


“Thank you.”