Hari
ini aku gelisah luar biasa. Hal biasa kalau bulan sudah masuk ke Oktober. Bukan,
bukan karena sebentar lagi Natal, bukan karena sebentar lagi Tahun Baru atau
karena ulang tahun kebersamaan kami, tapi karena sebentar lagi VISA bisnis Jonah
akan habis masa berlakunya dan sekali lagi, seperti tahun-tahun yang lalu, aku
harus berurusan dengan para Agen pengurus Visa ini. Dan sungguh, bulan-bulan ini adalah bulan
yang membuat jantung habis berdenyut kencang dan air mata terkuras habis.
Tahun
pertama aku berkenalan dengan tata cara pengurusan visa bawah tangan adalah
saat Jonah terpaksa harus menyerahkan urusan ini padaku. Saat itu Agen yang dia
gunakan untuk mengurus VISA gagal memberikan Telex dari Imigrasi dan membuatnya
terdampar di Bangkok selama 2 minggu. Tak ada pilihan lain, Jonah memintaku
untuk melakukan sesuatu agar dia bisa kembali masuk ke Indonesia. Aku bingung..
Selama ini aku selalu hidup dengan aturan yang ketat, aku tidak suka melanggar
aturan apa pun. Aku tergolong kaku untuk urusan satu ini tapi kini kekasihku
memintaku untuk melihat apa yang bisa aku lakukan. Sampai hari itu aku bahkan
tidak tahu, izin tinggal apa yang mereka
gunakan, bagaimana mengurusnya, siapa yang mengurusnya.. Aku sama sekali buta.
Tapi jelas aku tidak mau Jonah terlantar di Bangkok, aku tidak mau dia tidak
bisa masuk ke negara ini, aku tidak mau kehilangan pria yang saat ini menjadi
sangat penting dalam hidupku. Dia kekasihku, rajaku, pelindungku.
Secara
natural aku mencoba mencari tahu apa yang bisa kau lakukan sesuai aturan yang
berlaku di negaraku ini. Sebagai perempuan berpendidikan dan berpengalaman
kerja cukup panjang, bukan hal sulit bagiku untuk mencari koneksi di Imigrasi
dan menanyakan secara gamblang apa yang bisa aku lakukan untuk mengundang calon
suamiku ini ke Indonesia dan jawabannya sangat mengecewakan. Aku diminta untuk
berpikir ulang tentang hubungan kami. Dan apabila aku melanjutkan keputusanku
untuk mengundang lelaki ini ke Indonesia, pihak Imigrasi akan benar-benar
mempersulit prosesnya. Proses normal akan membutuhkan waktu 3 bulan dan izin
tinggal hanya bisa diberikan untuk 1 bulan. Tuhan..
Akhirnya
aku menghubungi salah satu kawan Afrikaku di gereja, aku tahu mereka pasti
menggunakan jalur yang sama dengan kekasihku untuk mengurus izin tinggal
mereka. Aku sampaikan aku membutuhkan bimbingan, aku minta dipertemukan dengan
agen pengurus izin tinggal mereka di Indonesia. Aku ingin tahu bagaimana
prosedurnya dan berapa biayanya. Ya, aku perempuan yang terbiasa berpikir
dengan cara memahami masalah, menganalisa peluang lalu membuat rencana
tindakan. Aku tidak biasa terjun tanpa memahami apa yang terjadi, dan
bergantung sepenuhnya pada perlindungan lelaki.
Seorang
teman Afrika dari negara yang berbeda dengan kekasihku membawaku ke seorang
Agen yang juga berasa dari Afrika. Lelaki ini sudah bertahun-tahun berada di
Indonesia dan bahkan sudah memegang paspor Indonesia. Dia sudah sangat dikenal
di kalangan kaum Afrika di Indonesia dan bahkan di luar negri. Posisinya
sebagai sesama Afrika memberinya keuntungan, karena mereka yakin sesama Afrika
tidak akan merugikan atau mencelakakan saudaranya. Sebuah persepsi yang sangat
amat keliru..
Singkat
cerita, aku dibawa ke kantor Darameh yang berada di sudut wilayah yang dikenal
sebagai wilayah kulit hitam di Jakarta. Di kantor berbentuk Ruko 2 lantai
tersebut, Darameh menempati ruangan 4X6 di lantai bawah. Ruangan itu dia sekat
dengan kubik kaca untuk membedakan antara ruangannya dan ruangan umum untuk
tamu dan pegawai lainnya. Di kantor tersebut, Darameh menggantung baju-baju agar
di mata orang luar dia tampak sebagai pengusaha legal yang berdagang pakaian,
seperti stereotipe kulit hitam di Jakarta. Kalau bukan berdagang baju ya pemain
bola hehehehe.. Pegawainya sebenarnya hanya satu perempuan muda yang sudah
bertahun-tahun menjadi sekretaris pribadinya. Perempuan ini mengurus segala
sesuatu di kantor Darameh. Dia yang setiap hari akan selalu ada sementara
bosnya berkeliling mengurus segala urusan bisnis kantor kecil ini. Perempuan
ini berjilbab, tampak sudah berusia 25 tahunan, pendek dan agak berisi. Dia
tampak riang dengan bahasa Inggris yang dicampur bahasa Indonesia, dia menyapa
orang-orang kulit hitam yang datang silih berganti ke kantor kecil itu. Para
lelaki Afrika ini memang sangat suka berkelompok, entah karena mereka berada di
tanah rantau ataukah sudah merupakan
kebudayaan asli mereka. Tapi satu saudara yang memiliki kantor, maka dia akan
menjadi tempat berkumpul para lelaki Afrika lainnya. Kebanyakan mereka
berkelompok menurut negara asal. Pernah seorang lelaki dari Sierra Leon
bercerita padaku tentang pengalamannya pertama kali menginjakkan kaki ke
Jakarta. Dia mendarat di Jakarta pukul 9 malam, tanpa tujuan, dengan uang hanya
40 dolar di saku dan tanpa siapa pun yang dia kenal di negara asing ini. Tapi
itu bukan hal baru bagi para pengelana
ini. Bagi mereka, perjalanan ke negara lain adalah perjalanan Iman. Dia hanya
berdoa, membiarkan TUHAN memilihkan tujuan langkahnya kemudian terbang dengan
keyakinan bahwa TUHAN akan mengurus mereka di tempat tujuan.
Lelaki
ini meminta supir taksi mengantarkannya ke tempat berkumpul orang Afrika di
Jakarta. Dia tahu, langkah pertama adalah mencari saudara senegara, dia akan
membantunya memulai hidup di negara asing ini. Supir taksi mengantarkannya ke
daerah tempat Darameh berada, karena malam sudah larut, wilayah itu pun mulai
sepi, beruntung seorang pria dari negara lain melihatnya berdiri di tepi jalan
dengan koper di tangan. Dia dibawa ke kantor Darameh dan diizinkan untuk
tinggal bersama salah satu lelaki di rumah kost-nya dengan catatan dia harus
datang setiap hari ke kantor Darameh dan membantu membersihkan ruangan. Chris
(Sebut saja begitu) tahu, ini konsekuensi dari hidup dengan saudara yang bukan
senegara, posisi dia memang harus merendah. Sudah beruntung dia bisa ditampung
di sana.
Kantor
Darameh selalu dipenuhi oleh para lelaki Afrika dari bangsanya, sang istri,
yang juga perempuan Afrika, dengan setia datang di jam makan siang dan makan
malam, membawakan makanan untuk semua pria yang ada di kantor. Negara ini
biasanya memiliki istri yang sangat patuh dan buta huruf. Mereka hidup
berkelompok di satu wilayah dan cukup tertutup. Meski pemampilan mereka sangat
mencolok dibanding sekitarnya, tapi jarang sekali kita bisa melihat mereka di
tempat umum. Biasanya para pria menyediakan semua kebutuhan wanita agar kaum
wanita ini tidak perlu keluar dari rumah mereka. Tugas mereka hanya mengurus
rumah dan anak, selanjutnya adalah bagian dari lelaki. Sebuah pembagian peran
yang sangat tradisional dan berjalan dengan lancar di tengah hiruk pikuk
modernisasi di Jakarta. Para lelaki di kantor ini akan saling tanggung
menanggung biaya makan, sedangkan mereka
yang saat itu sedang tidak memiliki uang boleh menikmati makanan secara gratis.
Hidup seperti ini yang membuat mereka bisa bertahan hidup di mana pun. Segalanya
dibagi bersama, baju, properti seperti TV, HP dan bahkan kadang perempuan.
Teman
Afrika-ku memperkenalkanku kepada Darameh, seorang pria kecil kurus berwajah
alim. Darameh memiliki reputasi yang baik di kalangan teman sebangsanya,
kebetulan aku punya beberapa sahabat dari bangsa ini dan mereka semua merekomendasikan
pria ini. Dia berpenampilan sederhana, tidak seperti Jonah yang selalu tampak
perlente. Tidak ada aroma harum yang menguar dari tubuhnya, hanya bau jalanan
akibat perjalanan dengan ojeknya tadi. Berbicara dengan Darameh tidak terkesan
cerdas atau pun perlente, dia menggunakan kalimat-kalimat sederhana yang
sesekali ditingkahi dengan bahasa Indonesia jalanan. Bahasa yang kurang suka
aku gunakan.
Aku
duduk di depan Darameh, dibatasi meja kerja besar di dalam ruang kantor
Direkturnya. Teman Afrika-ku duduk di sampingku dan sibuk menjelaskan mengapa
dia membawaku kemari. Darameh memandangiku dengan penuh selidik, sambil tersenyum
penuh arti (yang sampai detik ini, 2 tahun kemudian, aku masih tidak tahu apa
makna senyumnya). Aku tahu bagaimana orang Afrika memandang perempuan
Indonesia, aku tahu stigma apa yang mereka miliki pada kami, aku tahu
pentingnya tampil menawan dan melepaskan diri dari stigma buruk tersebut. Karena
itu aku sengaja menggunakan baju kerja yang rapi dan duduk dengan sangat sopan,
mata memandang lurus ke mata Darameh (sesuatu yang bagi mereka tidak biasa, karena perempuan tidak
boleh memandang mata lelaki saat dia berbicara). Mike (teman Afrika-ku ini)
memperkenalkanku sebagai temannya di gereja, dan aku membutuhkan bantuan
Darameh untuk mengurus surat tinggal suamiku yang berkebangsaan N. Dia
menyebutku ibu yang baik dan belum pernah mengurus hal ini sebelumnya. Aku
hanya duduk tegak dan mengangguk dengan anggun atau setidaknya kurasa anggun.
Darameh
berkata bahwa memang ada orang dari negara kekasihku yang datang mengurus surat
padanya, tapi karena telex visa belum juga keluar di saat yang dijanjikan,
Darameh mengembalikan uang lelaki itu dengan janji akan dibayarkan kembali saat
telex keluar. Darameh menunjukkan selembar kertas permohonan Visa dengan nama Jonah
di atasnya, dalam hati aku terkejut. Tapi sebagai perempuan dari pria Afrika
yang bergelut di bisnis ini, aku sudah terbiasa menyembunyikan fakta bahwa aku
mengenal kekasihku. Sering kali akan lebih aman bagiku untuk berpura-pura tidak
mengenal, sehingga resiko hukumku berkurang.
Darameh
lalu berbicara seolah sudah tahu bahwa aku datang untuk lelaki ini
dan
menjelaskan panjang lebar bagaimana kekasihku menjadi panik dan sangat marah..
Hmmm itu memang kekasihku, aku sangat mengenal temperamen panas dan mudah
paniknya. Bagi dia dunia ini cepat sekali runtuh, segala masalah sering kali
dipandang sebagai pertanda dari TUHAN yang menunjukkan bahwa dia tidak
seharusnya berada di situasi itu. Baginya jalan TUHAN haruslah mudah dan mulus.
Setiap masalah yang timbul, itu bisa menjadi tanda bahwa TUHAN tidak menginginkan
dia berada di sini. Hmm terlalu sederhana.. sebenarnya TUHAN menempatkan
masalah di jalan kita agar kita bisa lebih menghargai jalan tersebut saat kita
ada di ujungnya. Karena pertanda dari-NYA bukanlah kemudahan, tapi kelegaan
hati, kedekatan kita pada-NYA dan kedamaian yang kita rasakan. Meski jalan itu
terasa mudah dan lapang, namun apa bila itu membuat kita lupa akan kekuatan dan
peran-NYA, maka itu bukanlah jalan TUHAN.
Selama
empat hari kemudian, aku duduk di ruangan itu selama 2-3 jam, mendengarkan
Darameh yang terus memberiku alasan demi alasan tentang kenapa sampai hari itu
telex untuk kekasihku belum juga muncul. Dan aku harus duduk diam, menekan
marah dan perasaan tidak nyaman karena harus berada di tengah sekitar 10 pria
Afrika tanpa kekasihku di sana. Sementara di Bangkok Jonah terus mabuk dan tiap
malam melontarkan hinaan dan cacian karena ketidakmampuanku mengurus hal ini.
Darameh
menyebutkan bahwa perusahaannya telah mengirimkan surat permohonan sponsor Visa
bisnis ke pihak Imigrasi dan saat ini “bos” (demikian dia menyebut kontaknya di
imigrasi) sedang mengurusnya. Sang “bos” perlu menandatangani surat persetujuan
permohonan sponsor sebelum kemudian imigrasi mengirimkan surat pendaftaran visa
ke kedutaan Indonesia di negara yang hendak dituju oleh penerima sponsor. Bisa
Thailand, Malaysia, Singapura atau mana pun di Asia. Setelah itu pihak kedutaan
akan mengirimkan surat rekomendasi ke Kehakiman yang kemudian mengirimkan
persetujuan atas permohonan tersebut. Maka Imigrasi akan mengirimkan telex ke
kedutaan dan si penerima sponsor diminta datang ke kedutaan Indonesia di negara
tersebut dan menukarkannya dengan visa di paspor mereka. Untuk itu mereka harus
membayar 100 USD. Menurut Darameh, saat ini aplikasi kekasihku sudah ada di
meja si “Bos” dan menurut pembicaraan terakhirnya dengan si “Bos”, surat Jonah
akan keluar besok. Dan kisah yang sama akan dia sampaikan keesokan harinya dan
keesokan harinya.
Di
hari kedua pertemuan kami, aku bertanya kemungkinan apa yang bisa terjadi,
bagaimana aku bisa mengatasinya. Aku sampaikan bahwa aku bukan tidak percaya,
tapi aku suka menyiapkan rencan-rencana pendukung untuk berjaga apabila rencana
awal kami gagal. Aku tidak suka kejutan, aku suka apabila aku sudah
memperkirakan lebih awal. Risk assesment kalau bahasa kerennya, dari sana baru
aku melakukan risk mitigation.. hehehehe Untuk pertanyaanku itu, Darameh
berkata aku tidak perlu cemas, karena dia juga tidak ingin surat ini gagal
(belakangan aku tahu semua agen akan mengatakan hal yang sama meski kenyataannya
jauh berbeda).
Darameh :
Don’t worry my Sister. Your husband will get his Telex. I also don’t want to
spoil my name. I have done this for more than 10 years and I have a good
reputation. That was why I told your husband to keep his money until I can give
him his letter.
Me :
I am sorry Sir, but what should we do if the letter did not come out? I need to
know what steps we need to take. We don’t have money right now, and I don’t
want to make him trapped into any bad situation. This is very important for us.
Darameh :
I will give him 1 month entry because once they deny my application, he have to
apply using different sponsor.
Me :
No, Sir, I don’t think one month is enough. You see, we need to start the
process again, and as you said, it will take us another month. And we also need
to find money, for him to fly to Bangkok the second time. I think at least he
needs 2 months.
Darameh :
It will not happen, but yes, I will give you 2 months.
Me :
Wow, thank you. Excuse me, Sir, may I know how much I should pay for the
letter? Again we are not rich so we need to prepare for every thing.
Darameh :
Oh Sister, I will give you the letter for free. It is a compliment because I
have let my client down and I have failed to do my job.
Me :
Wow, thank you.
Dengan
janji itu, aku merasa tenang. Setidaknya aku tahu Jonah akan tetap bisa masuk
dan masih punya cukup waktu untuk mengurus visa lagi.
Hari
ke hari aku lewati dengan duduk di kantornya, mendengarkan kisah-kisahnya. Aku
diam menyimak dan tersenyum sopan, meski hati terasa lelah dan capek. Tuhan,
aku hanya ingin kekasihku bisa masuk kembali ke Indonesia dengan selamat. Aku hanya
ingin dia segera kembali, karena di sana aku tahu, dia akan sibuk “hang out”
dengan teman-teman lamanya dan mabuk sampai pagi. Izinkan dia pulang, Tuhan, jangan
biarkan dia kembali ke kebiasaan lamanya.
Hari
keempat akhirnya Darameh mengirimkan email langsung ke kekasihku di Bangkok dan
betapa terkejutnya kami saat melihat bahwa telex undangan tersebut hanya untuk
1 bulan tinggal. Kekasihku sangat marah dan kebingungan. Tapi dia memutuskan
untuk tetap datang karena tidak ada yang bisa dia lakukan di Bangkok. Biaya
hidup di Bangkok juga jauh lebih mahal dibanding di Jakarta. Sebenarnya ya
lebih karena di sana dia hanya bersenang-senang, mabuk tiap malam dan
bercengkrama dengan kekasih lamanya. Ya, Jonah pernah 2 tahun tinggal di
Bangkok, tentu dia punya mantan pacar atau bahkan mungkin perempuan yang
diam-diam masih dia pacari di belakangku.
Aku
sebaliknya, merasa sangat marah dan dipermainkan. Aku mencoba menghubungi
Darameh lewat nomor telepon yang dia berikan padaku, tapi tidak pernah dia
angkat. Semua pesan singkat yang aku kirimkan tidak pernah dia balas. Padahal,
aku sebagai perempuan jawa tidak akan pernah bisa mengirimkan atau mengatakan
pesan-pesan marah dan kasar, dengan sopan aku meminta penjelasan mengapa surat
yang keluar tidak seperti yang dijanjikan. Bahkan apabila surat permohonan
setahun visa Jonah ditolak, Darameh berjanji akan memberikan surat masuk untuk
2 bulan dan bukan 1 bulan. Akhirnya aku meminta tolong Mike untuk menghubungi
Darameh dan bertanya mengapa. Tidak mungkin bagiku untuk datang ke kantor
Darameh lagi. Jonah sudah mendengar bahwa aku mendatangi Darameh, dan memintaku
untuk tidak datang ke sana lagi.
Mike
kemudian menghubungiku, dia berkata bahwa menurut Darameh, dia tidak bisa
memberikan kekasihku sponsor untuk 1 tahun karena kekasihku tidak pernah
melunasi biaya yang disepakati. Oh ya, biaya untuk pengurusan Visa tahunan ini
mencapai 1,300 USD. Angka yang tidak
sedikit. Mengapa begitu mahal? Karena negara asal kekasihku termasuk salah satu
daftar negara yang ada di dalam daftar hitam, sehingga persetujuan masuknya
perlu diberikan oleh 10 lembaga utama di Indonesia, termasuk Intelijen.
Me :
What? But you were there with me when he told us how he returned my boyfriend’s
money as a token of good intention? How come he said that my boyfriend never
paid the fee?
Mike :
I don’t know. I am also confuse. I also remember about that. I said that to him
but he became more angry.
Me :
Please tell him my message ya.. I know he hold an Indonesian passport, but I am
still the citizen. He can not tell me that my husband is a liar. If you guys
come from Africa and have a hot temper, I also come from Surabaya. If you asked
any body in Jakarta, they will tell you Surabaya people are very hot temper.
They would rather kill and die then to be called a liar or a thief. I am a lady
but I am still a Surabay lady. I will not stand still if ever you told people
that my husband is a liar. Even though he lied, you cannot tell me that. I will
come and kill you with my own hands.
Mike :
Please be patience, Baby. Stay calm, we will find a way.
Aku
merasa sangat marah. Aku tidak pernah berhadapan dengan situasi seperti ini, di
mana aku sudah membayar jasa tapi tetap diperlakukan seolah aku mengemis belas
kasihan. Memang benar, kami bergantung padanya untuk mendapatkan izin tinggal,
well bisa dibilang hidup kami bergantung padanya, tapi itu tidak memberinya hak
untuk bersikap bak dewa yang menentukan hidup mati seseorang. Dan semua berujung pada uang. Hanya uang yang
berbicara dan bermakna di lingkungan ini. Ya, semua di lingkungan ini, baik itu
dari Afrika maupun dari Indonesia, sedih..
Aplikasi
berikutnya aku menolak untuk berhubungan dengan orang Afrika dan memilih untuk
berurusan dengan orang dari bangsaku sendiri. Jonah mengamini dan membiarkanku
melakukan tugas ini sesuai caraku. Aku meminta sang Agen membuat surat
perjanjian dan menolak membayar sekaligus dimuka, meski ini bukan urusan legal
namun aku memperlakukannya seperti urusan legalku lainnya. Lengkap dengan
kwitansi, surat penjanjian bermaterei dan alamat kantor yang jelas. Kali ini
aku selalu berusaha dekat dengan si Agen untuk memastikan bahwa dia melakukan
segalanya sesuai dengan apa yang mereka jelaskan.
Tahun
ke tahun aku berurusan dengan agen yang berbeda, tapi mereka punya satu sikap
yang sama. Sikap yang menunjukkan bahwa kami sangat membutuhkan mereka, meski tahu
bagi pria Afrika dan keluarganya di Indonesia ini adalah masalah hidup dan mati
tapi bagi mereka ini hanya bisnis. Bahkan pandangan ini pun tidak bisa
diaplikasikan ke cara mereka berkerja. Tidak satu pun dari para agen yang
kutemui yang bisa menjelaskan dengan baik urutan kerja mereka, tidak bisa
memberikanku timeline yang jelas meski
kebanyakan dari mereka sudah menjalankan usaha ini selama lebih dari 7 tahun.
Setiap mendekati akhir tenggat, mereka selalu menyanyikan lagu yang sama, “Kalau
tahu kau akan serewel ini, aku tidak akan menerima pekerjaan ini darimu.” Oh
my, lalu apa yang seharusnya aku lakukan? Diam saja dan membiarkan mereka
mengangkangi hidup kami? Membiarkan mereka bersikap seolah kami adalah manusia
bodoh yang hidup dan matinya bergantung pada kebaikan hati mereka. Selalu saja
menekankan pada kapan kami bisa membayar tagihan yang selalu membengkak karena
keperluan ini dan itu, tapi saat janji ditagih, mereka akan berlindung pada
fakta bahwa semuanya tergantung pada para raja di Imigrasi. Well bukankah kami
sudah membayar mahal untuk pelayanan para “raja” yang menjadi “raja” berkat
uang darah kami? Lalu mengapa kami juga tetap harus menghiba dan menghamba? Setiap
tahun lelakiku akan berteriak marah dan panik dari negara seberang, menanti
agar dia bisa kembali ke Jakarta dan bekerja. Sementara para Agen akan dengan
mudah mengangkat tangan dan memintaku menunggu atau datang sendiri ke Imigrasi
jika tidak percaya.
Tahun
kedua, aku melakukannya. Aku datangi kantor Imigrasi menanyakan prosedur yang
berlaku, karena tidak satu pun agen yang mau dan mampu menjelaskan bagaimana
aturan mainnya. Bahkan aturan main resminya, cerita mereka selalu berbelit, berputar dan intinya
hendak mengatakan betapa mereka tidak berdaya. Namun saat aku ke Imigrasi, Agen
yang aku gunakan saat itu menjadi sangat marah. Mereka takut pihak Imigrasi
akan memblack list mereka. Apabila seluk beluk ini diketahui umum, maka mereka
akan mendapatkan akibatnya. Tapi aku ke sana bukan untuk mencelakakan siapa
pun, aku hanya tidak suka berada di tempat gelap, tidak tahu apa yang terjadi,
dibohongi hari demi hari, dan tidak berdaya, tidak bertenaga. Aku ingin bisa
berbicara dan memahami apa yang terjadi dan bagaimana aku mempersiapkan
rencana-rencana cadangan apabila rencana awal gagal. Aku juga nekad menghubungi
atase Visa di negara tujuan Jonah. Beliau menerimaku dengan sangat baik, sangat
ramah. Beliau menyampaikan bagaimana urutan kerja surat tersebut dan berapa
lama aku harus menunggu.
Secara
resmi segala pengurusan visa ini hanya memakan waktu seminggu, entah mengapa
justru dengan membayar upeti ke para “raja” ini membuat urusan jadi lebih lama.
Ah
semoga tahun ini akan berbeda kisahnya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar