Malam itu aku duduk
termenung di pojok kerjanya. Ruangan kamar seluas 4X4 m ini menyala terang di
pagi buta, suara ketukan papan ketik dan alunan lagu rohani menemani pikiranku yang melayang jauh. Aku menatap nanar ke luar jendela unit apartemen di lantai
enam ini, sore nanti keluarga kecilku harus meninggalkan rumah yang sudah
kami tempati selama hampir 3 tahun itu. Sebuah tempat yang bagiku menggambarkan perbaikan hidup, peningkatan kualitas hidup, peningkatan kualitas
segalanya. Dan dadaku terasa makin sesak..
Tahun ini dimulai dengan
sangat buruk, berita buruk demi berita buruk aku terima, terutama masalah
pekerjaan. Sejak dipecat dari perusahaan tempatku bekerja dengan alasan
yang hingga kini gagal aku coba pahami, segala hal yang coba aku kerjakan,
gagal. Aku memang bukan lagi aku yang dulu, yang dengan gigih mencari
uang di segala sudut kota, segala yang halal bagiku, patut dicoba. Kemiskinan
masa kecil membuatku tidak mau mengalami kondisi sama di usia tua. Aku yang dulu akan melakukan 4-5 pekerjaan sekaligus, bekerja 7 hari selama 24 jam,
bekerja dan bekerja. Aku yang baru lebih menikmati duduk diam dalam bait
Allah, mendengarkan dan mendiskusikan ayat di Injil, mengikuti doa dan kajian
alkitab sambil belajar berdoa dan berdoa. Namun terpaan kehidupan masih juga
membuatku gamang. Aku sering kali merasa tidak berada di pijakan yang tepat, tidak berada di bumi yang benar, tidak menjadi diriku sendiri.
Jonah sendiri sibuk
dengan kegelisahannya, karena perempuan Afrika yang selama ini dia banggakan
menjadi istri tauladannya, kini mengacuhkannya karena Jonah gagal mengirimkan
dana 1,100 USD sesuai permintaan, setelah 1,200 USD yang sudah dia kirimkan
sebelumnya. Meski tidak dibicarakan, aku bisa menebak dari makin jarangnya
Jona tenggelam di dalam HP-nya, makin jarangnya Jonah berfoto ria di pagi
maupun sore hari. Jonah tampak sedih dan terpukul, beberapa kali dia kembali
meragukan kemampuannya, sesuatu yang di tahun pertama hubungan mereka, sering
kali Jonah lakukan. Setiap itu muncul, aku akan menyanyikan lagu yang sama,
mengagungkan kemampuan Jonah, menyanyikan lagu pujian dan terus menyatakan
cinta meski Jonah akan menjawab dengan sekedarnya saja. Aku perempuan Jawa yang
dibesarkan dalam tradisi pengabdian perempuan kepada lelakinya, hanya bisa
memandang sedih ke lelaki yang sangat kucintai ini, sulit bagiku untuk
memahami bagaimana seorang perempuan hanya bisa mengukur keberhasilan sang
lelaki dari uang yang dihasilkan, betapa perkembangan pribadi yang bahkan bagiku yang baru 3 tahun mendampingi tampak jelas terjadi dalam diri Jonah, tidaklah
menjadi pertimbangan utama. Dalam ajaran budayaku, harga diri suami adalah yang paling utama. Seluruh kehidupan akan runtuh saat kepercayaan diri suami kita juga runtuh. Sejak kecil ditekankan bahwa seberapa pun besar pendapatanku, sangat lah penting bagiku untuk menjaga harga diri suamiku, menempatkannya di depan dan mendengarkan pendapatnya, sekonyol apa pun pendapatnya itu. Bertahun lalu, saat pernikahanku masih berlaku, aku berusaha melakukan hal yang sama dan kini saat kekasihku mengalami hal serupa, meski selama 3 tahun ini tidak banyak yang dia lakukan untukku, aku harus tetap menjaga harga dirinya, menjadikannya lelaki yang kuat, menjadi sandaran yang bersikap seolah dia yang bersandar.
Namun bagiku juga sulit memahami, bagaimana Jonah terus menerus membuktikan diri, mengejar dan jatuh untuk cinta yang begitu materalistis sembari menginjak, meremehkan dan tidak menghargai dirinya yang selama 3 tahun duduk diam dalam terpaan badai kehidupan mereka berdua. Aku tidak memahami mengapa Jonah tidak bisa memandang dirinya, tidak bisa memandang apa pun yang sudah aku lakukan dan bersikap seolah semua yang aku lakukan adalah kewajaran. Jonah tidak pernah mengindahkan kediamanku meski aku tahu dia terus mengirimkan duit ke Afrika sembari menyatakan padaku bahwa dia tidak punya uang dan memintaku berbagi beban. Juga saat dia memilh untuk menghamburkan uangnya di pub-pub jalanan sementara beberapa tagihan tetap menjadi tanggung jawabku. Aku tidak mengerti apa pun yang terjadi dalam hidupku belakangan ini...
Namun bagiku juga sulit memahami, bagaimana Jonah terus menerus membuktikan diri, mengejar dan jatuh untuk cinta yang begitu materalistis sembari menginjak, meremehkan dan tidak menghargai dirinya yang selama 3 tahun duduk diam dalam terpaan badai kehidupan mereka berdua. Aku tidak memahami mengapa Jonah tidak bisa memandang dirinya, tidak bisa memandang apa pun yang sudah aku lakukan dan bersikap seolah semua yang aku lakukan adalah kewajaran. Jonah tidak pernah mengindahkan kediamanku meski aku tahu dia terus mengirimkan duit ke Afrika sembari menyatakan padaku bahwa dia tidak punya uang dan memintaku berbagi beban. Juga saat dia memilh untuk menghamburkan uangnya di pub-pub jalanan sementara beberapa tagihan tetap menjadi tanggung jawabku. Aku tidak mengerti apa pun yang terjadi dalam hidupku belakangan ini...
Beberapa tagihan sudah terlambat dibayarkan, sewa rumah, cicilan mobil dan
tunggakan-tunggakan lainnya. Meski bingung, aku tahu dan paham bahwa ini
hanyalah sebuah tahapan dalam hidup. Bertahun lalu, saat masih menjadi istri,
aku juga pernah menjalani hal yang sama, menyelesaikan masalah satu per satu
sembari menjaga harga diri dan percaya diri sang suami bukanlah tugas yang
mudah. Menjaga agar kapal rumah tangga tetap mengapung, menjaga anak-anak tetap
positif dan seimbang, menjaga agar suami tetap percaya pada kemampuannya,
termasuk menjaga agar kewarasannya tetap menempel di kepala bukanlah tugas yang
ringan dan aku tahu benar itu.
Sekarang, enam tahun
kemudian, aku kembali mengalami hal yang sama, bedanya lelaki ini belum
menjadi suaminya, lelaki ini memiliki perempuan lain yang dia banggakan,
perempuan yang baginya dia sanggup mengadu nyawa namun lelaki ini menyandarkan
diri padaku untuk dukungan moral dan keyakinan karena perempuannya kurang
pandai merangkai kata penguat. Hinaan demi hinaan, kemarahan demi kemarahan,
tagihan demi tagihan harus aku telan sambil terus tersenyum dan menyanyikan
lagu penguat kepercayaan diri ke telinga Jonah dan Jonah terus tenggelam dalam sedihnya,
matanya memandang nanar ke sososk di belakangku yang tak nampak, yang tak
berwujud. Dan kembali aku terus menelan sedih dan luka. Berusaha terus
mencari wajah TUHAN di dalam semua masalah-masalahnya. aku memang sejatinya
seorang Ibu..
Ariana :
Baby, I think we need to rent the car, cause we have not pay the installment
for almost over a month now. What do you think? At least we can pay the car
then when you have money, we can continue to pay it again.
Jonah :
Ah, Ariana, what are you talking about? Anyway, if that what you think is best for you, then do it.
Ariana :
For me? I thought it is all about us. Well Sayang, I know you need the car,
that is why I offer it for daily rent. That way when they don’t use it, you can
use the car and hustle for your money.
Jonah :
Daily? Then who is going to drive the car?
Ariana :
I will. I am quite a good driver, and that way I know our car is safe.
Jonah terdiam.
Di lain waktu, aku yang terusir dari apartemennya, mendiskusikan pilihan sewa pada lelaki yang
terus berusaha ditunjukkan rasa cinta dan pengormatan seorang perempuan, tanpa
melibatkan kemampuan keuangan. Aku sendiri yang akan mencari biaya sewa
rumah, namun bagaimana pun sebuah bentuk penghormatan dan penghargaan apa bila
dia mengajak Jonah berdiskusi sebelum membuat keputusan.
Ariana :
Baby, I am looking for a room to rent. The owner doesn’t allow me and my children to stay there anymore. I don’t want to put her into trouble, better we move and start all over again.
Jonah :
And the children?
Ariana :
Of course they will be with me.
Jonah :
You cannot put them to their father until you can go back to your feet?
Ariana :
Oh My, that would never happen. They are my responsibility. I would never let them go for anything. I will fight until my last drop for them. GOD will punish me if I gave them up. I am a mother, Jonah, no mother can do that.
Jonah :
Ah Ariana, many women do that. Most of them put their children to their grandparents or ex husband then they go and live with their boyfriend. (dan ini benar adanya. Setiap bertemu pacar lelaki Afrika, mereka menanyakan hal yang sama, kenapa kami tidak tinggal serumah. Jawabanku selalu, anak-anakku. Aku tidak mau anak-anak terbelenggu akan kewajiban menerima Jonah dalam hidup mereka. Dan tidak mau anak-anak terluka kembali apabila hubungan mereka memburuk. Bagiku, lelaki yang bisa tinggal bersama dengannya adalah suaminya.)
Ariana :
(Diam)
Jonah : But baby, why don’t you just pay the rend with that money for a new room. I know I am going to get money this month, I will pay for you after that.
Ariana :
Ah, better we safe the money to build a business. I don’t want to spend to much on place to stay. You are right when you said we should economize.
Jonah :
(memandangku dengan wajah sedih dan putus asa, merasa tak berdaya menolong
perempuan yang ada di sampingnya selama dia di Jakarta ini).
Perpindahan pun
dilakukan, Aku menemukan tempat yang nyaman di atas gereja, tempat yang luar
biasa menurutnya, karena tempat itu jelas makin mendekatkannya dengan TUHAN.
Dan hatiku makin menguat dan tenang. Aku tahu Jonah tengah bergumul
dengan pikirannya, menimbang perjuanganku dan tuntutan perempuan di Afrika
serta ibunya yang kian hari kian berulah. Aku tahu kenapa sang ibu berulah dan
terus menuntut uang tidak seperti biasanya tapi aku tidak berani berbicara.
Lewat kisah yang dituturkan adik Jonah di Afrika, terungkap betapa perempuan
ini tidak peduli dengan kondisi keluarga Jonah. Mereka merasa perempuan ini
hanya mengincari uang Jonah dan menginginkan Jonah berada di bawah
kekuasaannya. Sesuatu yang sebenarnya tanpa perlu melihat pun sangat kuat aku rasakan. Itu sebabnya sang ibu berubah. Dia tidak rela anaknya direnggut oleh perempuan yang sudah terbukti tidak peduli, perempuan yang terus menerus mengingatkan Jonah untuk tidak membuang uangnya selain untuk dirinya dan sang anak. Hal yang sama pernah dia sampaikan lewat sms yang tanpa sengaja aku baca. Dengan penuh sedih Jonah meyakinkan perempuan itu bahwa dia tidak menghamburkan uangnya untuk siapa pun di Indonesia. Sebuah pertanyaan yang bagiku sangat menghina. Aku kah yang dia pertanyakan? Aku kan yang dia takutkan akan merembut uang lelakinya? Uang yang mana? Selama ini Jonah hidup dengan pas-pasan. Bulan ke bulan hanyalah bentuk perjuangan, aku belum pernah diajak berlibur, belum pernah dibelikan barang mahal, belum pernah diperlakukan mewah. Selama hubungan kami, aku hanya melihatnya menanggung beban demi beban. Lebih menyakitkan lagi saat dia mendapatkan uang, Jonah bergegas pulang ke negaranya, membeli bermacam barang, membeli bermacam buah tangan, bahkan minum keras yang mahal. Setiap hari aku mendengarnya tertawa, tersenyum, bersenang-senang. Melihat foto-fotonya berpesta, menikmati hidup, kemudian dia akan kembali lagi kepelukanku dengan tangan hampa, membawaku kembali ke lingkaran perjuangan tiada hentinya.
Namun meski kondisi keuangan
mereka sangat buruk, aku merasa sangat bahagia. Jonah menunjukkan
perubahan, dia tidak lagi berbicara kasar, tidak lagi membentak, tidak lagi
meremehkan. Meski selaput duka masih tampak di matanya, Jonah tampak bingung,
cintanya pada ibu anaknya namun juga kenyataan yang dia lihat di kehidupan
nyatanya bersamaku membuat Jonah berpikir bagaimana dia bisa menyelesaikan
pelik ini. Beberapa kali Jonah mulai bicara tentang pernikahan, tentang
kehidupan bersama di masa depan, tentang strategi bagaimana di masa depan
mereka berdua bisa menghadapi masa-masa sulit seperti saat ini,
“Sayang, I think its
better for you to find a job. You know my business always down at the beginning
of the year. Last year you were the one who supported us until I get my money
on March. But this year, we both are down, this is not good, Sayang.”
Di waktu yang berbeda,
Jonah menawarkan untuk mengantarkan pulang,
“Love, we are not in a
good situation, we need to support each other. The money that you spend on taxi
can be used for other expenses. Tomorrow you need to go out for an interview
right? So I better bring you home.”
Hatiku sangat
bahagia. Meski kehidupan menghimpitnya dari segala sudut, tapi aku bahagia.
Himpitan ini membuat Jonah berubah pandangan tentang hubungan mereka. Jonah
melihat perjuanganku, betapa aku mampu dan mau mengerjakan segala yang halal dan tidak
tergoda untuk mengerjakan bisnis kotor Jonah. Aku tetap diam, tidak
berbicara tentang uang, berusaha menyelesaikan masalahku sendiri sambil terus
mendampingi Jonah, menemaninya saat dia merasa tidak mampu, melayani keperluan
Jonah semampuku, mengesampingkan kebutuhanku sendiri demi menjaga agar Jonah
nyaman dan tidak merasa terabaikan karena kondisi keuangan kami. Aku berjuang,
aku berusaha.. Menekan semua marah dan sedih, mengesampingkan kebutuhanku sendiri, kecemasanku sendiri, kepanikanku, karena menyadari kekuatanku adalah ketenangan Jonah. Meski mulutnya berkata lain, terus dia minta Jonah
bertahan dan kuat,
“My Strong Love, please
stay strong. You know you are my inspiration. Looking at you being so strong, inspired
me to stay strong also. You believe to GOD, inspired me to believe in HIM also.
I know GOD have big plans for you, and since the day I met you, I believe that
you are destined to be great. And I am so honored to be part of your journey. I
love you”
Ini bentuk sms yang
secara berkala kukirimkan ke Jonah. Demi menjaga perasaanya, menjaga harga
dirinya. Jonah adalah suami bagiku. Jonah adalah sosok yang di depan TUHAN
telah dijanjikan akan didukung sampai tujuannya tercapai. Jonah adalah hidup
bagiku.
Dan hari Minggu itu
tiba..
Seperti biasa au memakai mobil untuk kegiatan gereja dan seperti biasa, aku harus
mengembalikan mobil itu di hari Senin. Namun Senin ini seperti saran Jonah,
aku menerima panggilan wawancara untuk bekerja. Karena itu akan sulit
apabila aku harus mengembalikan mobil keesokan harinya. Jonah kemudian
menawarkan untuk mengantarku dan anak bungsuku pulang di malam hari
sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan dana taksi. Kemudian..
Jonah :
Sayang, Barcelona is playing tonight. If I bring you home, I will not be able
to watch my football. Why don’t you come tomorrow and I will drop you?
Ariana :
(hmm apabila aku kembali besok, pasti akan terlambat dan sangat pagi) Its going to be difficult for me, Sayang. Why don’t
we just stop by and go home by taxi?
Jonah :
Just bring you son home, Sayang then come to me.
Ariana :
Then how will I get home?
Jonah :
You can stay and go in the morning.
Ariana :
Ok, what time do you want me to come?
Jonah :
Anytime you are ready, My Love. I am home.
Ariana :
Ok.
Jam menunjukkan pukul 12
malam saat aku mulai menuju rumah Jonah. Seperti biasa, aku mengirimkan
pesan, mengabarkan kedatangannya dan Jonah bahkan menelepon memintanya membeli
sayuran untuk dia masak keesokan paginya. Semua masih sangat indah..
Aku tiba di rumah Jonah
pukul 12.30 dini hari, setibanya di parkiran, aku menghubungi Jonah, namun
telepon dimatikan, tidak dijawab. Aku pun turun dari mobil, menanti di depan
lift sampai Jonah datang menjemput. Namun setelah hampir 10 menit, tidak ada
gerakan. Kembali aku mencoba menghubungi Jonah, tapi HP selalu dimatikan.
Akhirnya salah satu
penghuni apartemen tersebut naik ke atas lewat tangga, memberiku kesempatan untuk ikut masuk dan naik ke lantai tiga tempat Jonah tinggal. Dengan tas
laptop di punggung, tas tangan dan ikatan kangkung, aku mendaki tangga
setinggi 3 lantai. Kelelahan yang aku rasakan karena sejak pagi mondar-mandir
mengurus Jonah kemudian melayani di 2 gereja, benar-benar membuat kakiku sakit dan napasnya terengah-engah, namun aku terus melaju, lelaki yang kucintai
menanti di ujung tangga, aku harus naik, harus meninggalkan lelah, menuju
pelukan kekasih, suami, panutan yang sangat kucintai itu.
Setibanya di atas, aku bisa mendengar suara Jonah berbicara di telepon, rupanya Jonah sedang sibuk.
aku mengetuk pintu dengan lembut, pintu terbuka, Jonah memintaku masuk
sambil tetap memegang HP putih yang selalu dia genggam. Lalu perempuan itu
menelepon kembali, Hatiku sedih namun membiarkan Jonah berbicara. Godaan untuk
bersuara agar perempuan itu tahu keberadaannya sangat besar. Aku ingin
dikenali, aku ingin diakui, aku ingin dimanusiakan. Aku bukan pelacur,
aku bukan teman tidur, aku bukan tumbal.. tapi semua itu kutahan, Aku sudah berjanji pada dirinya untuk menghormati perempuan di seberang, karena
Jonah menjanjikan bahwa perempuan itu pun menghormatiku. Meski hatiku berontak, meski hatiku terluka, aku merasa bahwa siapa pun berhak
mendapatkan penghormatan, siapa pun berhak mendapatkan peluang untuk bahagia,
siapa pun itu, termasuk diriku. Tapi kelelahan akibat naik tangga membuat
napasku sesak, dan aku pun terbatuk.
Jonah segera bangkit dari
duduknya dan bergerak ke balkon kamar sembari menutup pintu di balkon. Hatiku sangat sakit. Aku tahu apa yang terjadi, tahu siapa yang menelepon, tahu
kenapa Jonah pergi, tahu mengapa aku dibiarkan menunggu di depan lift begitu
lama.. Aku tidak berarti, aku tidak bermakna, aku bukan manusia, tidak
cukup pantas untuk dihargai dan diberi cinta, begitu selalu yang dikatakan
Jonah dalam marahnya, dan malam itu semua menjadi begitu nyata.
Akhirnya Jonah
menyelesaikan pembicaraannya, sambil membuka pintu dengan kasar, Jonah menatapku dengan nanar:
Jonah : “Every time you are here,
I cannot do anything that I want.”
Ariana : Memandang Jonah dengan
heran, “What have I done?”
Jonah : “You always try to put me
into problem.”
Ariana : “What? What problem?”
Jonah : “Why are you coughing?
Are you having a cough? You just want to make problem.”
Ariana :
“Climbed the stairs to come here, and you know I am not good with stairs. I
cough because I could not breathe. Why would I want to put you into problem?”
Kelelahan, mengantuk,
tidak paham, membuatku sulit mengendalikan amarah. Tapi apakah aku tidak boleh marah, Tuhan? Apakah aku tidak berhak tersinggung? Apakah bahagia
hanya milik orang lain, Tuhan? Meski aku sudah berjanji menjadi pelayan
manusia, tapi apakah aku harus dihina seperti itu?
Ariana : “Hey, I did not come here
by my self ya, you are the one who ask me to come.”
Jonah : “Ya, because I cannot
agree with your stupid idea.”
Ariana :
“What idea? I told you we could just go home by taxi, instead you asked me to come and stay over? Ah what are you doing, Jonah? Who do you think I am? I am
not a prostitute. I am not some cheap woman, I am a mother. How dare you to
treat me like that? If you have problem with other woman, that is not my business and don’t ever blame it on me.”
Aku terluka sangat,
aku meraih tas punggungku dan berjalan keluar. Saat itu sudah pukul 1 pagi,
Aku keluar dari kamar Jonah tanpa menutup pintu. Dengan sedih dan terluka aku menunggu lift yang akan membawaku ke lantai B1. Aku tahu, Jonah tidak akan
berlari menghampiri, Jonah tidak akan peduli. Aku terluka, Aku sangat
sangat terluka.. Tidak ada air mata keluar dari mataku, hanya kemarahan dan
kebencian yang meluap.
Terdengar Jonah
membanting pintu dengan keras..
Aku berlari ke jalan,
berjalan mencari taksi yang akan membawanya pulang. Saat itu sudah pukul 1.30
pagi. Jalanan di depan apartemen Jonah sudah mulai ramai oleh pedagang pasar, dan aku bisa merasakan mata mereka memandangiku dengan aneh. Aku memang tidak memakai pakaian untuk pub atau semacamnya, aku berpakaian rapi karena rencananya besok akan langsung ke tempat wawancara, namun tetap saja pandangan mata aneh diarahkan padaku. Aku berjalan dengan marah, tidak ada air mata yang menetes, hanya kemarahan luar biasa. Aku merasa dilecehkan, tidak dihargai, tidak dianggap dan diletakkan jauh lebih rendah dari perempuan yang bahkan tidak pernah mengenalku. Siapa pun dia, siapa pun aku, tak seorang pun pantas diletakkan di bawah. Bahkan aku menghormati pelacur yang pernah menjadi kekasih Jonah, tidak sekali pun aku berbicara dengan menghina, lalu mengapa aku ditempatkan serendah ini? Mengapa Jonah tega membentak dan menuduhku di saat dia yang memintaku datang? Tidak bisakah dia mengendalikan perempuannya, memintanya menghormati aku yang bagaimana pun adalah pengurusnya di Jakarta ini, penanggung jawabnya di sini. Dan hatiku yang sudah didera begitu banyak masalah, patah...
Kembali aku terluka..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar