Rabu, 09 November 2011

Aku dan hak reproduksiku

Pagi ini ada sms menarik yang masuk ke nomor HP-ku. SMS dari rekan dosen Bimbingan Konseling. Teman cantikku ini mendapatkan pertanyaan dari salah satu mahasiswanya yang sedang Belajar Mengajar di salah satu SMA. Si mahasiswa mendapatkan laporan dari salah satu siswinya bahwa dia hamil. Baru satu bulan dan si siswi kebingungan harus bagaimana. Kutanyakan apa saran dia pada si mahasiswa, jawaban yang diberikan sangat melegakan, dia menyarankan untuk tidak membawa masalah ini ke guru lebih dulu, tapi membantu si anak membuat keputusan sadar atas janin di rahimnya, kemudian membantunya berbicara dengan pacar, orangtua dan kemudian gurunya. Sebuah jawaban normatif memang, tapi indah..

Dan anganku melayang ke perbincangan dengan Hana minggu lalu, gadis belia dengan otak dewasa ini dengan menggebu menceritakan kegiatannya yang tengah melakukan advokasi hak reproduktif pada anak-anak perempuan. Dalam kalimatnya disebutkan hak untuk mendapatkan kenikmatan seksual (hmmm)

Dua perbincangan ini memicu khayal dan pikirku, apa sebenarnya tindakan tepat jika kita sebagai orang dewasa dihadapkan pada situasi ini. Bagaimana menjawab dan melindungi mata ketakutan anak yang tiba-tiba dihadapkan pada pilihan kedewasaan. Betapa sulit dan berat pilihan yang harus dia lakukan dan betapa besar sesal dan takut yang terbeban di wajah muda itu. secara normatif, atau normalnya, kita akan memperlakukan situasi ini bak kriminalitas, di mana perlu diberikan hukuman berat baik secara fisik maupun lingkungan agar menjadi contoh mengerikan bagi pelaku atau calon pelaku lainnya. Biasanya akan dilakukan pemaksaan aborsi atau pernikahan yang berujung pada berhentinya siklus kemajuan si perempuan karena tidak lagi diperbolehkan meneruskan pendidikannya. Tinggallah dia dalam keterpurukan, sedih tak terkira, sesal tak terbayang dan keterkucilan yang menyakitkan. Di dalam semua kegelapan dan kengerian itu, si perempuan disudutkan dan dihentakkan pada tanggung jawab mengasuh bayi yang menjadi sumber segala keputus asaannya itu. Dan siklus sedih dan kecewa dan luka pun berlanjut dan kekal pada si anak..


Ya, aku melihat wajah berkerutmu. Mempertanyakan sudut pandangku yang seolah menjadikan mereka korban dan bukan pelaku dari kesalahan mereka sendiri. "Kalau gak mau susah ya jangan dilakukan," henyakmu. "Itu akibat tidak mau mematuhi aturan masyarakat dan agama," teriakmu lantang.. Benarkah? Tepatkah?


Bagiku menyalahkan adalah sebuah hak istimewa yang bisa aku dapatkan saat semua syarat pencegahannya sudah aku lakukan dengan baik dan benar. Dalam kasus remaja SMA ini, apakah kita sebagai orang dewasa sudah membekalinya dengan segala pemahaman akan hak reproduksinya? Sudahkah kita menunjukkan padanya segala fakta dan konsekuensi fakta atas pilihannya terkait hak reproduksinya? Ataukan kita ajari dia dengan jargon dan bahasa abstrak tentang kenikmatan surgawi dan kengerian neraka?


Agama memang sangat penting, tapi keabstrakan agama sebagai dampak dari unsur kepercayaan dan keyakinannya tidak akan mampu membendung derasnya informasi dan rangsangan media modern yang kini menjadi asupan harian anak-anak kita. Ada jurang yang cukup lebar dan dalam antara ide-ide agama dan fakta informasi di kehidupan nyata. Diperlukan sebuah jembatan yang bisa membuat anak mudah memahami pesan dan kemudian menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan hidupnya, termasuk di dalamnya keputusan akan hak reproduksinya. Keputusan menggugurkan kandungan? Matamu terbelalak membaca, hatimu mengkerut menebak arah pikiranku..


Sebuah hak reproduksi tidak berhenti dan berfokus pada dilanjutkan atau digugurkannya sebuah kandungan. Lebih awal dan lebih jauh, hak ini membantu manusia memahami dirinya dan memiliki kehidupannya. Tidak lagi seorang anak perempuan merasa perlu menyerahkan kegadisannya demi cinta anak lelaki atau anak lelaki menggauli perempuannya demi keperkasaan dan ketenaran atau bahkan cinta. Pada penerapannya, pemahaman akan hak reproduksi lewat pendidikan dan penyepahaman adalah tentang definisi, dampak dan juga konsekuensi logis dari setiap keputusan yang diambil. Tidak ditakuti atau dialun si anak dengan ancaman neraka maupun janji surga, melainkan ditunjukkan padanya fakta-fakta hidup yang akan mereka hadapi, diajak si anak berpikir dan menimbang untuk kemudian mengambil keputusan sadar terkait haknya atas reproduksi. Fokus perbincangan dan pendidikannya bukan pada kenikmatan seperti yang kini dipaparkan oleh media, tapi pada alur berpikir, logika pengambilan keputusan dan informasi faktual dan dapat dipertanggung jawabkan.  Padanya kemudian bisa kita bebankan tuntutan untuk bepikir logis dan membuat pilihan cerdas.

Lalu bagaimana jika setelah semua itu kesalahan tetap dilakukan? Maka penghormatan dan penghargaan perlu kita berikan pada hal-hal yang sudah kita ajarkan. Serahkan keputusan kembali kepada si pemilik reproduksi, biarkan kembali dia menjalankan haknya dan tugasnya sebagai manusia dengan segala kebaikannya, kemudian pusatkan pikiran kita bukan pada si remaja yang sudah tergelincir tapi pada anak yang kini ada di dalam kandungannya. Dia lah yang menjadi pertimbangan kita. Saat kita memutuskan untuk mengucilkan, dibayangkanlah si bayi dalam kandungan, siapa yang akan memastikan segala gizi terpenuhi agar dia terlahir sebagai individu kuat yang akan membantu memperbaiki dunia ini. Saat kita memutuskan untuk menghentikan langkah berkembang sang Ibu, pikirkan bagaimana kemudian kelak, ibu yang putus asa, sedih dan penuh marah itu bisa membesarkan anak yang sehat, kuat dan cerdas? Hentikan lingkaran kesalahan dan kedukaan itu dengan mengubah paradigma kita dan melihat anak yang kemudian ada di dalam rahimnya.

Mari selamatkan anak-anak kita dengan menyadarkannya akan hak reproduksinya..

Anak-anakku, aku mencintaimu..
 

3 komentar:

  1. Terkadang orang dengan gampangnya menuding, jika terjadi kasus "hamil di luar nikah" maka cepat-cepat akan dicari kambing hitam; yang agamanya kuranglah, kurang pengawasan orang tualah..ini lah-itulah..

    Padahal peran lingkungan membentuk seorang anak, memiliki peran yang sangat besar. Sangat banyak anak-anak yang akhirnya menjadi korban tapi karena ada rasa malu mengaku, takut kena marah orang tua dan keluarga, tidak memiliki teman / orang yang bisa memberi solusi akhirnya memilih jalan pintas, seperti aborsi, bahkan bunuh diri..

    Kesadaran untuk memberi ruang dan lingkungan tumbuh kembang anak yang baik dari kedua orang tua tentuasangat diperlukan, tapi memang terkadang karena keterbatasan entah waktu, entah finasial, entah tenaga yang membuat anak akhirnya mencari lingkungannya sendiri.

    Tidak ada solusi pasti untuk masalah sosial seperti ini, tapi minimal jika lingkungan baik, yang bisa memberinya informsi yang memadai tentang masalah reproduksi, seks, dll, maka dia akan lebih mudah mengetahui tentang hal-hal itu.

    Ya begitu deh... maap kalau kepanjangan :D

    BalasHapus
  2. Bisakah dengan misalnya pendidikan seksual di tingkat sekolah?

    BalasHapus
  3. pendidikan seksual di sekolah, sebenernya udah ada kurikulum nya dari sd kelas 5, brur.. tapi pada pelaksanaan nya, agama yang mengambil alih.. seakan agama bisa menjadi jembatan yang cukup signifikan sebelum terjadi nya "bencana"
    masalah yang lebih lutju lagi adalah... dalam banyak situasi, guru dan orang tua malah tidak siap bahkan ga jarang juga punya pemahaman yang ga kalah 'hijau'nya dengan para remaja putra putri kita itu...
    *siul2*

    BalasHapus