Rabu, 14 September 2011

Aku Perempuan dan aku bahagia..

Hariku selalu diawali dengan sebuah kisah yang luar biasa...

Pagi ini seorang perempuan mengirimkan pesan singat padaku mempertanyakan siapa aku bagi belahan jiwanya dan apakah aku tahu sang lelaki itu sudah berbelahan jiwa? Sebuah pertanyaan yang menusuk dan mengoyak di pagi hari.

Ada apa dengan kita wahai perempuan? Mengapa selalu saja kita melihat sesama kita sebagai ancaman dan bukan sekutu? Ataukah aku yang terlalu naif? Apakah memang sebenar-benarnya itu yang terjadi di dunia di luar dunia indahku ini? Aku menggeliat dan menanar dan menggugat (ha ha ha kau benar, Ayah.. aku memang begitu mudah dibakar.. mungkin itu sebabnya namamu langsung menempel di jiwaku..)

Jika bicara tentang perempuan kedua, kita selalu melihatnya sebagai perusak dan ancaman. Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam benak kita bahwa perempuan ini adalah korban. Mengapa tidak terlintas bahwa di saat kita tidak ingin kebahagiaan kita dikoyak, maka perempuan lain pun tidak ingin mengoyak kebahagiaan kita? Atau aku yang berpikir naif dan mengira semua perempuan telah berada di posisi memilih?

Bagiku sebagai perempuan, keberadaan laki-laki bukan menjadi prasyarat utama sebuah kebahagiaan. Mereka diciptakan sama seperti kita, sebagai mitra bagi pasangan yang sudah ditentukan baginya. Maka pencarian dilakukan atas dasar kemitraan. Sebuah hubungan kesetaraan dan ketersalingan. Dengan pemahaman itu maka yang perlu dipersiapkan adalah diri sendiri. Aku, sudah sanggupkah aku menjadi mitra setara? Sudah percayakah aku pada kemampanku sendiri?

Kalau aku sudah mencapai tahap itu, maka akankah aku merenggut kebahagiaan perempuan lain? Karena sang lelaki bukanlah prasyarat utama, dia boleh ada tapi juga dibolehkan tidak ada. Dia bukan sesuatu yang wajib aku miliki tapi keindahan yang bisa melengkapi keindahan yang sudah kumiliki sendiri, yang sudah kuciptakan sendiri. Aku tidak merasa wajib dan terdorong untuk segera menemukan lelakiku karena aku sudah bahagia. Sudah lengkap.

Bagiku kebohongan yang dilakukan sang lelaki tidak lebih menyakitkan dibanding pertanyaan menuduh dan menusuk yang diajukan oleh saudariku sendiri. Perempuanku. Tiap kali muncul kisah atau cerita yang menyudutkan kaum perempuan dari luncuran indah bibir perempuan lain, hatiku miris..jiwaku menangis. Kenapa selalu perempuan yang menjadi sumber masalahnya? Bagi lelaki maupun perempuan itu sendiri. Mengapa kau merasa lebih baik dari perempuan lain, wahai saudariku, sementara sang lelakimulah yang berbohong dan mencoba memanfaatkan kelemahan jiwa, kerapuhan hati perempuan lain? Rengkuh saudarimu itu, Sayangku. Bukan untuk membagi lelakimu, karena bukan itu pula intinya. Tapi bantu dia melihat keindahan dalam dirinya. Keindahan yang hanya layak dibagikan dengan kesejatinya lelaki. Keperkasaannya lelaki. Bukan tubuh berotot dan kemampuan luar biasa melainkan kelembutan jiwa dan penghargaan yang tinggi pada pasangannya.

Perempuanku, kebahagiaanmu bukan berada di tangan lelaki, siapa pun dia. Kebahagiaanmu ada di tanganmu sendiri. Kau telah diciptakan begitu indah dan kuat. Kau diciptakan dengan kemampuan luar biasa. Kenapa melemah dan menggenggamkan jiwamu pada manusia lain?

Ulurkan tanganmu, Duhai Perempuanku. Aku akan bagikan kehangatan cinta dan kasih sayang yang menyala terang di jiwaku. Dengan itu kuharap kau akan bisa melihat nyala yang sama di jiwamu. Maka nyala itu akan menarik jiwa kuat dan indah yang sama. Maka pasanganmu, mitramu, kekasihmu, jodohmu akan datang. Membentangkan tangannya, mengulurkan cintanya, memancarkan penghargaannya secara tulus dan yakin.

Jika jiwamu telah menyala, jika bahagiamu telah tiba, ulurkan tanganmu lagi pada perempuan lain. Bantu dia menyalakan jiwanya agar bahagia bisa juga dia ciptakan.

Aku perempuan..dan aku bangga menjadinya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar